tag:blogger.com,1999:blog-37767580123091851052023-11-15T09:11:26.339-08:00JejalurSamhttp://www.blogger.com/profile/02026223565972873713noreply@blogger.comBlogger24125tag:blogger.com,1999:blog-3776758012309185105.post-54360869147973169772014-06-29T12:53:00.002-07:002014-06-29T12:53:30.377-07:00Salman AL Farisi - Pencari kebenaranIa datang dari tanah Persia, tempat di mana Islam dianut oleh orang-orang Mukmin yang tidak sedikit jumlahnya sepeninggalnya. Dari kalangan mereka muncul pribadi-pribadi istimewa yang tiada taranya, baik dalam bidang ilmu pengetahuan keagamaan, maupun keduniaan.<br />
Dan memang, salah satu dari keistimewaan dan kebesaran Islam ialah, setiap ia memasuki suatu negeri dari negeri-negeri Allah, maka dengan keajaiban luar biasa dibangkitkannya setiap keahlian, digerakkannya segala kemampuan.<br />
Salman RA sendiri turut menyaksikan hal tersebut, karena ia memang terlibat dan mempunyai hubungan erat dengan kejadian itu. Peristiwa itu terjadi waktu Perang Khandaq, yaitu pada tahun ke-5 Hijrah. Beberapa orang pemuka Yahudi pergi ke Makkah.<br />
Mereka bertujuan menghasut orang-orang musyrik dan golongan-golongan kuffar agar bersekutu menghadapi Rasulullah SAW dan kaum Muslimin. Mereka juga berjanji akan memberikan bantuan dalam perang penentuan yang akan menumbangkan serta mencabut urat akar agama baru ini.<br />
Siasat dan taktik perang pun diaturlah secara licik, bahwa tentara Quraisy dan Ghatafan akan menyerang Kota Madinah dari luar, sementara Bani Quraidzah (Yahudi) akan menyerangnya dari dalam, yaitu dari belakang barisan kaum Muslimim. Sehingga mereka akan terjepit dari dua arah, karenanya mereka akan hancur lumat dan hanya tinggal nama belaka.<br />
Demikianlah pada suatu hari, kaum Muslimin tiba-tiba melihat datangnya pasukan tentara yang besar mendekati Kota Madinah, membawa perbekalan banyak dan persenjataan lengkap untuk menghancurkan. Kaum Muslimin panik dan mereka bagaikan kehilangan akal melihat hal yang tidak diduga-duga itu.<br />
Sebanyak 24.000 orang prajurit di bawah pimpinan Abu Sufyan dan Uyainah bin Hisyam menghampiri Kota Madinah dengan maksud hendak mengepung dan melepaskan pukulan menentukan yang akan menghabisi Nabi Muhammad SAW serta para sahabatnya.<br />
Kaum Muslimin menginsafi keadaan mereka yang gawat ini, Rasulullah SAW pun mengumpulkan para sahabatnya untuk bermusyawarah. Dan tentu saja mereka semua setuju untuk bertahan dan mengangkat senjata, tetapi apa yang harus mereka lakukan untuk bertahan itu?<br />
Ketika itulah tampil seorang yang tinggi jangkung dan berambut lebat, seorang yang disayangi dan amat dihormati oleh Rasulullah SAW. Itulah dia Salman Al-Farisi RA. Dari tempat ketinggian ia melayangkan pandang meninjau sekitar Madinah.<br />
Dan sebagai telah dikenalnya juga didapatinya kota itu dilingkupi gunung dan bukit-bukit batu yang tak ubahnya benteng juga. Hanya saja, di sana terdapat pula daerah terbuka, luas dan terbentang panjang. Hingga dengan mudah akan dapat diserbu musuh untuk memasuki benteng pertahanan.<br />
Di negeri Persi, Salman RA telah mempunyai pengalaman luas tentang teknik dan sarana perang, begitu pun tentang siasat dan liku-likunya.<br />
Maka tampillah ia mengajukan usul kepada Rasulullah SAW, yaitu suatu rencana yang belum pernah dikenal oleh orang-orang Arab dalam peperangan mereka selama ini.<br />
Rencana itu berupa penggalian khandaq atau parit perlindungan sepanjang daerah terbuka keliling kota. Dan hanya Allah yang lebih mengetahui apa yang akan dialami Kaum Muslimin dalam peperangan itu seandainya mereka tidak menggali parit atau usul Salman tersebut.<br />
Begitu Quraisy menyaksikan parit terbentang di hadapan, mereka merasa terpukul melihat hal yang tidak disangka-sangka itu. Hingga tidak kurang sebulan lamanya kekuatan mereka bagai terpaku di kemah-kemah karena tidak berdaya menerobos kota.<br />
Pada suatu malam, Allah SWT mengirim angin topan yang menerbangkan kemah-kemah dan memporak-porandakan tentara mereka. Abu Sufyan pun menyerukan kepada anak buahnya agar kembali pulang ke kampung mereka dalam keadaan kecewa dan berputus asa serta menderita kekalahan pahit.<br />
Sewaktu menggali parit, Salman tidak ketinggalan bekerja bersama kaum Muslimin yang sibuk menggali tanah. Juga Rasulullah SAW ikut membawa tembilang dan membelah batu. Kebetulan di tempat penggalian Salman bersama kawan-kawannya, tembilang mereka terbentur pada sebuah batu besar.<br />
Salman, seorang yang berperawakan kukuh dan bertenaga besar. Sekali ayun dari lengannya yang kuat akan dapat membelah batu dan memecahnya menjadi pecahan-pecahan kecil. Tetapi menghadapi batu besar ini ia tak berdaya, sedang bantuan dari teman-temannya hanya menghasilkan kegagalan belaka.<br />
Salman pergi mendapatkan Rasulullah SAW dan minta izin mengalihkan jalur parit dari garis semula, untuk menghindari batu besar yang tak tergoyahkan itu. Rasulullah pun pergi bersama Salman untuk melihat sendiri keadaan tempat dan batu besar tadi.<br />
Setelah menyaksikannya, Rasulullah SAW meminta sebuah tembilang dan menyuruh para sahabat mundur dan menghindarkan diri dari pecahan-pecahan batu itu nanti. Rasulullah lalu membaca basmalah dan mengangkat kedua tangannya yang sedang memegang erat tembilang itu, dan dengan sekuat tenaga dihunjamkannya ke batu besar itu. Kiranya batu itu terbelah dan dari celah belahannya yang besar keluar lambaian api yang tinggi dan menerangi.<br />
Salman sedang duduk di bawah naungan sebatang pohon yang rindang berdaun rimbun, di muka rumahnya di Kota Madain, sedang menceriterakan kepada sahabat-sahabatnya perjuangan berat yang dialaminya demi mencari kebenaran.<br />
<br />
Ia mengisahkan kepada mereka bagaimana ia meninggalkan agama nenek moyangnya bangsa Parsi masuk ke dalam agama Nasrani dan dari sana pindah ke dalam agama Islam.<br />
Betapa ia telah meninggalkan kekayaan berlimpah dari orang tuanya dan menjatuhkan dirinya ke dalam lembah kemiskinan demi kebebasan pikiran dan jiwanya.<br />
Betapa ia dijual di pasar budak dalam mencari kebenaran itu, bagaimana ia berjumpa dengan Rasulullah SAW dan iman kepadanya. Marilah kita dekati majlisnya yang mulia dan kita dengarkan kisah menakjubkan yang diceriterakannya.<br />
“Aku berasal dari Isfahan, warga suatu desa yang bernama “Ji”. Bapakku seorang bupati di daerah itu, dan aku merupakan makhluk Allah yang paling disayanginya. Aku membaktikan diri dalam agama Majusi, hingga diserahi tugas sebagai penjaga api yang bertanggung jawab atas nyalanya dan tidak membiarkannya padam.<br />
Bapakku memiliki sebidang tanah, dan pada suatu hari aku disuruhnya ke sana. Dalam perjalanan ke tempat tujuan, aku lewat di sebuah gereja milik kaum Nasrani. Kudengar mereka sedang sembahyang, maka aku masuk ke dalam untuk melihat apa yang mereka lakukan.<br />
Aku kagum melihat cara mereka sembahyang, dan kataku dalam hati, ‘Ini lebih baik dari apa yang aku anut selama ini!’ Aku tidak beranjak dari tempat itu sampai matahari terbenam, dan tidak jadi pergi ke tanah milik bapakku serta tidak pula kembali pulang. Hingga bapak mengirim orang untuk menyusulku.<br />
Karena agama mereka menarik perhatianku, kutanyakan kepada orang-orang Nasrani dari mana asal-usul agama mereka. ‘Dari Syria,’ ujar Mereka.<br />
Ketika telah berada di hadapan bapakku, kukatakan kepadanya, ‘Aku lewat pada suatu kaum yang sedang melakukan upacara sembahyang di gereja. Upacara mereka amat mengagumkanku. Kulihat pula agama mereka lebih baik dari agama kita.’ Aku pun berdiskusi dengan bapakku dan berakhir dengan dirantainya kakiku dan dipenjarakannya diriku.<br />
<br />
Kepada orang-orang Nasrani kukirim berita bahwa aku telah menganut agama mereka. Kuminta pula agar bila datang rombongan dari Syiria, supaya aku diberi tahu sebelum mereka kembali, karena aku akan ikut bersama mereka ke sana.<br />
Permintaanku itu mereka kabulkan, maka kuputuskan rantai, lalu meloloskan diri dari penjara dan menggabungkan diri kepada rombongan itu menuju Syria (Suriah).”<br />
“Lalu tatkala ia wafat, aku pun berangkat ke Mosul dan menghubungi pendeta yang disebutkannya itu. Kuceriterakan kepadanya pesan dari uskup tadi dan aku tinggal bersamanya selama waktu yang dikehendaki Allah.<br />
Kemudian tatkala ajalnya telah dekat pula, kutanyakan kepadanya siapa yang harus kuturuti. Ditunjukkannyalah orang saleh yang tinggal di Nasibin. Aku datang kepadanya dan kuceriterakan perihalku, lalu tinggal bersamanya selama waktu yang dikehendaki Allah pula.<br />
Tatkala ia hendak meninggal, kubertanya pula kepadanya. Maka disuruhnya aku menghubungi seorang pemimpin yang tinggal di Amuria, suatu kota yang termasuk wilayah Romawi.<br />
Aku berangkat ke sana dan tinggal bersamanya, sedang sebagai bekal hidup aku berternak sapi dan kambing beberapa ekor banyaknya.<br />
Tak lama kemudian dekatlah pula ajalnya dan kutanyakan padanya kepada siapa aku dipercayakannya. Katanya, ‘Anakku, tak seorang pun yang kukenal serupa dengan kita keadaannya dan dapat kupercayakan engkau padanya.<br />
Tetapi sekarang telah dekat datangnya masa kebangkitan seorang Nabi yang mengikuti agama Ibrahim secara murni. Ia nanti akan hijrah he suatu tempat yang ditumbuhi kurma dan terletak di antara dua bidang tanah berbatu-batu kitam.<br />
Seandainya kamu dapat pergi ke sana, temuilah dia. Ia mempunyai tanda-tanda yang jelas dan gamblang: ia tidak mau makan sedekah, sebaliknya bersedia menerima hadiah dan di pundaknya ada cap kenabian yang bila kau melihatnya, segeralah kau mengenalinya.’<br />
Kebetulan pada suatu hari lewatlah suatu rombongan berkendaraan, lalu kutanyakan dari mana mereka datang. Tahulah aku bahwa mereka dari jazirah Arab, maka kataku kepada mereka, ‘Maukah kalian membawaku ke negeri kalian, dan sebagai imbalannya kuberikan kepada kalian sapi-sapi dan kambing-kambingku ini?’<br />
‘Baiklah,’ ujar Mereka.<br />
<br />
Demikianlah, mereka membawaku serta dalam perjalanan hingga sampai di suatu negeri yang bernama Wadil Qura. Di sana aku mengalami penganiayaan, mereka menjualku kepada seorang Yahudi.<br />
Ketika tampak olehku banyak pohon kurma, aku berharap kiranya negeri ini yang disebutkan pendeta kepadaku dulu, yakni yang akan menjadi tempat hijrah Nabi yang ditunggu. Ternyata dugaanku meleset.<br />
Mulai saat itu, aku tinggal bersama orang yang membeliku, hingga pada suatu hari datang seorang Yahudi Bani Quraizhah yang membeliku pula daripadanya. Aku dibawanya ke Madinah. Dan demi Allah, baru saja kulihat negeri itu, aku pun yakin itulah negeri yang disebutkan dulu.<br />
Aku tinggal bersama Yahudi itu dan bekerja di perkebunan kurma milik Bani Quraizhah, hingga datang saat dibangkitkannya Rasulullah SAW yang datang ke Madinah dan singgah pada Bani Amr bin Auf di Quba.”<br />
“Aku tinggal bersama Yahudi itu dan bekerja di perkebunan kurma milik Bani Quraizhah, hingga datang saat dibangkitkannya Rasulullah SAW yang datang ke Madinah dan singgah pada Bani Amr bin Auf di Quba.<br />
Pada suatu hari, ketika aku berada di puncak pohon kurma sedang majikanku sedang duduk dibawahnya, tiba-tiba datang seorang Yahudi seudara sepupunya yang mengatakan kepadanya, ‘Bani Qilah celaka!’<br />
Mereka berkerumun mengelilingi seorang laki-laki di Quba yang datang dari Makkah dan mengaku sebagai Nabi. Demi Allah, baru saja ia mengucapkan kata-kata itu, tubuhku pun bergetar keras hingga pohon kurma itu bagai bergoncang dan hampir saja aku jatuh menimpa majikanku.<br />
Aku segera turun dan kataku kepada orang tadi, ‘Apa kata Anda? Ada berita apakah?’<br />
Majikanku mengangkat tangan lalu meninjuku sekuatnya, serta bentaknya, ‘Apa urusanmu dengan ini, ayo kembali ke pekerjaanmu!’ Maka aku pun kembalilah bekerja.<br />
