Pages

Saturday, October 27, 2012

IMAN KEPADA TAKDIR

Al-Qadar adalah takdir Allah untuk seluruh makhluk yang ada sesuai dengan ilmu-Nya dan hikmah-Nya.

Iman kepada takdir mengandung empat unsur:

1. Mengimani bahwa Allah mengetahui segala sesuatu secara global maupun terperinci, azali dan abadi, baik yang berkaitan dengan perbuatan-Nya maupun perbuatan para hamba-Nya.

2. Mengimani bahwa Allah telah menulis hal itu di “Lauh Mahfuzh”.

Tentang dua hal tersebut Allah berfirman, yang artinya:

“Apakah kamu tidak mengetahui bahwa sesungguhnya Allah mengetahui apa saja yang ada di langit dan di bumi; bahwasanya yang demikian itu terdapat dalam sebuah kitab (Lauh Mahfuzh)? Sesungguhnya yang demikian itu amat mudah bagi Allah.” (Al Hajj 70)

Abdullah bin Umar berkata: “Aku pernah mendengar Rasulullah bersabda:

كَتَبَ اللهُ مَقَادِيْرَ الْخَلاَئِقِ قَبْلَ أَنْ يَخْلُقَ السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضَ بِخَمْسِيْنَ أَلْفَ سَنَةٍ.

“Allah telah menulis (menentukan) takdir seluruh makhluk sebelum menciptakan langit dan bumi lima puluh ribu tahun.” (HR. Muslim)

3. Mengimani bahwa seluruh yang ada tidak akan ada, kecuali dengan kehendak Allah I, baik yang berkaitan dengan perbuatan-Nya maupun yang berkaitan dengan perbuatan makhluk-makhluk-Nya.

Allah berfirman, yang artinya:

“Dan Rabbmu menciptakan apa yang Dia kehendaki dan Dia pilih…” (Al Qashash 68)

“Dialah yang membentuk kamu dalam rahim sebagaimana dikehendaki-Nya. Tak ada Tuhan melainkan Dia, Yang Mahaperkasa lagi Mahabijaksana.” (Al Imran 6)

Allah juga berfirman tentang sesuatu yang berkaitan dengan perbuatan-perbuatan makhluk-makhluk-Nya, yang artinya:

“…Kalau Allah menghendaki, maka Dia memberi kekuasaan kepada mereka terhadap kamu, lalu pastilah mereka memerangimu…” (An Nisaa 90)

“Dan kalau Allah menghendaki, maka mereka tidak mengerjakannya. Maka tinggalkanlah mereka dan apa yang mereka ada-adakan.” (Al An’aam 137)

4. Mengimani bahwa seluruh yang ada, zatnya, sifatnya, dan geraknya diciptakan oleh Allah.

“Allah menciptakan segala sesuatu dan Dia memelihara segala sesuatu.” (Az Zumar 62)

“…dan Dia telah menciptakan segala sesuatu dan Dia menetapkan ukuran-ukurannya dengan serapi-rapinya.” (Al Furqan 2)

Allah berfirman tentang Nabi Ibrahim yang berkata kepada kaumnya, yang artinya:

“Padahal Allahlah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu.” (Ash Shaffaat 96)

Iman kepada takdir sebagaimana telah kami terangkan di atas tidak menafikan bahwa manusia mempunyai kehendak dan kemampuan dalam berbagai perbuatan yang sifatnya ikhtiari. Syara’ dan kenyataan (realita) menunjukkan ketetapan hal itu.

a. Secara syara’, maka Allah berfirman tentang kehendak manusia, yang artinya:

“…Maka barangsiapa yang menghendaki, niscaya ia menempuh jalan kembali kepada Rabbnya.” (An Naba’ 39)

“…maka datangilah tanah tempat kamu bercocok tanam (isterimu) itu bagaimana saja kamu kehendaki…” (Al Baqarah 223)

Allah juga berfirman tentang kemampuan manusia, yang artinya:

“Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu, dengarlah dan taatlah…” (At Taghaabun 16)

“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala dari (kebajikan) yang dikerjakannya serta mendapat siksa dari (kejahatan) yang dikerjakan…” (Al Baqarah 286)

b. Secara kenyataan, manusia mengetahui bahwa dirinya mempunyai kehendak dan kemampuan yang menyebabkannya mengerjakan atau meninggalkan sesuatu. Dia juga dapat membedakan antara kemauannya (seperti berjalan), dan yang bukan kehendaknya (seperti gemetar). Kehendak serta kemampuan seseorang itu akan terjadi dengan masyiah (kehendak) serta qudrah (kemampuan) Allah, seperti dalam sebuah firman-Nya, yang artinya:
“(Yaitu) bagi siapa di antara kamu yang mau menempuh jalan yang lurus. Dan kamu tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu), kecuali apabila dikehendaki Allah, Rabb semesta alam.” (At Takwir 28-29)

Karena alam semesta ini seluruhnya milik Allah, maka tidak ada pada milik-Nya barang sedikitpun yang tidak diketahui serta tidak dikehendaki-Nya.

Iman kepada takdir tidak berarti memberi alasan untuk meninggalkan kewajiban atau untuk mengerjakan maksiat. Kalau itu dibuat alasan, maka alasan itu jelas salah ditinjau dari beberapa segi:

1. Firman Allah, yang artinya:

“Orang-orang yang menyekutukan Tuhan mengatakan: “Jika Allah menghendaki, niscaya kami dan bapak-bapak kami tidak mempersekutukan-Nya dan tidak (pula) kami mengharamkan barang sesuatu apapun. Demikian juga orang-orang sebelum mereka yang telah mendustakan (para rasul) sampai mereka merasakan siksaan Kami. Katakanlah: “Adakah kamu mempunyai sesuatu pengetahuan sehingga kamu dapat mengemukakannya kepada Kami? Kamu tidak mengikuti kecuali prasangka belaka dan kamu tidak lain hanya berdusta.” (Al An’aam 148)

Kalau alasan mereka dengan takdir itu dibenarkan, Allah I tentu tidak akan menjatuhkan siksa-Nya.

2. Firman-Nya, yang artinya:

“(Mereka kami utus) sebagai rasul-rasul pembawa kabar gembira dan pemberi peringatan agar tidak ada alasan bagi manusia membantah Allah sesudah diutusnya rasul-rasul itu. Dan adalah Allah Mahaperkasa lagi Mahabijaksana.” (An Nisaa 165)

Kalau takdir dapat dibuat alasan bagi orang-orang yang salah, Allah tidak menafikannya dengan diutusnya para rasul, karena menyalahi sesuatu setelah terutusnya para rasul jatuh pada takdir Allah juga.

3. Hadits yang diriwayatkan Al Bukhari dan Muslim, dari Ali bin Abi Thalib bahwa Nabi bersabda:

مَا مِنْكُمْ مِنْ أَحَدٍ إِلاَّ قَدْ كُتِبَ مَقْعَدُهُ مِنَ النَّارِ أَوْ مِنَ الْجَنَّةِ، فَقَالَ رَجُلٌ مِنَ الْقَوْمِ؛ أَلاَ نَتَّكِلُ
يَا رَسُوْلَ اللهِ؟ قَالَ: لاَ اِعْمَلُوْا كُلٌّ مُيَسَّرٌ، ثُمَّ قَرَأَ:

“Setiap diri kalian telah ditulis (ditetapkan) tempatnya di Surga atau di Neraka. Ada seorang sahabat bertanya, “Mengapa kita tidak (tawaakul-pasrah) saja, wahai Rasul Allah?” Beliau menjawab, “Tidak. Berbuatlah karena masing-masing akan dimudahkan.” Lalu beliau membacakan surat Al Lail ayat 4-7:

“Sesungguhnya usaha kamu memang berbeda-beda. Adapun orang yang memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertakwa, dan membenarkan adanya pahala yang terbaik (Surga), maka Kami kelak akan menyiapkan baginya jalan yang mudah.” (Al Lail 4-7)

Jadi, Nabi memerintahkan untuk berbuat serta melarang menyerah pada takdir.

4. Allah memerintah serta melarang sesuatu pada hamba-Nya, namun tidak menuntutnya kecuali yang mampu dikerjakan.

Allah berfirman, yang artinya:

“Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu…” (At Taghabun 16)

“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya…” (Al Baqarah 286)

Kalau manusia dipaksakan untuk berbuat sesuatu, artinya disuruh mengerjakan sesuatu yang tidak mungkin dikerjakan, maka ini merupakan suatu kesalahan. Oleh karena itu, bila maksiat dilakukan karena kebodohan atau karena lupa, atau karena dipaksa, maka pelakunya tidak berdosa. Mereka dimaafkan Allah.