Setelah hari petang, kukumpulkan segala yang ada padaku, lalu keluar dan pergi menemui Rasulullah SAW di Quba. Aku mendatanginya ketika beliau sedang duduk bersama beberapa orang anggota rombongan.<br />
Kukatakan kepadanya, ‘Tuan-tuan adalah perantau yang sedang dalam kebutuhan. Kebetulan aku mempunyai persediaan makanan yang telah kujanjikan untuk sedekah. Dan setelah mendengar keadaan Tuan-tuan, maka menurut hematku, Tuan-tuanlah yang lebih layak menerimanya, dan makanan itu kubawa ke sini.’ Lalu makanan itu kutaruh di hadapannya.<br />
‘Makanlah dengan nama Allah!’ sabda Rasulullah SAW kepada para sahabatnya, tetapi beliau tak sedikit pun mengulurkan tangannya menjamah makanan itu. ‘Nah, demi Allah!’kataku dalam hati, ‘Inilah satu dari tanda-tandanya, bahwa ia tak mau memakan harta sedekah.’<br />
Aku kembali pulang, tetapi pagi-pagi keesokan harinya aku kembali menemui Rasulullah SAW sambil membawa makanan, serta kataku kepadanya, ‘Kulihat Tuan tidak ingin makan sedekah, tetapi aku mempunyai sesuatu yang ingin kuserahkan kepada Tuan sebagai hadiah.’<br />
Lalu kutaruh makanan di hadapannya. Maka sabdanya kepada sahabatnya, ‘Makanlah dengan menyebut nama Allah!’ Dan beliau pun turut makan bersama mereka. ‘Demi Allah, kataku dalam hati, inilah tanda yang kedua, bahwa ia bersedia menerima hadiah.’<br />
Aku kembali pulang dan tinggal di tempatku beberapa lama. Kemudian kupergi mencari Rasulullah SAW dan kutemui beliau di Baqi sedang mengiringkan jenazah dan dikelilingi oleh sahabat- sahabatnya. Ia memakai dua lembar kain lebar, yang satu dipakainya untuk sarung dan yang satu lagi sebagai baju.<br />
Kuucapkan salam kepadanya dan kutolehkan pandangan hendak melihatnya. Rupanya ia mengerti akan maksudku, maka disingkapkannya kain burdah dari lehernya hingga nampak pada pundaknya tanda yang kucari, yaitu cap kenabian sebagai disebutkan oleh pendeta dulu.<br />
Melihat itu aku meratap dan menciuminya sambil menangis. Lalu aku dipanggil menghadap oleh Rasulullah. Aku duduk di hadapannya, lalu kuceriterakan kisahku kepadanya sebagai yang telah kuceriterakan tadi.<br />
Kemudian aku masuk Islam, dan perbudakan menjadi penghalang bagiku untuk menyertai Perang Badar dan Uhud. Lalu pada suatu hari Rasulullah menitahkan padaku, ‘Mintalah pada majikanmu agar ia bersedia membebaskanmu dengan menerima uang tebusan.’<br />
Maka kumintalah kepada majikanku sebagaimana dititahkan Rasulullah, sementara Rasulullah menyuruh para sahabat untuk membantuku dalam soal keuangan. Demikianlah, aku dimerdekakan oleh Allah, dan hidup sebagai seorang Muslim yang bebas merdeka, serta mengambil bagian bersama Rasulullah dalam Perang Khandaq dan peperangan lainnya."<br />
Sungguh, keislaman Salman Al-Farisi RA adalah keislaman orang-orang utama dan takwa. Dan dalam kecerdasan, kesahajaan dan kebebasan dari pengaruh dunia, maka keadaannya mirip sekali dengan Umar bin Khathab.<br />
Ia pernah tinggal bersama Abu Darda di sebuah rumah beberapa hari lamanya. Sedang kebiasaan Abu Darda beribadah di waktu malam dan shaum di waktu siang. Salman melarangnya berlebih-lebihan dalam beribadah seperti itu.<br />
Pada suatu hari, Salman bermaksud hendak mematahkan niat Abu Darda untuk shaum sunah esok hari. Dia menyalahkannya, “Apakah engkau hendak melarangku shaum dan shalat karena Allah?” kata Abu Darda.<br />
Salman menjawab, “Sesungguhnya kedua matamu mempunyai hak atas dirimu, demikian pula keluargamu mempunyai hak atas dirimu. Di samping engkau shaum, berbukalah dan di samping melakukan shalat, tidurlah!”<br />
Peristiwa itu sampai ke telinga Rasulullah SAW. Beliau bersabda, “Sungguh Salman telah dipenuhi dengan ilmu.”<br />
Rasulullah SAW sendiri sering memuji kecerdasan Salman serta ketinggian ilmunya, sebagaimana beliau memuji agama dan budi pekertinya yang luhur. Di waktu Perang Khandaq, kaum Anshar sama-sama berdiri dan berkata, “Salman dari golongan kami.”<br />
<br />
Bangkitlah pula kaum Muhajirin, kata mereka, “Tidak, ia dari golongan kami!”<br />
Mereka pun dipanggil oleh Rasulullah SAW, dan sabdanya, “Salman adalah golongan kami, Ahlul Bait.”<br />
Dan memang selayaknyalah jika Salman RA mendapat kehormatan seperti itu. Ali bin Abi Thalib RA menggelari Salman dengan “Luqmanul Hakim”. Dan sewaktu ditanya mengenai Salman, yang ketika itu telah wafat, maka jawabnya, “Ia adalah seorang yang datang dari kami dan kembali kepada kami, Ahlul Bait.”<br />
“Siapa pula di antara kalian yang akan dapat menyamai Luqmanul Hakim. Ia telah beroleh ilmu yang pertama begitu pula ilmu yang terakhir. Dan telah dibacanya kitab yang pertama dan juga kitab yang terakhir. Tak ubahnya ia bagai lautan yang airnya tak pernah kering,” lanjut Ali.<br />
Dalam kalbu para sahabat umumnya, pribadi Salman Al-Farisi telah mendapat kedudukan mulia dan derajat utama. Di masa pemerintahan Khalifah Umar RA, ia datang berkunjung ke Madinah. Maka Umar melakukan penyambutan yang setahu kita belum pernah dilakukannya kepada siapa pun juga.<br />
Dikumpulkannya para sahabat dan mengajak mereka, “Marilah kita pergi menyambut Salman!” Lalu Umar keluar bersama mereka menuju pinggiran Kota Madinah untuk menyambutnya.<br />
Ketika Salman RA berada di atas pembaringan menjelang ajalnya, Sa’ad bin Abi Waqqash datang menjenguknya. Lalu Salman menangis.<br />
“Apa yang Anda tangiskan, Wahai Abu Abdillah?” tanya Sa’ad. “Padahal, Rasulullah SAW wafat dalam keadaan ridha kepada anda?”<br />
"Demi Allah, aku menangis bukanlah karena takut mati ataupun mengharap kemewahan dunia, hanya Rasulullah telah menyampaikan suatu pesan kepada kita. Beliau bersabda, ‘Hendaklah bagian masing-masingmu dari kekayaan dunia ini seperti bekal seorang pengendara.’ Padahal, harta milikku begini banyaknya,” ujar Salman.<br />
<br />
“Saya perhatikan tak ada yang tampak di sekelilingku kecuali satu piring dan sebuah baskom,” kata Sa’ad.<br />
<br />
Lalu kata Sa’ad lagi, "Wahai Abu Abdillah, berilah kami suatu pesan yang akan kami ingat selalu darimu!” <br />
“Wahai Sa’ad, ingatlah Allah di kala dukamu, sedang kau menderita. Dan pada putusanmu jika kamu menghukumi. Dan pada saat tanganmu melakukan pembagian.”<br />
Rupanya inilah yang telah mengisi kalbu Salman mengenai kekayaan dan kepuasan. Ia telah memenuhinya dengan zuhud terhadap dunia dan segala harta, pangkat dengan pengaruhnya, yaitu pesan Rasulullah SAW kepadanya dan kepada semua sahabatnya, agar mereka tidak dikuasai oleh dunia dan tidak mengambil bagian daripadanya, kecuali sekedar bekal seorang pengendara.<br />
Salman telah memenuhi pesan itu sebaik-baiknya, namun air matanya masih jatuh berderai ketika rohnya telah siap untuk berangkat, khawatir kalau-kalau ia telah melampaui batas yang ditetapkan. Tak terdapat di ruangannya kecuali sebuah piring wadah makannya dan sebuah baskom untuk tempat minum dan wudhu, tetapi walau demikian ia menganggap dirinya telah berlaku boros.<br />
Tak satu pun barang berharga dalam kehidupan dunia ini yang digemari atau diutamakan oleh Salman sedikit pun, kecuali suatu barang yang memang amat diharapkan dan dipentingkannya, bahkan telah dititipkan kepada istrinya untuk disimpan di tempat yang tersembunyi dan aman.<br />
Ketika dalam sakit yang membawa ajalnya, yaitu pada pagi hari kepergiannya, dipanggillah sang istri untuk mengambil titipannya dahulu. Kiranya hanyalah seikat kesturi yang diperolehnya waktu pembebasan Jalula dahulu. Barang itu sengaja disimpan untuk wangi-wangian di hari wafatnya.<br />
<br />
Kemudian sang istri disuruhnya mengambil secangkir air, ditaburinya dengan kesturi yang dikocok dengan tangannya, lalu kata Salman kepada istrinya, “Percikkanlah air ini ke sekelilingku. Sekarang telah hadir di hadapanku makhluk Allah yang tiada dapat makan, hanyalah gemar wangi-wangian.”<br />
Setelah selesai, ia berkata kepada istrinya, “Tutupkanlah pintu dan turunlah!” Perintah itu pun diturut oleh istrinya.<br />
Dan tak lama antaranya istrinya kembali masuk, didapatinya roh yang beroleh berkah telah meninggalkan dunia dan berpisah dari jasadnya. Ia telah mencapai alam tinggi, dibawa terbang oleh sayap kerinduan, rindu memenuhi janjinya untuk bertemu lagi dengan Rasulullah Muhammad SAW dan kedua sahabatnya, Abu Bakar dan Umar, dan para syuhada lainnya.Samhttp://www.blogger.com/profile/02026223565972873713noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3776758012309185105.post-70650288625530509892014-06-29T12:34:00.001-07:002014-06-29T12:51:47.368-07:00Mush'ab bin Umair - Duta Islam yang pertamaMush'ab bin Umair salah seorang di antara sahabat Nabi. Alangkah baiknya jika kita memulai kisah dengan pribadinya. Seorang remaja Quraisy terkemuka, seorang yang paling tampan, penuh dengan jiwa dan semangat kemudaan.<br />
Para Muarrikh dan ahli riwayat melukiskan semangat kemudaanya dengan kalimat "Seorang warga kota mekah yang mempunyai nama paling harum".<br />
Ia lahir dan di besarkan dalam kesenangan, dan tumbuh dalam lingkungannya. Mungkin tak seorangpun diantara anak-anak muda mekah yang beruntung dimanjakan oleh kedua orangtuanya demikian rupa sebagai yang di alami oleh Mush'ab Bin Umair.<br />
Sungguh, kisah hidupnya menjadi kebanggaan bagi kemanusiaan umumnya. Suatu hari anak muda ini mendengar berita yang telah tersebar luas dilalangan warga Mekah mengenai Muhammad Al Amin. Muhammad Saw., yang mengatakan bahwa dirinya telah di utus Allah sebagai pembawa berita suka maupun duka, sebagai da'i yang mengajak beribadat kepada Allah Tuhan Yang Maha Esa.<br />
Sementara perhatian warga mekah terpusat pada berita itu, dan tiada yang menjadi buah pembicaraan mereka kecuali tentang Rasulullah. serta agama yang dibawanya, maka anak muda yang manja ini paling banyak mendengar berita itu. Karena walaupun usianya masih belia, tetapi ia menjadi bunga majelis tempat-tempat pertemuan yang selalu di harapkan kehadirannya oleh para anggota dan teman-temannya.<br />
Di antara berita yang didengarnya ialah bahwa Rasulullah bersama pengikutnya biasa mengadakan pertemuan di suatu tempat yang terhindar jauh dari gangguan gerombolan Quraisy dan ancaman-ancamannya, yaitu di bukit Shafa di rumah Arqam bin Abil Arqam.<br />
Maka pada suatu senja, didorong oleh kerinduannya, pergilah ia ke rumah Arqam menyertai rombongan itu. Di tempat itu Rasulullah SAW sering berkumpul dengan para sahabatnya, mengajarkan mereka ayat-ayat Alquran dan mengajak mereka beribadah kepada Allah Yang Maha Akbar.<br />
Baru saja Mush'ab mengambil tempat duduknya, ayat-ayat Alqur'an mulai mengalir dari kalbu Rasulullah bergema melalui kedua bibirnya dan sampai ke telinga, meresap di hati para pendengar. Di senja itu Mush'ab pun terpesona oleh untaian kalimat Rasulullah yang tepat menemui sasaran di kalbunya.<br />
Khunas binti Malik yakni ibunda Mush'ab, adalah seorang yang berkepribadian kuat dan pendiriannya tak dapat ditawar atau diganggu gugat, Ia wanita yang disegani bahkan ditakuti. Ketika Mush'ab memeluk Islam, tiada satu kekuatan pun yang ditakuti dan dikhawatirkannya selain ibunya sendiri.<br />
Bahkan walau seluruh penduduk Makkah beserta berhala-berhala para pembesar dan padang pasirnya berubah rupa menjadi suatu kekuatan yang menakutkan yang hendak menyerang dan menghancurkannya, tentulah Mush'ab akan menganggapnya enteng. Tapi tantangan dari ibunya, bagi Mush'ab tidak dapat dianggap kecil. Ia pun segera berpikir keras dan mengambil keputusan untuk menyembunyikan keislamannya sampai terjadi sesuatu yang dikehendaki Allah.<br />
Demikianlah ia senantiasa bolak-balik ke rumah Arqam menghadiri majelis Rasulullah, sedang hatinya merasa bahagia dengan keimanan dan sedia menebusnya dengan amarah murka ibunya yang belum mengetahui berita keislamannya.<br />
Tetapi di kota Makkah tiada rahasia yang tersembunyi, apalagi dalam suasana seperti itu. Mata kaum Quraisy berkeliaran di mana-mana mengikuti setiap langkah dan menyelusuri setiap jejak. Kebetulan seorang yang bernama Utsman bin Thalhah melihat Mush'ab memasuki rumah Arqam secara sembunyi. Kemudian pada hari yang lain dilihatnya pula ia shalat seperti Muhammad SAW. Secepat kilat ia mendapatkan ibu Mush'ab dan melaporkan berita yang dijamin kebenarannya.<br />
Berdirilah Mush'ab di hadapan ibu dan keluarganya serta para pembesar Makkah yang berkumpul di rumahnya. Dengan hati yang yakin dan pasti dibacakannya ayat-ayat Alquran yang disampaikan Rasulullah untuk mencuci hati nurani mereka, mengisinya dengan hikmah dan kemuliaan, kejujuran dan ketakwaan.<br />
Ketika sang ibu hendak membungkam mulut putranya dengan tamparan keras, tiba-tiba tangan yang terulur bagai anak panah itu surut dan jatuh terkulai, ketika melihat cahaya yang membuat wajah putranya berseri cemerlang itu kian berwibawa. Karena rasa keibuannya, ibunda Mush'ab tak jadi menyakiti putranya. Dibawalah puteranya itu ke suatu tempat terpencil di rumahnya, lalu dikurung dan dipenjarakannya dengan rapat.<br />
Demikianlah beberapa lama Mush'ab tinggal dalam kurungan sampai saat beberapa orang Muslimin hijrah ke Habasyah. Mendengar berita hijrah ini Mush'ab pun mencari muslihat, dan berhasil mengelabui ibu dan penjaga-penjaganya, lalu pergi ke Habasyah melindungkan diri. Ia tinggal di sana bersama saudara-saudaranya kaum Muslimin, lalu pulang ke Makkah. Kemudian ia pergi lagi hijrah kedua kalinya bersama para sahabat atas titah Rasulullah dan karena taat kepadanya.<br />
Pada Suatu hari ia tampil di hadapan beberapa orang Muslimin yang sedang duduk sekeliling Rasulullah SAW. Demi memandang Mush'ab, mereka menundukkan kepala dan memejamkan mata, sementara beberapa orang matanya basah karena duka. Mereka melihat Mush'ab memakai jubah usang yang bertambal-tambal, padahal belum lagi hilang dari ingatan mereka—pakaiannya sebelum masuk Islam—tak ubahnya bagaikan kembang di taman, berwarna-warni dan menghamburkan bau yang wangi.<br />
Adapun Rasulullah, menatapnya dengan pandangan penuh arti, disertai cinta kasih dan syukur dalam hati. Pada kedua bibirnya tersungging senyuman mulia, seraya berkata, "Dahulu aku lihat Mush'ab ini tak ada yang mengimbangi dalam memperoleh kesenangan dari orang tuanya, kemudian ditinggalkannya semua itu demi cintanya kepada Allah dan Rasul-Nya."<br />
Suatu saat Mush'ab dipilih Rasulullah untuk melakukan suatu tugas maha penting saat itu. Ia menjadi duta atau utusan Rasul ke Madinah untuk mengajarkan agama Islam kepada orang-orang Anshar yang telah beriman dan berbaiat kepada Rasulullah di bukit Aqabah. Di samping itu, ia juga mempersiapkan kota Madinah untuk menyambut hijrah Rasulullah sebagai peristiwa besar.<br />
Sebenarnya, di kalangan sahabat ketika itu masih banyak yang lebih tua, lebih berpengaruh dan lebih dekat hubungan kekeluargaannya dengan Rasulullah daripada Mush'ab. Tetapi Rasulullah menjatuhkan pilihannya kepada Mush'ab. Dan bukan tidak menyadari sepenuhnya bahwa beliau telah memikulkan tugas amat penting ke atas pundak pemuda itu dan menyerahkan kepadanya tanggung jawab nasib Agama Islam di kota Madinah.<br />
Mush'ab memikul amant itu dengan bekal karunia Allah kepadanya, berupa pikiran yang cerdas dan budi yang luhur. Dengan sifat zuhud, kejujuran dan kesungguhan hati, ia berhasil melunakkan dan menawan hati penduduk Madinah hingga mereka berduyun-duyun masuk Islam. Ketika tiba di Madinah pertama kali, ia mendapati kaum Muslimin tidak lebih dari dua belas orang, yakni hanya orang-orang yang telah baiat di bukit Aqabah. Namun beberapa bulan kemudian, meningkatlah jumlah orang-orang yang memenuhi panggilan Allah dan Rasul-Nya.<br />
Mush'ab memahami tugas dengan sepenuhnya, hingga tak terlanjur melampaui batas yang telah diterapkan. Ia sadar bahwa tugasnya adalah menyeru kepada Allah, menyampaikan berita gembira lahirnya suatu agama yang mengajak manusia mencapai hidayah Allah, membimbing mereka ke jalan yang lurus. Akhlaknya mengikuti pola hidup Rasulullah SAW yang diimaninya yang mengemban kewajiban hanya menyampaikan belaka. Demikianlah duta Rasulullah yang pertama itu telah mencapai hasil gemilang yang tiada taranya, suatu keberhasilan yang memang wajar dan layak diperolehnya.<br />
Dalam Perang Uhud, Mush'ab bin Umair adalah salah seorang pahlawan dan pembawa bendera perang. Ketika situasi mulai gawat karena kaum Muslimin melupakan perintah Nabi, maka ia mengacungkan bendera setinggi-tingginya dan bertakbir sekeras-kerasnya, lalu maju menyerang musuh. Targetnya, untuk menarik perhatian musuh kepadanya dan melupakan Rasulullah SAW. Dengan demikian ia membentuk barisan tentara dengan dirinya sendiri.<br />
Tiba-tiba datang musuh bernama Ibnu Qumaiah dengan menunggang kuda, lalu menebas tangan Mush'ab hingga putus, sementara Mush'ab meneriakkan, "Muhammad itu tiada lain hanyalah seorang Rasul, yang sebelumnya telah didahului oleh beberapa Rasul."<br />
Maka Mush'ab memegang bendera dengan tangan kirinya sambil membungkuk melindunginya. Musuh pun menebas tangan kirinya itu hingga putus pula. Mush'ab membungkuk ke arah bendera, lalu dengan kedua pangkal lengan meraihnya ke dada sambil berucap, "Muhammad itu tiada lain hanyalah seorang Rasul, dan sebelumnya telah didahului oleh beberapa Rasul."<br />
Lalu orang berkuda itu menyerangnya ketiga kali dengan tombak, dan menusukkannya hingga tombak itu pun patah. Mush'ab pun gugur, dan bendera jatuh. Ia gugur sebagai bintang dan mahkota para syuhada.<br />
Rasulullah bersama para sahabat datang meninjau medan pertempuran untuk menyampaikan perpisahan kepada para syuhada. Ketika sampai di tempat terbaringnya jasad Mush'ab, bercucuranlah dengan deras air matanya.<br />
Tak sehelai pun kain untuk menutupi jasadnya selain sehelai burdah. Andai ditaruh di atas kepalanya, terbukalah kedua belah kakinya. Sebaliknya bila ditutupkan di kakinya, terbukalah kepalanya. Maka Rasulullah SAW bersabda, "Tutupkanlah ke bagian kepalanya, dan kakinya tutuplah dengan rumput idzkhir!"<br />
Kemudian sambil memandangi burdah yang digunakan untuk kain penutup itu, Rasulullah berkata, "Ketika di Makkah dulu, tak seorang pun aku lihat yang lebih halus pakaiannya dan lebih rapi rambutnya daripadanya. Tetapi sekarang ini, dengan rambutmu yang kusut masai, hanya dibalut sehelai burdah."<br />
Setelah melayangkan pandang, ke arah medan laga serta para syuhada, kawan-kawan Mush'ab yang tergeletak di atasnya, Rasulullah berseru, "Sungguh, Rasulullah akan menjadi saksi nanti di hari kiamat, bahwa kalian semua adalah syuhada di sisi Allah!"<br />
Kemudian sambil berpaling ke arah sahabat yang masih hidup, Rasulullah bersabda, "Hai manusia, berziarahlah dan berkunjunglah kepada mereka, serta ucapkanlah salam! Demi Allah yang menguasai nyawaku, tak seorang Muslim pun sampai hari kiamat yang memberi salam kepada mereka, pasti mereka akan membalasnya."Samhttp://www.blogger.com/profile/02026223565972873713noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3776758012309185105.post-77967153165357721352013-01-23T01:15:00.001-08:002013-01-23T01:20:40.645-08:00Tata cara puasa<br />
<div style="line-height: 18.0pt; margin-bottom: .0001pt; margin: 0in;">
<strong><span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 9.0pt;">A. MAKAN
SAHUR</span></strong><span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 9.0pt;"><o:p></o:p></span></div>
<div style="line-height: 18.0pt; margin-bottom: .0001pt; margin: 0in;">
<span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 9.0pt;">Aktifitas
Hadhrat Rasulullah saw. selama bulan Ramadhan diantaranya makan sahur dibawah
ini hadis-hadis yang menerangkan bahwa sahur adalah kegiatan yang penting untuk
menyongsong ibadah puasa dari terbit fajar hingga terbenam matahari. Mengenai
hal ini, Rasulullah saw. besabda:<o:p></o:p></span></div>
<div style="line-height: 18.0pt; margin-bottom: .0001pt; margin: 0in;">
<em><span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 9.0pt;">‘an
anasin ibnu malikin (rodhiyallohu ‘anhu) qôla: qôla RosûlaLlâhi (shollollohu
‘alayhi wa sallam), tasahharû fa-inna fis-sahûrî barokat(un) (Mutafaq ‘alayh)</span></em><span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 9.0pt;"><o:p></o:p></span></div>
<div style="line-height: 18.0pt; margin-bottom: .0001pt; margin: 0in;">
<span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 9.0pt;">Artinya:
Dari Anas bin Malik ra. dia berkata, Rasulullah saw. bersabda: “Makan sahurlah
kamu sekalian, sebab dalam makan sahur itu ada berkahnya.” (Mutaffaq’alaih)<o:p></o:p></span></div>
<div style="line-height: 18.0pt; margin-bottom: .0001pt; margin: 0in;">
<span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 9.0pt;">Ahmad
menambahkannya dari Hadis Abu Sa’id:<o:p></o:p></span></div>
<div style="line-height: 18.0pt; margin-bottom: .0001pt; margin: 0in;">
<em><span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 9.0pt;">falâ
tad’ûhu, wa law an yatajarro’a ahadukum jar’atan min mâ-in fa-innaLloha wa
malâ-ikatahû yushollûna ‘alal-mutasahhirîn(a) – (rowâhu Ahmad)</span></em><span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 9.0pt;"><o:p></o:p></span></div>
<div style="line-height: 18.0pt; margin-bottom: .0001pt; margin: 0in;">
<span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 9.0pt;">Artinya:
Maka janganlah kamu tinggalkan sahur itu, dan seandainya seseorang diantara
kamu meneguk (meminum) seteguk air, maka sesungguhnya Allah dan para
Malaikat-Nya mendoakan atau mengasihani orang-orang yang sahur itu. (HR. Ahmad)
[1]<o:p></o:p></span></div>
<div style="line-height: 18.0pt; margin-bottom: .0001pt; margin: 0in;">
<em><span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 9.0pt;">-
‘anibni ‘abbâsin, ‘anin-nabiyyi (shollollohu ‘alayhi wa sallam) qôla: ista’înû
bitho’âmissahari ‘alâ shiyâmin-nahri wa bil-qoylûlati ‘alâ qiyâmul-layl(i) -</span></em><span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 9.0pt;"><o:p></o:p></span></div>
<div style="line-height: 18.0pt; margin-bottom: .0001pt; margin: 0in;">
<span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 9.0pt;">Artinya:
Nabi saw. bersabda: “Jadikanlah makan diwaktu sahur sebagai penolong melakukan
puasa diwaktu siang. Dan istirahat di tengah hari sebagai penolong untuk
melakukan shalat malam kalian.”[2]<o:p></o:p></span></div>
<div style="line-height: 18.0pt; margin-bottom: .0001pt; margin: 0in;">
<strong><span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 9.0pt;">B.
BERSODAQOH</span></strong><span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 9.0pt;"><o:p></o:p></span></div>
<div style="line-height: 18.0pt; margin-bottom: .0001pt; margin: 0in;">
<span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 9.0pt;">Hadhrat
Rasulullah saw. adalah pribadi yang dermawan apalagi pada saat bulan Ramadhan
kemurahan tangannya bagaikan hembusan angin sebagaimana yang diterangkan dalam
hadis di bawah ini :<o:p></o:p></span></div>
<div style="line-height: 18.0pt; margin-bottom: .0001pt; margin: 0in;">
<em><span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 9.0pt;">-
‘anibni ‘abbâsin qôla: kânan-nabiyyu (shollollohu ‘alayhi wa sallam)
ajûdan-nâsi bil-khoyri wa kâna ajûda mâ yakûnu fi Romadhôna hîna yalqôhu
jibrîlu wa kâna jibrîlu ‘alayhis-salâmu yalqôhu kulla laylatin fî romadhôna
hattâ yansalikho ya’ridhu ‘alayhin-nabiyyu (shollollohu ‘alayhi wa sallam)
alqur-âna fa-idzâ laqiyahu jibrîlu ‘alayhis-salâmu kâna ajûda bil-khyri
minar-riyhil-mursalati –</span></em><span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 9.0pt;"><o:p></o:p></span></div>
<div style="line-height: 18.0pt; margin-bottom: .0001pt; margin: 0in;">
<span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 9.0pt;">1818.