5. Takdir Allah adalah rahasia yang tersembunyi, tidak dapat diketahui sebelum terjadinya takdir serta kehendak seseorang untuk mengerjakannya terlebih dahulu dari-pada perbuatannya. Jadi, kehendak seseorang untuk mengerjakan sesuatu itu tidak berdasarkan pada pengetahuannya akan takdir Allah. Pada waktu itu habislah alasannya dengan takdir karena tidak ada alasan bagi seseorang terhadap apa yang tidak diketahuinya.

6. Kita melihat orang yang ingin mendapatkan urusan dunia secara layak, tidak ingin pindah kepada yang tidak layak. Apakah ia akan beralasan pindahnya dengan takdir? Mengapa ia berpindah dari kurang menguntungkan kepada yang menguntungkan dengan alasan takdir? Bukankah keadaan dua hal itu satu?

Cobalah perhatikan contoh di bawah ini:

Kalau di depan seseorang ada dua jalan. Pertama, menuju ke sebuah negeri yang semuanya serba kacau, pembunuhan, perampokan, pembantaian kehormatan, ketakutan, dan kelaparan. Yang kedua menuju sebuah negeri yang semuanya serba teratur, keamanan yang terkendali, kesejahteraan yang melimpah ruah, jiwa, kehormatan, dan harta benda dihormati. Jalan mana yang akan ia tempuh?

Ia pasti akan menempuh jalan yang kedua yang menuju suatu negeri yang teratur serta aman. Tidak mungkin orang berakal menempuh jalan yang menuju ke sebuah negeri yang kacau serta menakutkan dengan alasan takdir. Mengapa dalam urusan akhirat ia menempuh jalan yang menuju ke Neraka bukan jalan yang menuju Surga dengan beralasan takdir?

Contoh lain adalah seorang yang sakit disuruh meminum obat lalu meminumnya sedangkan hatinya tidak menyukainya. Dan dilarang memakan makanan yang berbahaya lalu meninggalkannya sementara hatinya menyukainya. Semua itu dimaksudkan mencari pengobatan serta kesehatan. Orang yang sakit itu tidak mungkin enggan minum obat atau melanggar memakan makanan yang berbahaya dengan alasan menyerah pada takdir. Bagaimana seseorang meninggalkan perintah Allah dan Rasul-Nya n atau melakukan larangan Allah dan Rasul-Nya dengan beralasan pada takdir?

7. Orang yang meninggalkan kewajiban serta melanggar kemaksiatan dengan alasan takdir itu seandainya dianiaya oleh seseorang, dirampas hartanya dan dirusak kehormatannya dengan beralasan pada takdir dan mengatakan: Anda jangan menyalahkan saya, karena kelaliman saya ini adalah takdir Allah, alasannya itu tidak akan diterima. Bagaimana seseorang tidak mau menerima alasan orang lain dengan takdir dalam penganiayaannya terhadap orang lain, lalu ia sendiri beralasan dengan takdir terhadap kelalimannya pada hak Allah? Diriwayatkan bahwa Amirul Mukminin Umar bin Khaththab z menerima seorang pencuri yang berhak dipotong tangannya. Beliau memerintahkan agar dipotong tangannya. Pencuri berkata: Tunggu dulu, Amirul Mukminin, aku mencuri ini hanya karena takdir Allah. Umar pun tidak kalah menjawab: Demikian kami memotong tanganmu hanya karena takdir Allah.

Buah Iman Kepada Takdir:

1. Bersandar kepada Allah ketika mengerjakan sebab-sebab, tidak bersandar kepada sebab itu sendiri, karena segala sesuatu ditentukan dengan takdir Allah.

2. Agar seseorang tidak lagi mengagumi dirinya ketika tercapai apa yang dicita-citakan. Karena tercapainya cita-cita merupakan nikmat dari Allah yang dikarenakan takdir-Nya yaitu sebab-sebab keberhasilan. Dan mengagumi dirinya akan dapat melupakan syukur nikmat ini.

3. Menimbulkan ketenangan serta kepuasan jiwa terhadap seluruh takdir yang berlaku, tidak gelisah karena hilangnya sesuatu yang disukai atau datangnya sesuatu yang tidak disukai. Karena dia tahu bahwa hal itu ditentukan dengan takdir Allah yang memiliki langit dan bumi dan bahwa hal itu akan terjadi dengan pasti.