Artinya: dari ibn Abbas ra. Ia berkata Nabi saw. Adalah manusia yangn paling
dermawan, dan sedermawan-dermawan beliau adalah pada bulan Ramadhan ketika
Jibril menemui belaiu. Jibril menemui beliau pada setiap malam dari bulan
Ramadhan sehingga habisnya bulan Ramadhan itu. Kepentingannya menemui nabi saw.
Ialah untuk menyampaikan al-Quran.apabila Jibril bertemu dengan beliau maka
keadannya lebihi bermurah dengan kebaikan daripada angin yang diutus.[3]<o:p></o:p></span></div>
<div style="line-height: 18.0pt; margin-bottom: .0001pt; margin: 0in;">
<strong><span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 9.0pt;">C.
MEMPERLIHATKAN AKHLAQ YANG MULIA</span></strong><span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 9.0pt;"><o:p></o:p></span></div>
<div style="line-height: 18.0pt; margin-bottom: .0001pt; margin: 0in;">
<span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 9.0pt;">Adab
puasa lainnya yang digambarkan di dalam hadis yaitu, orang yang sedang berpuasa
hendaknya memperlihatkan akhlak yang mulia sebagaimana yang dicontohkan di
bawah ini:<o:p></o:p></span></div>
<div style="line-height: 18.0pt; margin-bottom: .0001pt; margin: 0in;">
<em><span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 9.0pt;">- ‘an
abî Huroyrota yaqûlu: qôla Rosûlullohi (shollollohu ‘alayhi wa sallam):
qôlaLlohu: kullu ‘amalib-ni Adama lahu, illa-shiyâma, fa-innahu lî wa ana ajza
bihi wash-shiyâmu junnatun, wa idzâ kâna yawmu showmin ahadakum falâ yarfutsu
wa lâ yashkhob, fa-inna sâ-bbahu ahadun aw qôtalahu fal-yaqul “innimroun
shô-imun” -</span></em><span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 9.0pt;"><o:p></o:p></span></div>
<div style="line-height: 18.0pt; margin-bottom: .0001pt; margin: 0in;">
<span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 9.0pt;">1820.
Artinya: Dari Abu Hurairah ra. berkata: Rasulullah saw bersabda: “Allah yang
Maha Mulia dan Maha Besar berfirman: “Setiap amal anak Adam itu baginya selain
puasa, sesungguhnya puasa itu bagi Ku dan Aku membalasnya. Puasa itu perisai.
Apabila salah seorang diantaramu berpuasa pada suatu hari maka janganlah
berkata keji dan jangan berteriak-teriak. Jika ada seseorang yang mencaci
makinya atau melawannya maka hendaklah ia mengatakan “sesungguhnya saya sedang
berpuasa”[4]<o:p></o:p></span></div>
<div style="line-height: 18.0pt; margin-bottom: .0001pt; margin: 0in;">
<strong><span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 9.0pt;">D.
BANYAK MEMBACA AL QUR’AN</span></strong><span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 9.0pt;"><o:p></o:p></span></div>
<div style="line-height: 18.0pt; margin-bottom: .0001pt; margin: 0in;">
<span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 9.0pt;">Amal-amal
lainnya di saat sedang berpuasa hendaknya membaca al-Quran (bertadarus)
sebagaimana hadis di bawah ini:<o:p></o:p></span></div>
<div style="line-height: 18.0pt; margin-bottom: .0001pt; margin: 0in;">
<em><span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 9.0pt;">- ‘an
‘urwata, ‘an ‘â-isyata qôlat mâ la’ina Rosûlullohi (shollollohu ‘alayhi wa
sallam) min la’natin tadzkuru kâna idzâ kâna qorîbu ‘ahdi bi Jibrîli
(‘alayhis-salâmu) yudârisuhû kâna ajûda bil-khoyri minar-rîhil-mursalat(i) -</span></em><span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 9.0pt;"><o:p></o:p></span></div>
<div style="line-height: 18.0pt; margin-bottom: .0001pt; margin: 0in;">
<span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 9.0pt;">Dari
Urwah dari Aisyah katanya : “Boleh dikata, hampir tidak pernah Rasulullah saw.
melaknat. Biasanya bila dekat masa bertemunya dengan Jibril untuk bertadarus
al-Qur’an, maka Rasulullah saw. banyak bermurah tangan lebih dari kencangnya
angin yang berhembus.”[5]<o:p></o:p></span></div>
<div style="line-height: 18.0pt; margin-bottom: .0001pt; margin: 0in;">
<strong><span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 9.0pt;">E.
MENYEGERAKAN BERBUKA PUASA</span></strong><span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 9.0pt;"><o:p></o:p></span></div>
<div style="line-height: 18.0pt; margin-bottom: .0001pt; margin: 0in;">
<span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 9.0pt;">Anjuran
Hz. Rasulullah saw. lainnya yaitu, supaya menyegerakan berbuka puasa dan itu
adalah satu kebaikan:<o:p></o:p></span></div>
<div style="line-height: 18.0pt; margin-bottom: .0001pt; margin: 0in;">
<em><span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 9.0pt;">- ‘an
sahlib-ni sa’din qôla: qôla Rosûlullohi (shollollohu ‘alayhi wa sallam): lâ
yazâlun-nâsu bikhoyrin mâ ‘ajalul-fitr(o) –</span></em><span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 9.0pt;"><o:p></o:p></span></div>
<div style="line-height: 18.0pt; margin-bottom: .0001pt; margin: 0in;">
<span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 9.0pt;">Artinya:
Bahwasanya nabi saw. bersabda manusia senantiasa ada dalam keadaan baik selama
cepat-cepat makan untuk berbuka.[6]<o:p></o:p></span></div>
<div style="line-height: 18.0pt; margin-bottom: .0001pt; margin: 0in;">
<strong><span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 9.0pt;">F.
IBADAH DI MALAM HARI</span></strong><span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 9.0pt;"><o:p></o:p></span></div>
<div style="line-height: 18.0pt; margin-bottom: .0001pt; margin: 0in;">
<span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 9.0pt;">Hadhrat.
Rasulullah saw. senantiasa mengisi malam-malamnya di bulan puasa dengan
melaksanakan ibadah dan demikianlah anjuran beliau:<o:p></o:p></span></div>
<div style="line-height: 18.0pt; margin-bottom: .0001pt; margin: 0in;">
<em><span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 9.0pt;">- ‘an
sai’îdibnil-musayyiba, ‘an Rosûlullohi (shollollohu ‘alayhi wa sallam) qôla:
man qôma Romadhôna îmânan wahtisâban, ghufiro lahu mâ taqoddama min dzambihi -</span></em><span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 9.0pt;"><o:p></o:p></span></div>
<div style="line-height: 18.0pt; margin-bottom: .0001pt; margin: 0in;">
<span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 9.0pt;">Artinya:
bersabda Rasulullah saw. “Barang siapa yang beribadah malam di bulan Ramadhan
dengan penuh keimanan dan berharap pahala dari Allah, maka akan diampunkan
dosa-dosanya yang lalu.”[7]<o:p></o:p></span></div>
<div style="line-height: 18.0pt; margin-bottom: .0001pt; margin: 0in;">
<span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 9.0pt;">Hadhrat
Rasulullah saw. mengerjakan shalat malam (tarawih) secara berjamaah di bulan
puasa. Tapi hal itu beliau laksanakan hanya beberapa hari saja, karena
dikhawatirkan shalat malam (tarawih) secara berjamaah itu dianggap suatu
kewajiban oleh umat beliau.<o:p></o:p></span></div>
<div style="line-height: 18.0pt; margin-bottom: .0001pt; margin: 0in;">
<span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 9.0pt;">Artinya:
Aisyah ra. berkata: “Pada suatu malam di bulan Ramadhan Rasulullah saw.
mengerjakan shalat malam berjamaah di masjid. Seterusnya Hz. Aisyah ra. berkata
bahwa nabi hanya menganjurkan sahabat-sahabatnya supaya gemar beribadah di
malam hari di bulan Ramadhan dan anjurannya itu tidak bersifat perintah. Karena
itu beliau bersabda: “Barang siapa beribadah di malam lailatul qadar dengan
penuh keimanan dan berharap pahala dari Allah, maka ia akan diampunkan
dosa-dosanya yang terdahulu.”<o:p></o:p></span></div>
<div style="line-height: 18.0pt; margin-bottom: .0001pt; margin: 0in;">
<span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 9.0pt;">Urwah
berkata:” Demikianlah keadaan itu terus berlangsung hingga Rasulullah saw. pulang
ke rahmatullah”.[8]<o:p></o:p></span></div>
<div style="line-height: 18.0pt; margin-bottom: .0001pt; margin: 0in;">
<strong><span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 9.0pt;">G.
BERI’TIKAF</span></strong><span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 9.0pt;"><o:p></o:p></span></div>
<div style="line-height: 18.0pt; margin-bottom: .0001pt; margin: 0in;">
<span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 9.0pt;">Hadhrat
Rasulullah saw apabila di sepuluh malam terakhir di bulan Ramadhan senantiasa
melaksanakan I’tikaf, demikianlah bunyi hadisnya:<o:p></o:p></span></div>
<div style="line-height: 18.0pt; margin-bottom: .0001pt; margin: 0in;">
<em><span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 9.0pt;">- ‘an
‘âisyata, annan-Nabiyya (shollollohu ‘alayhi wa sallam) kâna ya’taqiful-‘asyrol-awâkhiro
min Romadhôna hattâ qobadhohuLlohu -</span></em><span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 9.0pt;"><o:p></o:p></span></div>
<div style="line-height: 18.0pt; margin-bottom: .0001pt; margin: 0in;">
<span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 9.0pt;">Artinya:
Dari Aisyah “Bahwasanya nabi saw. biasa beri’tikaf pada sepuluh yang akhir dari
bulan Ramadhan sampai Allah mengambil nyawanya”.[9]<o:p></o:p></span></div>
<div style="line-height: 18.0pt; margin-bottom: .0001pt; margin: 0in;">
<em><span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 9.0pt;">- ‘an
‘aliyyi, anna annan-Nabiyya (shollollohu ‘alayhi wa sallam) kâna yûqidzu ahlahu
fîl-awâkhiri min Romadhôn(a) -</span></em><span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 9.0pt;"><o:p></o:p></span></div>
<div style="line-height: 18.0pt; margin-bottom: .0001pt; margin: 0in;">
<span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 9.0pt;">Artinya:
Dari Ali ra. bahwasanya nabi saw. biasa membangunkan keluarganya pada sepuluh
terakhir dari bulan Ramadhan. [10]<o:p></o:p></span></div>
<div style="line-height: 18.0pt; margin-bottom: .0001pt; margin: 0in;">
<span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 9.0pt;">Demikianlah
amalan-amalan yang nampak dilakukan oleh Rasulullah saw. Ketika beliau berada
di Bulan Ramadhan. Kita sebagai pengikutnya harus bisa mencontoh apa-apa yang
beliau kerjakan.<o:p></o:p></span></div>
<div style="line-height: 18.0pt; margin-bottom: .0001pt; margin: 0in;">
<u><span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 9.0pt;">Catatan
kaki:</span></u><span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 9.0pt;"><o:p></o:p></span></div>
<div style="line-height: 18.0pt; margin-bottom: .0001pt; margin: 0in;">
<span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 9.0pt;">[1] Drs.
Abu Bakar Muhammad, TERJEMAHAN SUBULUS-SALAM, Jilid 2, Surabaya: Al-Ikhlas,
1991, Kitab Puasa, hlm. 610-611<o:p></o:p></span></div>
<div style="line-height: 18.0pt; margin-bottom: .0001pt; margin: 0in;">
<span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 9.0pt;">[2] Al
Ustadz H. Abdullah Shonhaji, dkk, TARJAMAH SUNAN IBNU MAJAH II, Semarang: CV
Asy Syifa’ 1992, hal. 473, Bab Tentang Sahur, No. 1693<o:p></o:p></span></div>
<div style="line-height: 18.0pt; margin-bottom: .0001pt; margin: 0in;">
<span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 9.0pt;">[3]
Ahmad Sunarto, dkk, TARJAMAH BUKHARI III, Semarang: CVAssyifa, 1993, hal.93,
Bab Sedermawan-dermawan nabi saw. adalah pada bulan Ramadhan<o:p></o:p></span></div>
<div style="line-height: 18.0pt; margin-bottom: .0001pt; margin: 0in;">
<span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 9.0pt;">[4]
Ibid, hal 94<o:p></o:p></span></div>
<div style="line-height: 18.0pt; margin-bottom: .0001pt; margin: 0in;">
<span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 9.0pt;">[5]
Ustadz Bey Arifin, dkk, TARJAMAH SUNAN AN-NASA’IY II, Semarang: CVAssyifa,
1992, hlm. 505, BAB Keutamaan bermurah tangan di bulan ramadhan, Hadits No.
2065<o:p></o:p></span></div>
<div style="line-height: 18.0pt; margin-bottom: .0001pt; margin: 0in;">
<span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 9.0pt;">[6] Moh.
Zuhri Dipl. TAFL, Drs. H., dkk, TARJAMAH SUNAN AT-TIRMIDZI II, Semarang:
CVAssyifa, 1992, hal.20, Bab Bersegera untuk berpuasa, Hadis No. 690<o:p></o:p></span></div>
<div style="line-height: 18.0pt; margin-bottom: .0001pt; margin: 0in;">
<span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 9.0pt;">[7]
Ustadz Bey Arifin, dkk, TARJAMAH SUNAN AN-NASA’IY II, Semarang: CVAssyifa,
1992, hlm. 546, Bab Pahala orang yang berpuasa Ramadhan dan beribadah di malam
harinya dengan penuh keimanan dan berharap pahala dan Allah, Hadits No. 2157<o:p></o:p></span></div>
<div style="line-height: 18.0pt; margin-bottom: .0001pt; margin: 0in;">
<span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 9.0pt;">[8]
Ustadz Bey Arifin, dkk, TARJAMAH SUNAN AN-NASA’IY II, Semarang: CVAssyifa,
1992, halaman 505, hal. 549, no. 2161<o:p></o:p></span></div>
<div style="line-height: 18.0pt; margin-bottom: .0001pt; margin: 0in;">
<span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 9.0pt;">[9] Moh.
Zuhri Dipl. TAFL, Drs. H., dkk, TARJAMAH SUNAN AT-TIRMIDZI II, Semarang: CVAssyifa,
1992, hlm. 114, Bab Tentang I’tikaf, Hadits No. 787<o:p></o:p></span></div>
<div style="line-height: 18.0pt; margin-bottom: .0001pt; margin: 0in;">
<span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 9.0pt;">[10]
Ibid, hlm,. 120, Bab tentang daripadanya, Hadits No. 792<o:p></o:p></span></div>
<br />
<div style="background-color: #f2f2f2; color: #666666; font-family: Arial, Helvetica, sans-serif; font-size: 12px; line-height: 24px; margin-bottom: 1em; padding: 0px;">
</div>
Samhttp://www.blogger.com/profile/02026223565972873713noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3776758012309185105.post-13016560254467321462012-10-27T06:01:00.002-07:002012-10-27T06:01:40.259-07:00Niat dalam shalat<div align="justify">
<strong>Definisi</strong> </div>
Niat adalah maksud atau keinginan kuat dalam hati untuk melakukan
sesuatu. Dalam terminologi syar’i niat berarti keinginan melakukan
ketaatan kepada Allah dengan melaksanakan perbuatan atau
meninggalkannya. <br />
<strong>Niat dalam shalat</strong> <br />
Imam an-Nawawi dalam al-Majmu’ berkata, “Niat adalah fardhu, shalat tidak sah tanpanya, Ibnul Mundzir dalam kitabnya <i>al-Asyraf</i> dan kitab <i>al-Ijma’</i>, Syaikh Abu Hamid al-Isfirayini, Qadhi Abu ath-Thayyib, penulis <i>asy-Syamil</i>, Muhammad bin Yahya dan lain-lainnya menukil ijma’ ulama bahwa shalat tidak sah tanpa niat.” <br />
Jadi para ulama telah berijma’ bahwa shalat tanpa niat tidak sah,
ijma’ ini berdasar kepada hadits Umar bin al-Khatthab yang diriwayatkan
oleh al-Bukhari dan Muslim bahwa Nabi saw bersabda, <br />
<i>“Sesungguhnya amal-amal itu dengan niat dan sesungguhnya masing-masing orang mendapatkan apa yang dia niatkan.”</i> <br />
<strong>Apakah niat termasuk rukun ataukah syarat?</strong> <br />
Setelah para ulama bersepakat bahwa niat adalah wajib dan bahwa
shalat tidak sah tanpanya, mereka berselisih pendapat tentang apakah
niat itu rukun shalat ataukah syarat sahnya shalat? Ada yang berkata
yang pertama dan ada yang berkata yang kedua, Imam an-Nawawi dalam <i>al-Majmu’</i>
3/276 berkata, “Yang shahih lagi masyhur adalah bahwa ia syarat bukan
rukun.” Pilihan Imam an-Nawawi inilah yang shahih karena niat dilakukan
di luar atau sebelum shalat, sesuatu yang harus dipenuhi sebelum sesuatu
lebih dekat dinamai syarat daripada rukun, karena rukun lazim ada di
dalam sesuatu. Penulis sendiri tidak melihat faidah khilaf yang berarti
karena pihak yang mengatakan bahwa niat merupakan rukun dan pihak yang
mengatakan bahwa niat merupakan syarat menyepakati bahwa ia wajib dan
shalat tidak sah tanpanya. <br />
<strong>Tempat niat</strong> <br />
Niat termasuk perbuatan hati maka tempatnya adalah di dalam hati,
bahkan semua perbuatan yang hendak dilakukan oleh manusia, niatnya
secara otomatis tertanam di dalam hatinya, bagaimanan dia akan melakukan
kalau tidak ada niat di dalam hatinya? <br />
Dari sini maka niat dalam shalat cukup di dalam hati tidak perlu dan
tidak dianjurkan untuk dilafazhkan dengan lisan, tidak perlu ada lafzah,
<i>ushalli fardha al-maghribi</i> dan sepertinya. Dalam matan <i>al-Muhadzdzab</i>
(fikih madzhab asy-Syafi’i) dikatakan, “Tempat niat adalah hati, jika
dia berniat dengan hatinya tanpa lisannya maka itu sudah cukup, dan di
antara kawan-kawan kami ada yang berkata, ‘berniat dengan hati dan
berlafazh dengan lisan’. Dan ini bukan apa-apa, karena niat adalah
maksud dengan hati.” <br />
Kita melihat penulis <i>al-Muhadzdzab</i> mengomentari pendapat
sebagian kawannya yang mengatakan, ‘Berniat dalam hati dan melafazhkan
dengan lisan.’ Ini berarti dia menggabungkan antara niat hati dan lafazh
dengan lisan, ini berarti ada <i>talaffuzh</i> dengan niat, penulis <i>al-Muhadzdzab</i> berkata tentangnya, “Bukan apa-apa.” <br />
Asal usul <i>talaffuzh</i> dengan niat adalah kekeliruan dalam
memahami ucapan Imam asy-Syafi’i -semoga Allah merahmatinya- yang
terjadi pada salah seorang ulama madzhab asy-Syafi’i Abu Abdullah
az-Zubairi, orang ini -semoga Allah merahmatinya- berkata, “Tidak cukup
baginya sehingga dia menggabungkan antara niat hati dan <i>talaffuzh</i>
lisan, karena asy-Syafi’i -semoga Allah merahmatinya- berkata dalam
haji, ‘Jika dia berniat haji atau umrah, maka sudah cukup baginya
walaupun dia tidak ber<i>talaffuzh</i>, ia tidak seperti shalat, ia (shalat) tidak sah kecuali dengan <i>an-nutqi</i>(ucapan)’.” <br />
Perkara ini telah diluruskan oleh Imam an-Nawawi dalam <i>al-Majmu’</i>
3/277, dia berkata, kawan-kawan kami berkata, “Orang yang berkata ini
keliru, maksud asy-Syafi’i dengan ucapan dalam shalat bukan itu, akan
tetapi maksudnya adalah takbir. Seandainya dia ber<i>talaffuzh</i> dengan lisannya tetapi tidak berniat dengan hatinya maka shalatnya tidak sah dengan ijma’.” <br />
Dari pelurusan Imam an-Nawawi ini kita mengetahui bahwa Imam asy-Syafi’i -semoga Allah merahmatinya- tidak menganjurkan <i>talaffuzh bin niyyah</i>
(melafazhkan niat), dan bahwa perkara ini datang dari sebagian pengikut
madzhab asy-Syafi’i yang keliru memahami ucapan sang Imam, dari sini
sudah saatnya dan sudah sepantasnya para pengikut madzhab kembali kepada
pendapat sang Imam karena ia adalah pendapat yang benar. <br />
<strong>Dalil-dalil yang menetapkan tidak adanya <i>talaffuzh</i> dalam niat</strong> <br />
Imam Muslim meriwayatkan dari Aisyah berkata, “Rasulullah saw membuka
shalat dengan takbir.” Jadi sebelum takbir tidak ada talaffuzh dengan
niat, karena jika ada maka Aisyah akan menyampaikannya. <br />
Abdullah bin Umar berkata, “Aku melihat Rasulullah saw membuka shalat
dengan takbir, beliau mengangkat…(HR. al-Bukhari dan Muslim). Jika
sebelum takbir ada sesuatu ucapan, tentu Ibnu Umar akan menyampaikannya.
<br />
Demikian pula dengan pelajaran shalat Nabi saw kepada seorang laki-laki yang shalat dengan buruk, “<i>Jika
kamu shalat maka sempurnakanlah wudhu, kemudian menghadaplah kiblat,
lalu bertakbirlah, kemudian bacalah al-Qur`an yang termudah bagimu</i>…(HR.
Al-Bukhari dan Muslim). Mana talaffuzh dengan niat? Adakah Nabi saw
lupa mengajarkannya kepada laki-laki ini yang membutuhkan ilmu tentang
shalat? <br />
Imam Ibnul Qayyim dalam <i>Zadul Ma’ad</i> 1/201 berkata tentang
masalah ini, “Jika Nabi saw berdiri shalat beliau berkata, ‘Allahu
Akbar’ beliau tidak mengucapkan sesuatu sebelumnya, tidak ber<i>talaffuzh</i>
dengan niat sekalipun, beliau tidak berkata, ‘Saya shalat karena Allah
begini menghadap kiblat empat rakaat sebagai imam atau makmum’. Tidak
pula beliau berucap, ‘Sebagai pelaksanaan atau qadha’ dan tidak pula,
‘kewajiban waktu’. Ini adalah sepuluh bid’ah, tidak seorang pun yang
menukil satu lafazh pun darinya dari beliau, tidak dengan sanad shahih
maupun dhaif, tidak dengan sanad maupun mursal, bahkan tidak dari
seorang sahabat beliau, tidak seorang pun dari kalangan tabiin yang
menyatakannya, begitu pula dengan para Imam yang empat, akan tetapi yang
terjadi adalah kekeliruan sebagian kalangan mutaakhkhirin dalam
memahami ucapan asy-Syafi’i dalam shalat, ‘Ia tidak seperti puasa, dan
seseorang tidak masuk ke dalamnya kecuali dengan dzikir.’ Maka dia
menduga bahwa dzikir di sini adalah ber<i>talaffuzh</i> dengan niat,
padahal maksud asy-Syafi’i dengan dzikir adalah ucapan Allahu Akbar,
bukan lainnya, bagaimana mungkin asy-Syafi’i menganjurkan sesuatu yang
tidak dilakukan oleh Nabi saw dalam satu shalat pun, tidak pula
dilakukan oleh para khulafa` Nabi saw dan para sahabat beliau, ini
adalah petunjuk dan sirah mereka, jika ada orang yang bisa menghadirkan
satu huruf dari mereka maka kami menerimanya, dan tidak ada petunjuk
yang lebih sempurna daripada petunjuk mereka, dan tidak ada sunnah
selain apa yang mereka terima dari peletak syariat Muhammad saw.” Samhttp://www.blogger.com/profile/02026223565972873713noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3776758012309185105.post-11271522777787379572012-10-27T05:59:00.002-07:002012-10-27T05:59:35.766-07:00Shalat dan kedudukannya<div align="justify">
<strong>Definisi Shalat.</strong> </div>
Shalat dari segi bahasa berarti doa kebaikan, penggunaan kata ini
dikenal dalam bahasa Arab sebelum ia ditransfer kepada makna syar’i. <br />Firman Allah Taala, <br />
<div align="justify" dir="rtl">
وَصَلِّ عَلَيْهِمْ إِنَّ صَلاَتَكَ سَكَنٌ لَهُمْ . </div>
<i>“Dan mendoalah untuk mereka, sesungguhnya doa kamu itu menjadi ketentraman jiwa bagi mereka.”</i> (At-Taubah: 103) <br />
<strong>Shalat dari segi istilah syar’i</strong> adalah perkataan-perkataan dan perbuatan-perbuatan khusus yang diawali dengan takbir dan ditutup dengan salam. <br />Shalat
dinamakan shalat karena ia mengandung makna dari segi bahasa yaitu doa
kebaikan. Dalam Kitab al-Inshaf dikatakan, “Inilah yang shahih yang
dipegang oleh jumhur fuqaha’ dan ahli bahasa Arab.” <br />
<strong>Kedudukan shalat.</strong> <br />
Shalat adalah salah satu rukun Islam yang lima, ia hadir setelah
syahadatain sebagai bukti pertama dan utama atas kebenarannya, Allah
Taala mewajibkannya kepada Rasulullah saw pada malam Mi’raj tiga tahun
sebelum hijrah di langit secara langsung tanpa perantara malaikat. <br />
Anas bin Malik berkata, “Shalat diwajibkan atas Nabi saw pada malam
beliau diisra’kan sebanyak lima puluh shalat, kemudian dikurangi
sehingga ia menjadi lima, kemudian diserukan, ‘Wahai Muhammad, perkataan
padaKu tidak dirubah dan dengan lima itu kamu mendapatkan lima puluh.”
(HR. Ahmad, at-Tirmidzi dan an-Nasa`i). <br />
<strong>Shalat merupakan <i>had</i> (pembatas) antara seseorang dengan kekufuran dan kesyirikan.</strong> <br />Nabi saw bersabda, <br />
<div align="justify" dir="rtl">
إِنَّ بَيْنَ الرَّجُلِ وَبَيْنَ الشِّرْكِ وَالكُفْرِ تَرْكُ الصَّلاَةِ . </div>
<i>“Sesungguhnya antara seseorang dengan kesyirikan dan kekufuran adalah meninggalkan shalat.”</i> (HR. Muslim dari Jabir bin Abdullah). <br />
<div align="justify" dir="rtl">
عن بريدة بن الحصيب رضي الله عنه قال : قَالَ
رَسُوْلُ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلّم : اَلعَهْدُ الّذِي
بَيْنَنَا وَبَيْنَهُمْ الصَّلاَة فَمَنْ تَرَكَهَا فَقَدْ كَفَرَ. </div>
Dari Buraidah bin al-Hushaib berkata, Rasulullah saw bersabda, <i>“Perjanjian antara kami dengan mereka adalah shalat, barangsiapa meninggalkannya maka dia kafir.”</i>
(HR. Ahmad, at-Tirmidzi, dia berkata, “Hadits hasan shahih gharib.”