“Tidak suatu bencana pun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah ditulis dalam kitab (Lauh Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah. (Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu tidak berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu dan supaya kamu tidak terlalu gembira terhadap apa yang diberikan oleh-Nya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri.” (Al Hadid 22-23)

Nabi Muhammad bersabda:

عَجَبًا لأَمْرِ الْمُؤْمِنِ، إِنَّ أَمْرَهُ كُلُّهُ خَيْرٌ، وَلَيْسَ ذَلِكَ لأَحَدٍ إِلاَّ لِلْمُؤْمِنِ، إِنْ أَصَابَتْهُ سَرَّاءُ
شَكَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ، وَإِنْ أَصَابَتْهُ ضَرَّاءُ صَبَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ.

“Sungguh menakjubkan perkara orang mukmin itu. Perkaranya semua baik, dan itu tidak ada pada seorang pun selain orang mukmin. Jika mendapatkan kegembiraan bersyukur, itu baik baginya. Dan jika ditimpa kesusahan bersabar, itu pun baik baginya.” (Muslim)

Dalam masalah takdir ini ada dua golongan yang tersesat:

Pertama: Golongan Jabariyyah. Yaitu mereka yang mengatakan bahwa manusia itu terpaksa atas perbuatannya, tidak punya iradah (kemauan) dan qudrah (kemampuan).

Kedua: Golongan Qadariyah. Yaitu mereka yang mengatakan bahwa manusia dalam perbuatannya ditentukan oleh kemauan serta kemampuannya, kehendak serta takdir Allah tidak ada pengaruhnya sama sekali.

Untuk menjawab pendapat golongan pertama, (Jabariyyah), dapat dengan menggunakan syara’ dan kenyataan.

a. Adapun dalil syara’ maka Allah telah menetapkan kehendak kepada hamba-Nya serta menggantungkan perbuatan kepadanya juga.

“…Di antara kamu ada yang menghendaki dunia dan ada pula yang menghendaki akhirat…” (Ali Imran 152)

“Dan katakanlah: Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu. Maka barangsiapa yang (ingin) beriman hendaklah beriman. Dan barangsiapa yang ingin (kafir) biarlah kafir. Sesungguhnya Kami telah sediakan bagi orang-orang zhalim itu Neraka yang gejolaknya mengepung mereka…” (Al Kahfi 29)

“Barangsiapa mengerjakan amal yang baik maka (pahalanya) untuk dirinya sendiri dan barangsiapa yang berbuat jahat maka (dosanya) atas dirinya sendiri (pula). Dan sekali-kali Tuhanmu tidak akan menganiaya hamba-hamba-Nya.” (Fushshilat 46)

b. Secara kenyataan bahwa manusia mengetahui perbedaan antara perbuatan-perbuatan yang ikhtiari (dapat diupayakan) yang dikerjakan dengan kehendaknya, seperti makan, minum, dan jual beli, dan yang diluar kehendaknya seperti gemetar karena demam, dan jatuh dari atas. Pada yang pertama ini ia akan dapat mengerjakan dan memilih dengan kemauannya tanpa ada paksaan. Sedangkan yang kedua dia tidak dapat memilih juga tidak dikehendaki terjadinya.

Pendapat golongan kedua (Qadariyah) dapat dijawab pula dengan syara’ dan kenyataan:

a. Adapun dalil syara’ maka Allah adalah Pencipta segala sesuatu, dan segala sesuatu terjadi dengan kehendak-Nya. Allah telah menjelaskan dalam Al Qur’an bahwa perbuatan makhluk-Nya terjadi dengan kehendak-Nya, sebagaimana firman-Nya, yang artinya:

“Dan kalau Allah menghendaki, niscaya tidaklah berbunuh-bunuhan orang-orang (yang datang) sesudah rasul-rasul itu, sesudah datang kepada mereka beberapa macam keterangan, akan tetapi mereka berselisih, maka ada di antara mereka yang beriman dan ada (pula) di antara mereka yang kafir. Seandainya Allah menghendaki, tidaklah mereka berbunuh-bunuhan. Akan tetapi Allah berbuat apa yang dikehendaki-Nya.” (Al Baqarah 153)

“Dan kalau Kami menghendaki niscaya Kami akan berikan kepada tiap-tiap jiwa petunjuk (bagi)nya, akan tetapi telah tetaplah perkataan (ketetapan) dariku; sesungguhnya akan Aku penuhi neraka Jahannam itu dengan jin dan manusia bersama-sama.” (As Sajdah 13)

b. Adapun menurut akal, bahwa alam semesta ini adalah milik dan berada dalam kekuasaan Allah. Dan manusia, sebagai bagian dari alam tidak mungkin dapat berbuat dalam kekuasaan Si Penguasa kecuali dengan seizin-Nya dan kehendak-Nya.

0 comments:

Post a Comment