An-Nasa`i dan dishahihkan oleh al-Albani dalam Shahih at-Targhib wa
at-Tarhib, 1/226). <br />
<strong>Shalat merupakan tiang bagi segala perkara dalam agama,</strong> <br />Sebagaimana dalam hadits Muadz bin Jabal yang panjang, Nabi saw bersabda, <br />
<div align="justify" dir="rtl">
رَأْسُ الأَمْرِ الإِسْلاَمُ، وَعَمُوْدُهُ الصَّلاَةُ، وَذِرْوَةُ سَنَامِهِ الجِهَادُ. </div>
<i>“Kepala bagi perkara adalah Islam, tiangnya adalah shalat dan puncak punuknya adalah jihad.”</i>
(HR. Ahmad, at-Tirmidzi, dia berkata, “Hasan shahih.” Dishahihkan oleh
al-Albani dalam takhrij kitab al-Iman, Ibnu Abi Syaibah no. 1). <br />
<strong>Shalat adalah amal hamba yang pertama kali dihisab oleh Allah Taala pada Hari Kiamat.</strong> <br />Nabi saw bersabda, <br />
<div align="justify" dir="rtl">
إِنَّ أَوَّلَ مَا يُحَاسَبُ بِهِ العَبْدُ الصَّلاَةُ. </div>
<i>“Perkara pertama dimana seorang hamba dihisab atasnya adalah shalat.”</i> (HR. an-Nasa`i dishahihkan oleh al-Albani dalam ash-Shahihah no. 1748). <br />
Dalam hadits Abu Hurairah berkata, Aku mendengar Rasulullah saw bersabda, <br />
<div align="justify" dir="rtl">
إِنَّ أَوَّلَ مَا يُحَاسَبُ بِهِ العَبْدُ
صَلاَتُهُ، فَإِنْ أَتَمَّهَا، وَإِلاَّ نُظِرَ هَلْ لَهُ مِنْ تَطَوُّعٍ،
فَإِنْ كَانَ لَهُ تَطَوُّعٌ، أُكْمِلَتْ الفَرِيْضَةُ مِنْ تَطَوُّعِهِ،
ثُمَّ تُرْفَعُ سَائِرُ الأَعْمَالِ عَلىَ ذَلِكَ. </div>
<i>“Sesungguhnya perkara pertama yang dihisab atas seorang hamba
adalah shalatnya, jika dia menyempurnakannya, dan jika tidak maka
dilihat apakah dia mempunyai shalat sunnah, jika dia memiliki shalat
sunnah maka shalat wajibnya disempurnakan dari shalat sunnahnya kemudian
amal-amal lainnya diangkat di atas itu.”</i> (HR. Ahmad, Ibnu Majah dan dishahihkan oleh al-Albani dalam ash-Shahihah no. 1358). <br />
<strong>Shalat merupakan ibadah yang tidak mengenal kata, ‘Saya tidak mampu.’</strong> <br />
Karena ia wajib dalam segala kondisi tanpa memberi peluang kepada
seorang muslim untuk berkata, ‘Saya sakit atau saya bepergian atau saya
sibuk’ dan alasan-alasan lainnya, selama seorang muslim berakal dan
nyawanya masih dikandung badan maka tidak ada alasan untuk tidak shalat,
sampai dalam kondisi takutpun Allah Taala tetap memerintahkan kaum
muslimin untuk tetap mendirikan shalat meskipun dengan merubah sebagian
tatanannya, hal ini merupakan bukti yang berbicara tentang kedudukan
shalat. <br />
Firman Allah, <i>“Peliharalah segala shalatmu dan peliharalah shalat
wustha. Berdirilah karena Allah dalam shalatmu dengan khusu’. Jika kamu
dalam keadaan takut (bahaya) maka shalatlah sambil berjalan atau
berkendaraan.”</i> (Al-Baqarah: 238-239). <br />
<strong>Melihat kepada kedudukan shalat yang agung dalam agama Islam maka Allah Taala menamakan shalat dengan iman</strong> <br />
FirmanNya, <i>“Dan Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu.”</i> (Al-Baqarah: 143). <br />
Ibnu Katsir berkata tentang ayat ini, “Firman Allah, <i>‘Dan Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu’</i>, yakni shalatmu ke Baitul Maqdis sebelum itu, pahalanya tidak akan sia-sia di sisi Allah.” <br />
Ibnul Qayyim dalam kitab <i>ash-Shalah</i> menjelaskan tentang
kedudukan shalat, beliau berkata, “Shalat memiliki
keistimewaan-keistimewaan yang tidak dimiliki oleh ibadah selainnya, ia
adalah kewajiban Islam pertama yang ditetapkan oleh Allah. Oleh karena
itu Nabi saw berpesan kepada utusan-utusan dan delegasi-delegasinya agar
memulai berdakwah kepadanya setelah syahadatain. Beliau bersabda kepada
Muadz, <br />
<i>‘Kamu akan mendatangi suatu kaum ahli kitab, hendaknya perkara
pertama yang kamu dakwahkan kepada mereka adalah syahadat la ilaha
illallah dan bahwa Muhammad adalah Rasulullah dan bahwa Allah telah
mewajibkan shalat lima waktu sehari semalam.’</i> (HR. al-Bukhari dan Muslim), <br />
dan karena ia adalah ibadah hamba yang pertama kali dihisab, Allah
mewajibkannya di langit pada malam Mi’raj, itu adalah ibadah yang paling
banyak disebut di dalam al-Qur`an. Peduduk neraka ketika ditanya, <br />
<i>‘Apakah yang memasukkan kamu ke dalam Saqar (neraka)?’</i> (Al-Muddatstsir: 42), <br />
mereka tidak memulai menjawab dengan sesuatu selain meninggalkan
shalat, kewajiban shalat tidak gugur dari seorang hamba dalam kondisi
apapun selama dia berakal, berbeda dengan kewajiban-kewajibna lainnya
yang wajib dalam kondisi dan tidak dalam kondisi lainnya, ia adalah
tonggak bangunan Islam, jika tonggak sebuah bangunan runtuh maka
runtuhlah bangunan, ia adalah bagian dari agama yang hilang paling
kafir, ia wajib atas orang merdeka dan hamba sahaya, laki-laki dan
perempuan, orang mukim dan musafir, orang sehat dan sakit, orang kaya
dan orang miskin.” <br />
Muhammad bin Nashr al-Marwazhi dalam kitabnya <i>Ta’zhim Qadr ash-Shalah</i>
menjelaskan tentang kedudukan shalat, beliau berkata, “Di antara dalil
yang dengannya Allah menetapkan keagungan kedudukan shalat dan bahwa ia
berbeda dengan amal-amal yang lain adalah pewajibanNya terhadapnya atas
nabi-nabi dan rasul-rasulNya dan pemberitahuanNya tentang pengagungan
mereka terhadapnya, di antara hal tersebut adalah bahwa Allah azj
mendekatkan Musa kepadaNya pada saat dia bermunajat dan Dia berbicara
kepadanya. Perkara pertama yang Allah wajibkan atasnya setelah Dia
mewajibkan beribadah kepadaNya adalah mendirikan shalat, Allah tidak
menetapkan kewajiban selainnya atasnya. Allah berfirman berbicara kepada
Musa dengan kalimat-kalimatNya tanpa penerjemah. <br />
<i>‘Maka dengarkanlah apa yang akan diwahyukan (kepadamu).
Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang hak) selain
Aku, maka sembahlah Aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku.’</i> (Thaha: 13). <br />
Hal tersebut membuktikan keagungan kedudukan shalat dan keutamaannya
atas amal-amal yang lain di mana Dia tidak memulai Musa yang bermunajat
kepadanya dan Dia berbicara kepadanya dengan suatu kewajiban yang
mendahuluinya.” Samhttp://www.blogger.com/profile/02026223565972873713noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3776758012309185105.post-17844516119787144562012-10-27T05:58:00.002-07:002012-10-27T05:58:21.984-07:00Hikmah Shalat<div align="justify">
Allah adalah al-Hakim, pemilik hikmah, tidak ada
sesuatu yang Dia syariatkan kecuali ia pasti mengandung hikmah, tidak
ada sesuatu dari Allah yang sia-sia dan tidak berguna karena hal itu
bertentangan dengan hikmahNya, dan kita sebagai manusia dengan
keterbatasan tidak mungkin mengetahui dan mengungkap seluruh hikmah yang
terkandung dalam apa yang Allah syariatkan dan tetapkan, apa yang kita
ketahui dari hikmah Allah hanyalah sebagian kecil, dan yang tidak kita
ketahui jauh lebih besar, <i>“Dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit.”</i>
(Al-Isra`: 85). Sekecil apapun dari hikmah Allah dalam sesuatu yang
bisa kita ketahui, hal itu sudah lebih dari cukup untuk mendorong dan
memacu kita untuk melakukan sesuatu tersebut karena pengetahuan tentang
kebaikan sesuatu melecut orang untuk melakukannya. </div>
Ibadah shalat yang merupakan ibadah teragung dalam Islam termasuk
ibadah yang kaya dengan kandungan hikmah kebaikan bagi orang yang
melaksanakannya. Siapaun yang mengetahui dan pernah merasakannya
mengakui hak itu, oleh karena itu dia tidak akan rela meninggalkannya,
sebaliknya orang yang tidak pernah mengetahui akan berkata, untuk apa
shalat? Dengan nada pengingkaran. <br />
<strong>Pertama:</strong> Manusia memiliki dorongan nafsu kepada
kebaikan dan keburukan, yang pertama ditumbuhkan dan yang kedua direm
dan dikendalikan, dan sarana pengendali terbaik adalah ibadah shalat.
Kenyataan membuktikan bahwa orang yang menegakkan shalat adalah orang
yang paling minim melakukan tindak kemaksiatan dan kriminal, sebaliknya
semakin jauh seseorang dari shalat, semakin terbuka peluang kemaksiatan
dan kriminalnya. <br />
Firman Allah, <i>“Dan dirikanlah shalat, sesungguhnya shalat itu mencegah dari perbuatan-perbuatan keji dan mungkar.”</i> (Al-Ankabut: 45). <br />
Dari sini kita memahami makna dari penyandingan Allah antara
menyia-nyiakan shalat dengan mengikuti syahwat yang berujung kepada
kesesatan. <br />
Firman Allah, <i>“Maka datanglah sesudah mereka, pengganti (yang
jelek) yang menyia-nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsunya, maka
mereka kelak akan menemui kesesatan.” </i>(Maryam: 59). <br />
<strong>Kedua:</strong> Seandainya seseorang telah terlanjur terjatuh
kedalam kemaksiatan dan hal ini pasti terjadi karena tidak ada menusia
yang ma’shum (terjaga dari dosa) selain para nabi dan rasul, maka shalat
merupakan pembersih dan kaffarat terbaik untuk itu. <br />
Rasulullah saw mengumpamakan shalat lima waktu dengan sebuah sungai
yang mengalir di depan pintu rumah salah seorang dari kita, lalu dia
mandi di sungai itu lima kali dalam sehari semalam, adakah kotoran
ditubuhnya yang masih tersisa? <br />
Dari Abu Hurairah berkata, aku mendengar Rasulullah saw bersabda, <br />
<div align="justify" dir="rtl">
أَرَأَيْتُمْ لَوْ أَنَّ نَهْرَاً بِبَابِ
أَحَدِكُمْ يَغْتَسِلُ مِنْهُ كُلَّ يَوْمٍ خَمْسَ مَرَّاتٍ هَلْ يَبْقَى
مِنْ دَرَنِهِ شَيْءٌ؟ قَالُوا: لاَ يَبْقَى مِنْ دَرَنِهِ شَيْءٌ، قَالَ:
فَذَلِكَ مَثَلُ الصَّلَوَاتِ الخَمْسِ يَمْحُو الله بِهِنَّ الخَطَايَا. </div>
<i>“Menurut kalian seandainya ada sungai di depan pintu rumah salah
seorang dari kalian di mana dia mandi di dalamnya setiap hari lima kali,
apakah masih ada kotorannya yang tersisa sedikit pun?”</i> Mereka menjawab,”Tidak ada kotoran yang tersisa sedikit pun.” Rasulullah saw bersabda, <i>“Begitulah perumpamaan shalat lima waktu, dengannya Allah menghapus kesalahan-kesalahan.”</i> (HR. al-Bukhari dan Muslim). <br />
Dari Ibnu Mas’ud bahwa seorang laki-laki mendaratkan sebuah ciuman
kepada seorang wanita, lalu dia datang kepada Nabi saw dan menyampaikan
hal itu kepada beliau, maka Allah menurunkan, <i>“Dan dirikanlah shalat
itu pada kedua tepi siang (pagi dan petang) dan pada bahagian permulaan
daripada malam. Sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang baik itu
menghapuskan (dosa) perbuatan-perbuatan yang buruk.”</i> (Hud: 114) Laki-laki itu berkata, “Ini untukku?” Nabi saw menjawab, <i>“Untuk seluruh umatku.”</i> (Muttafaq Alaihi). <br />
<strong>Ketiga:</strong> Hidup manusia tidak terbebas dari ujian dan
cobaan, kesulitan dan kesempitan dan dalam semua itu manusia memerlukan
pegangan dan pijakan kokoh, jika tidak maka dia akan terseret dan tidak
mampu mengatasinya untuk bisa keluar darinya dengan selamat seperti yang
diharapkan, pijakan dan pegangan kokoh terbaik adalah shalat, dengannya
seseorang menjadi kuat ibarat batu karang yang tidak bergeming di
hantam ombak bertubu-tubi. <br />
Firman Allah, <i>“Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu, dan
sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang
yang khusyu’.”</i> (Al-Baqarah: 45). <br />
Ibnu Katsir berkata, “Adapun firman Allah, ‘Dan shalat’, maka shalat
termasuk penolong terbesar dalam keteguhan dalam suatu perkara.” <br />
Firman Allah, <i>“Hai orang-orang yang beriman, jadikanlah sabar dan
shalat sebagai penolongmu. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang
sabar.” </i>(Al-Baqarah: 153). <br />
Ibnu Katsir berkata, “Allah Taala menjelaskan bahwa sarana terbaik
sebagai penolong dalam memikul musibah adalah kesabaran dan shalat.” <br />
Imam Abu Dawud meriwayatkan dari Hudzaefah bahwa jika Rasulullah saw
tertimpa suatu perkara yang berat maka beliau melakukan shalat. (HR. Abu
Dawud nomor 1319). <br />
<strong>Keempat:</strong> Hidup memiliki dua sisi, nikmat atau
musibah, kebahagiaan atau kesedihan. Dua sisi yang menuntut sikap
berbeda, syukur atau sabar. Akan tetapi persoalannya tidak mudah, karena
manusia memiliki kecenderungan kufur pada saat meraih nikmat dan
berkeluh kesah pada saat meraih musibah, dan inilah yang terjadi pada
manusia secara umum, kecuali orang-orang yang shalat. Orang yang shalat
akan mampu menyeimbangkan sikap pada kedua keadaan hidup tersebut. <br />
Firman Allah, <i>“Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh
kesah lagi kikir. Apabila ia ditimpa kesusahan ia berkeluh kesah. Dan
apabila ia mendapat kebaikan ia amat kikir, kecuali orang-orang yang
mengerjakan shalat, yang mereka itu tetap mengerjakan shalatnya.”</i> (Al-Ma’arij: 19-23). <br />
Ibnu Katsir berkata, “Kemudian Allah berfirman, <i>‘Kecuali
orang-orang yang shalat’ yakni manusia dari sisi bahwa dia memiliki
sifat-sifat tercela kecuali orang yang dijaga, diberi taufik dan
ditunjukkan oleh Allah kepada kebaikan yang dimudahkan sebab-sebabnya
olehNya dan mereka adalah orang-orang shalat.”</i> <br />
Sebagian dari hikmah yang penulis sebutkan di atas cukup untuk
membuktikan bahwa shalat adalah ibadah mulia lagi agung di mana kita
membutuhkannya dan bukan ia yang membutuhkan kita, dari sini kita
mendapatkan ayat-ayat al-Qur`an menetapkan bahwa perkara shalat ini
merupakan salah satu wasiat Allah kepada nabi-nabi dan wasiat nabi-nabi
kepada umatnya. <br />
Allah berfirman tentang Isa putra Maryam, <i>“Dan Dia menjadikan aku
seorang yang diberkahi di mana saja aku berada, dan dia mewasiatkan
kepadaku (mendirikan) shalat dan (menunaikan) zakat selama aku hidup.” </i>(Maryam: 31). <br />
Allah berfirman tentang Musa, <i>“Dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku.”</i> (Thaha: 14). <br />
Allah berfirman tentang Ismail, <i>“Dan ia menyuruh ahlinya untuk shalat dan menunaikan zakat, dan ia adalah seorang yang diridhai di sisi Tuhannya.” </i>(Maryam: 55). <br />
Allah berfirman tentang Ibrahim, <i>“Ya Tuhanku, jadikanlah aku dan anak cucuku orang-orang yang tetap mendirikan shalat, Ya Tuhan kami, perkenankanlah doaku.”</i> (Ibrahim: 40). <br />
Allah berfirman tentang Nabi Muhammad, <i>“Dan perintahkanlah kepada keluargamu mendirikan shalat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya.”</i> (Thaha: 132). Samhttp://www.blogger.com/profile/02026223565972873713noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3776758012309185105.post-5745014341503623992012-10-27T05:53:00.001-07:002012-10-27T05:53:28.534-07:00Menyentuh wanita membatalkan wudhu ?<div align="justify">
Ini adalah masalah fikih yang diperbincangkan oleh
para ulama bahkan perbincangan tentang hal ini telah terjadi di kalangan
para sahabat, karena masalah ini telah menjadi perbincangan dan yang
memperbincangkan dari kalangan sahabat tidak mencapai kata sepakat, maka
tidak tercapainya kata sepakat dalam hal ini menjadi warisan generasi
sesudah mereka sampai kepada kita. Masalah ini di sebagian kalangan
orang awam terkadang memicu konflik. Ini kembali kepada
ketidakmengertian mereka terhadap duduk persoalan yang sebenarnya.
Inilah tujuan penulis menurunkan masalah ini yaitu agar masalah ini
dipahami dan didudukkan pada posisi yang sesuai dengan kadarnya. </div>
Terdapat beberapa pendapat di kalangan ulama tentang masalah ini.
Penulis hanya akan menurunkan tiga pendapat saja karena dalil-dalil yang
ada memungkinkan sebagai pendukung ketiga pendapat tersebut. <br />
<strong>Pendapat pertama: Tidak membatalkan secara mutlak.</strong> Ini pendapat Abu Hanifah. <br /><strong>Pendapat kedua: Membatalkan secara mutlak</strong> jika terjadi di antara non mahram. Adapun antara mahram maka yang shahih tidak. Ini adalah pendapat asy-Syafi’i. <br /><strong>Pendapat ketiga: Membatalkan jika dengan syahwat dan tidak jika tidak dengan syahwat.</strong> Ini adalah pendapat Malik dan ini yang zhahir dalam madzhab Hanbali. <br />
<strong>Dalil dari masing-masing pendapat:</strong> <br /><strong>Dalil pendapat pertama:</strong> <br />1. <br />
<div align="justify" dir="rtl">
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا أَنَّ
النَّبِيَ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّم : قَبَّلَ بَعْضَ نِسَائِهِ ثُمَّ
خَرَجَ إِلىَ الصَّلاَةِ وَلَمْ يَتَوَضَّأ. أَخْرَجَهُ أَحْمَد . </div>
Dari Aisyah dari Nabi saw mencium sebagian istrinya lalu beliau pergi
shalat tanpa berwudhu. (HR. Ahmad. Hadits ini diperselsihkan
keshahihahnnya. Ada yang mendhaifkan dan ada yang menshahihkan. Di
antara yang menshahihkan adalah al-Albani dan Ahmad Syakir). <br />
2. Hadits riwayat Muslim dari Aisyah berkata, “Suatu malam aku
kehilangan Rasulullah saw di tempat tidur, aku mencari-cari maka
tanganku memegang telapak kaki beliau yang sedang shalat.” <br />
3. Hadits Aisyah di ash-Shahihain bahwa Nabi saw shalat sementara
Aisyah tidur melintang di arah kiblat Rasulullah saw. Jika beliau hendak
sujud beliau mencolek kaki Aisyah maka dia menarik kakinya. <br />
<strong>Dalil pendapat kedua:</strong> <br />Firman Allah, <i>“Atau menyentuh perempuan.”</i> (Al-Maidah: 6). <br />الَلمْسُ Secara hakiki adalah menyentuh kulit dengan dalil firman Allah, فَلَمَسُوْهُ بِأَيْدِيْهِمْ <i>“Lalu mereka dapat menyentuhnya dengan tangan mereka sendiri.”</i> (Al-An’am: 7). <br />Juga dengan dalil sabda Nabi saw kepada Maiz, لَعَلَّكَ قَبَّلْتَ أَوْ لَمَسْتَ <i>“Mungkin kamu menciumnya atau menyentuhnya.”</i> <br />
Penafsiran اللمس dengan menyentuh kulit ini didukung dengan hadits
Malik dari Ibnu Syihab dari Salim bin Abdullah dari bapaknya berkata,
“Ciuman suami kepada istri dan sentuhannya kepadanya dengan tangannya
termasuk المُلاَمَسَه . Barangsiapa mencium istrinya atau menyentuhnya
dengan tangannya maka dia harus berwudhu.” <br />An-Nawawi di al-Majmu’ berkata, “Ini adalah sanad yang sangat shahih.” <br />
<strong>Dalil pendapat ketiga:</strong> <br />Pendapat ketiga ini
menggabungkan dua pendapat sebelumnya. Kata pendapat ini, yang dimaksud
dengan اللمس dalam ayat adalah اللمس dengan syahwat. Ini membatalkan.
Adapun اللمس antara Nabi saw dengan Aisyah dan ciuman beliau kepadanya
maka ia tanpa syahwat. Jadi ia tidak membatalkan. Di samping itu
–menurut pendapat ini- pada dasarnya, اللمس tidak membatalkan, hanya
saja ia mungkin menjadi sebab keluarnya sesuatu yang membatalkan dan itu
terjadi jika اللمس dengan syahwat. Adapun اللمس tanpa syahwat maka ia
sejalan dengan prinsip tidak membatalkan. <br />
Dari uraian pendapat berikut dalil-dalilnya maka penulis bisa katakan
bahwa masalah ini termasuk masalah-masalah di mana dalil-dalil yang ada
memungkinkan terjadinya perbedaan pendapat dan masing-masing pendapat
memiliki sisi dalil yang bisa diterima, walaupun demikian bila kita
masuk ke tarjih yang merupakan tuntutan dari perbedaan maka penulis
melihat pendapat pertama lebih jelas dari segi dalil yang mendukungnya
tanpa perlu penafsiran ini dan itu, dalilnya jelas dan langsung kepada
tema masalah. <br />
Ibnu Taimiyah berkata (<i>Majmu’atul Fatawa</i> 18/210), “Tidak
seorang pun menukil dari Nabi saw bahwa beliau menyuruh kaum muslimin
berwudhu karena menyentuh wanita tidak pula dinukil bahwa beliau
berwudhu karenanya. Tidak ada perbedaan dalam hal ini.” <br />
Tentang dalil pendapat kedua. Dikatakan اللمس berarti persentuhan
kulit. Ini benar dan pada dasarnya memang demikian, akan tetapi dalam
ayat ia lebih layak ditafsirkan dengan hubungan sumi istri –dan ini
adalah tafsir Ibnu Abbas- karena jika kita menafsirkannya dengan
persentuhan maka terjadi pengulangan pada ayat karena sebelumnya
disebutkan, “Atau kembali dari buang hajat.” Ini hadas kecil lalu
menyentuh juga hadas kecil padahal konteks ayat menyebutkan thaharah
dari hadas kecil dengan wudhu dan thaharah dari hadas besar dengan
mandi, ini tidak sejalan dengan balaghah al-Qur`an. Berbeda jika ia
ditafsirkan dengan hubungan sumi istri, maka ayat tersebut mencakup dua
thaharah sekaligus sebab dari masing-masing thaharah. <br />
Tentang dalil pendapat ketiga, dikatakan, pada dasarnya menyentuh
tidak membatalkan. Ini adalah kaidah dasar dan tidak semua menyentuh
dengan syahwat mengeluarkan sesuatu yang membatalkan. Ada menyentuh
dengan syahwat tetapi tidak keluar apapun. Di samping itu dalil yang
menetapkan persentuhan Nabi saw dengan sebagian istrinya bersifat mutlak
tanpa membedakan. Wallahu a’lam. <br />
(Rujukan : <i>asy-Syarhul Mumti’</i> Ibnu Utsaimin, <i>Fiqhus Sunnah</i> Sayid Sabiq, <i>Taudhih al-Ahkam</i> Ibnu Bassam dan <i>al-Majmu’</i> an-Nawawi dan lain-lain). Samhttp://www.blogger.com/profile/02026223565972873713noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3776758012309185105.post-9034684918329734512012-10-27T05:51:00.002-07:002012-10-27T05:51:45.026-07:00Kesalahan dalam wudhu<div align="justify">
<strong>1. Tidak membasuh kedua telapak tangan sebelum berwudhu</strong> lebih-lebih sehabis bangun dari tidur. Sabda Nabi saw: </div>
<div align="justify" dir="rtl">
إِذَا سْـتَيْقَظَ أَحَدُكُمْ مِنْ مَنَامِهِ
فَلاَ يَغْـمِسْ يَدَهُ فِي الإِنَاءِ حَتىَّ يَغْـسِلَهَا فَإِنَّهُ
لاَيَدْرِي أَيْنَ بَاتَتْ يَدُهُ . </div>
<i>“Jika salah seorang dari kalian bangun dari tidurnya maka
janganlah dia mencelupkan tangannya ke dalam bejana sehingga dia
membasuhnya karena dia tidak mengetahui di mana tangannya bermalam.”</i> (HR. al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah). <br />
<strong>2. Mengusap kepala hanya dengan mengusap beberapa helai rambut saja.</strong> <br />Yang
wajib adalah mengusap kepala bukan rambut. Jadi kalau dengan beberapa
-bahkan sebagian orang hanya dengan satu dan tiga helai saja- rambut
dianggap cukup dalam mengusap kepala maka ia keliru. Katakanlah ada
sebagaimana ulama yang mengatakan dalam mengusap kepala cukup dengan
sebagian kepala, akan tetapi tidak berarti sebagian di sini bisa
diwakili dengan beberapa helai rambut semata dan penulis yakin bahwa
bukan itu yang mereka maksud. Lebih-lebih yang shahih dari Nabi saw
tentang mengusap kepala dalam wudhu adalah mengusap seluruhnya. Dari
Abdullah bin Zaid tentang wudhu Nabi saw, <br />
<div align="justify" dir="rtl">
بَدَأَ بِمُقَدَّمِ رَأْسِهِ حَتىَّ ذَهَبَ بِهِمَا إِلىَ قَفَاهُ ، ثُمَّ رَدَّهُمَا إِلىَ المَكَانِ الَّذِي بَدَأَ مِنْهُ . </div>
“Beliau memulai dengan kepala bagian depan, lalu menggerakkan kedua
tangannya ke tengkuknya kemudian mengembalikan kedua tangannya ke tempat
di mana beliau memulai.” (HR. Al-Bukhari). <br />
<strong>3. Boros air.</strong> <br />Boros atau <i>israf</i> tidak
dicintai Allah, termasuk dalam berwudhu, Nabi saw sendiri mencontohkan
pengiritan dalam bersuci, beliau mandi dengan satu <i>sha`</i>, jika mandi dengan satu <i>sha`</i>
berarti wudhu kurang dari itu. Di samping itu boros air termasuk
melampui batas dalam bersuci yang dilarang. Dari Abdullah bin Mughaffal
berkata, aku mendengar Rasulullah saw bersabda, <br />
<div align="justify" dir="rtl">
إِنَّهُ سَيَكُوْنُ فِي هَذِهِ الأُمَةِ قَوْمٌ يَعْتَدُوْنَ فِي الطَّهُوْرِ وَالدُّعَاءِ . </div>
<i>“Akan ada orang-orang dari umat ini yang melampui batas dalam berwudhu dan berdoa.”</i> (HR. Abu Dawud dengan sanad –menurut al-Arnauth- yang kuat). <br />
<strong>4. Berlebih-lebihan dengan membasuh anggota wudhu lebih dari tiga kali dan melampui batas</strong> seperti membasuh kedua tangan sampai ke bahu atau kedua kaki sampai betis bahkan lutut. <br />Dari
Amru bin Syuaib dari bapaknya dari kakeknya bahwa seorang Arab
pedalaman datang bertanya kepada Nabi saw tentang wudhu. Nabi saw
menunjukkan wudhu tiga kali-tiga kali, kemudian bersabda, <br />
<i>“Begitulah wudhu, barangsiapa menambah dari itu maka dia telah berbuat buruk dan melampui batas.”</i> <br />
Hadits ini menetapkan bahwa membasuh anggota wudhu lebih dari tiga
adalah buruk dan melampui batas. Begitu pula membasuh melebihi batasan
yang telah ditentukan seperti membasuh tangan sampai bahu bahkan mungkin
sampai pundak. Firman Allah, <br />
<i>“Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kamu melanggarnya.
Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka itulah orang-orang
yang zhalim.”</i>(Al-Baqarah: 229). <br />
<strong>5. Tidak menyampaikan air ke siku atau tumit.</strong> <br />Siku
dan tumit termasuk anggota wudhu. Jadi ketika air tidak menjangkau
keduanya berarti wudhu tidak sempurna karena ada anggota wudhu yang
tertinggal. Firman Allah, <br />
<i>“Dan tanganmu sampai dengan siku.”</i> (Al-Maidah: 6). Sampai di sini berarti bersama, jadi siku wajib dibasuh. <br />
Jabir berkata, “Apabila Nabi saw berwudhu beliau melewatkan air ke kedua sikunya.” (HR. Al-Baihaqi dan ad-Daraquthni). <br />
Demikianlah pula dengan tumit. Mungkin karena terburu-buru orang yang
berwudhu melupakannya padahal ia termasuk kaki yang wajib dibasuh. Dari
Ibnu Amru berkata, “Dalam sebuah perjalanan yang kami lakukan beliau
berjalan di belakang kami. Ketika kami mendapatkan shalat kami
terburu-buru, kami berwudhu dan mengusap kaki-kaki kami, maka Nabi saw
memanggil dengan suara keras dua atau tiga kali. <br />
<div align="justify" dir="rtl">
وَيْلٌ للأَعْقَابِ مِنَ النَّارِ . </div>
<i>“Celaka bagi tumit-tumit itu, ia akan dijilat api neraka.”</i> (HR. Al-Bukhari). <br />
<strong>6. Menganggap mengusap leher dianjurkan,</strong> padahal
sebenarnya tidak demikian, ia tidak dianjurkan dan tidak termasuk ibadah
wudhu. Orang yang menganggap mengusap leher dianjurkan berdalil kepada
hadits, <br />
<div align="justify" dir="rtl">
مَسْحُ الرَقَبَة أَمَانٌ مِنَ الغِلّ . </div>
“Mengusap leher adalah keamanan dari kedengkian”. Imam an-Nawawi di
al-Majmu’ berkata, “Hadits ini maudhu’,dalam hal ini tidak ada hadits
yang shahih, oleh karena itu asy-Syafi’i tidak menyebutkannya tidak pula
kawan-kawan kami yang mendahului kami”. <br />Dalam fatwa Lajnah Daimah
no. 9233 dikatakan, “Tidak ada dalam kitab Allah dan Sunnah Rasulullah
saw bahwa mengusap leher termasuk snnah-sunnah wudhu. Jadi mengusapnya
tidak disyariatkan.” <br />
<strong>7. Doa pada saat membasuh anggota wudhu.</strong> <br />Imam an-Nawawi berkata, “Doa-doa ini –yakni doa-doa pada saat membasuh anggota wudhu- tidak memiliki dasar.” <br />Dalam
fatwa Lajnah Daimah no. 2588 dikatakan, “Tidak ada doa dari Nabi saw
pada saat membasuh dan mengusap anggota wudhu dan doa yang disebutkan
dalam hal ini adalah bikinan orang tidak berdasar, yang dikatahui secara
syar’i adalah basmalah di awal wudhu, mengucap dua kalimat syahadat di
akhir wudhu ditambah dengan, <br />
<div align="justify" dir="rtl">
اللَهُمَّ اجْعَلْنِيْ مِنَ التَّوَّابِيْنَ وَاجْعَلْنِيْ مِنَ المُتَطَهِّرِيْنَ . </div>
<i>“Ya Allah jadikanlah aku termasuk orang-orang yang bertaubat dan jadikanlah aku termasuk orang-orang yang bersuci.”</i> <br />
<strong>8. Menganggap berbicara pada saat wudhu tidak boleh atau makruh.</strong> <br />Tidak
ada hadits yang melarang, dan wudhu bukanlah shalat yang dilarang
berbicara di dalamnya dan tidak bisa dikiyaskan kepadanya, menganggap
sesuatu tidak boleh atau makruh berarti menetapkan hukum, ia harus
berdasarkan kepada dalil. <br />
<strong>9. Menganggap berwudhu di kamar mandu dengan WC makruh.</strong> Keterangan sama dengan sebelumnya. <br />
(Rujukan: <i>Al-Majmu’</i> Imam an-Nawawi, <i>Kifayatul Akhyar</i> Abu Bakar al-Khusaini, <i>Zadul Maad</i> Ibnul Qayyim, <i>Fatawa Lajnah Daimah</i>). Samhttp://www.blogger.com/profile/02026223565972873713noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3776758012309185105.post-91032168544311989302012-10-27T05:49:00.002-07:002012-10-27T05:49:29.784-07:00Syarat-syarat Sah Wudhu<b>Syarat-syarat Sah Wudhu’ </b><br />
<br />1. Niat, berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alahi wasallam : <br />(( إنما الأعمال بالنيات )) <br />“Sesungguhnya setiap amal itu tergantung pada niatnya.” [Muttafaq ‘alaih]. <br />Tidak
disyari’atkan melafadzkan niat karena tidak adanya dalil yang tetap
(shahih) dari Nabi Muhammad shallallahu ‘alahi wasallam yang menunjukkan
hal tersebut. <br />2. at-Tasmiyah (menyebut nama Allah), berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alahi wasallam : <br />(( لا صلاة لمن لا وضوء له، ولا وضوء لمن لم يذكر اسم الله عليه )) <br />“Tidak
ada (tidak sah) shalat bagi orang yang tidak berwudhu’, dan tidak ada
(tidak sah) wudhu’ bagi orang yang tidak menyebut nama Allah.” [Hadits
hasan riwayat Abu Dawud dan Ibnu Majah]. <br />3. al-Muwaalaah
(berturut-turut/bersambung), berdasarkan hadits Khalid bin Ma’dan, bahwa
Nabi shallallahu ‘alahi wasallam melihat seseorang yang shalat,
sedangkan di punggung kakinya ada bagian sebesar uang dirham yang tidak
terbasuh air, maka Rasulullah shallallahu ‘alahi wasallam
memerintahkannya untuk mengulang wudhu’ dan shalatnya. [Hadits shahih
riwayat Abu Dawud]<br />
<br />
<b>Fardhu-fardhu Wudhu’ </b><br /><b>1. Membasuh muka, tercakup di dalamnya berkumur-kumur dan istinsyaaq (memasukkan air ke hidung). <br />
2. Membasuh kedua tangan sampai kedua siku. <br />
3. Mengusap kepala seluruhnya (termasuk kedua telinga), karena kedua telinga termasuk bagian dari kepala. <br />
4. Membasuh kedua kaki sampai kedua mata kaki. </b><br />Hal ini berdasarkan firman Allah subhanahu wata’aala : <br />{
ياأيها الذين ءَامَنُواْ إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصلاة فاغسلوا وُجُوهَكُمْ
وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى المرافق وامسحوا بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى
الكعبين } <br />“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak
mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan
siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata
kaki.” [Surat al-Maaidah : 6] <br />Adapun dalil yang menunjukkan bahwa
berkumur-kumur dan istinsyaaq (memasukkan air ke hidung) termasuk bagian
dari membasuh muka sehingga wajib dilakukan adalah perintah Allah
subhanahu wata’aala di dalam kitab-Nya yang mulia untuk membasuh muka,
dan telah tetap dari Rasulullah shallallahu ‘alahi wasallam bahwasannya
beliau senantiasa berkumur-kumur dan istinsyaaq setiap kali berwudhu’,
dan semua orang yang meriwayatkan hadits tentang tata cara wudhu’
Rasulullah shallallahu ‘alahi wasallam menyebutkan hal ini. Dari
keterangan di atas dapat diambil kesimpulan bahwa membasuh muka yang
diperintahkan dalam al-Qur’an mencakup berkumur-kumur dan istinsyaaq.
[Sailul Jarrar] <br />Bahkan Rasulullah shallallahu ‘alahi wasallam sendiri telah memerintahkan hal tersebut dalam sabdanya, <br />(( إذا توضأ أحدكم فليجعل في أنفه ماء، ثم ليستنثر )) <br />“Apabila
salah seorang diantara kalian berwudhu’, maka hendaklah ia memasukkan
air ke hidungnya kemudian mengeluarkannya.” [Hadits shahih riwayat Abu
Dawud dan an-Nasa’i], <br />dan juga sabdanya, <br />(( وبالغ في الاستنشاق، إلا أن تكون صائما )) <br />“Bersungguh-sungguhlah dalam ber-istinsyaaq, kecuali apabila kamu sedang berpuasa.” [Hadits shahih riwayat Abu Dawud] <br />Dan juga sabdanya, <br />(( إذا توضأت فمضمض )) <br />“Apabila kamu berwudhu’ maka berkumur-kumurlah.” [Hadits shahih riwayat Abu Dawud]. <br />Adapun
kewajiban mengusap seluruh kepala, dalilnya adalah bahwa perintah dalam
al-Qur’an untuk mengusap kepala bersifat global, maka perinciannya
harus dikembalikan kepada sunnah Rasulullah shallallahu ‘alahi wasallam,
dan telah tetap dari Rasulullah shallallahu ‘alahi wasallam dalam
hadist yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari, Imam Muslim dan lainnya
bahwa Rasulullah shallallahu ‘alahi wasallam mengusap seluruh kepalanya,
hal ini menunjukkan wajibnya mengusap kepala secara sempurna. <br />Apabila
ada yang berkata : “Bukankah telah shahih dari hadits al-Mughirah bahwa
Rasulullah shallallahu ‘alahi wasallam mengusap ubun-ubun dan sorbannya
? <br />Jawabannya : Rasulullah shallallahu ‘alahi wasallam mencukupkan
dengan mengusap ubun-ubunnya, karena beliau menyempurnakan pengusapan
bagian kepala yang lain dengan mengusap sorbannya, dan kami juga
berpendapat bahwa hal tersebut boleh dilakukan, akan tetapi hadits
al-Mughirah tidaklah menunjukkan kebolehan mencukupkan pengusapan
ubun-ubun saja atau hanya sebagian kepala saja tanpa menyempurnakannya
dengan mengusap sorban. <br />Kesimpulannya, mengusap seluruh kepala
hukumnya wajib. Dan boleh bagi seseorang untuk mengusap kepalanya saja,
atau mengusap sorbannya saja, atau mengusap keduanya, karena adanya
dalil yang shahih yang menunjukkan hal tersebut. <br />Adapun dalil yang menunjukkan bahwa kedua telinga termasuk bagian dari kepala yang harus diusap adalah sabdanya : <br />(( الأذنان من الرأس )) <br />“Kedua telinga adalah bagian dari kepala.” [Hadits shahih riwayat Imam Ibnu Majah]. <br /><b>5.
Menyela-nyela jenggot dengan air</b>, berdasarkan hadits Anas bin Malik
radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alahi wasallam apabila
berwudhu’ beliau mengambil air dengan telapak tangannya, kemudian
menyela-nyelai jenggotnya dengan air tersebut dan berkata : <br />(( هكذا أمرني ربي عز وجل )) <br />“Beginilah Allah memerintahkanku.” [Hadits shahih riwayat Abu Dawud dan al-Baihaqi] <br /><b>6. Menyela-nyela jari-jemari kedua tangan dan kaki dengan air, berdasarkan sabdanya : </b><br />(( أسبغ الوضوء، وخلل بين الأصابع، وبالغ في الاستنشاق، إلا أن تكون صائما )) <br />“Sempurnakanlah
wudhu’, sela-selailah jari-jemari dan bersungguh-sungguhlah dalam
ber-istinsyaaq kecuali apabila kamu sedang berpuasa.” [Hadits shahih
riwayat Abu Dawud] <br />(Sumber : Al-Wajiz fi Fiqhis Sunnah wal Kitabil ‘Aziz) <br />
Samhttp://www.blogger.com/profile/02026223565972873713noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3776758012309185105.post-7465344721810417582012-10-27T05:45:00.002-07:002012-10-27T05:45:44.851-07:00Mandi<div align="justify">
<strong></strong> </div>
Mandi adalah thaharah (penyucian) wajib dari hadats besar , seperti jinabat dan haidh. <br />
<br />
<strong>Tata Cara Mandi</strong><br />
<ul>
<li>Niat mandi dengan hati tanpa diucapkan.
</li>
<li>Membaca “Bismillah.”
</li>
<li>Wudhu dengan sempurna.
</li>
<li>Menciduk air untuk kepala, dan bila sudah merata maka barulah mengguyurkannya (3x).
</li>
<li>Membasuh seluruh badan.</li>
</ul>
Samhttp://www.blogger.com/profile/02026223565972873713noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3776758012309185105.post-28882984582083656052012-10-27T05:43:00.005-07:002012-10-27T05:43:47.344-07:00Thaharah (bersuci) bagi orang sakit<ul>
<li>Orang sakit wajib bersuci dengan air, wudhu untuk hadats kecil dan mandi untuk hadats besar.
</li>
<li>Apabila dia tidak dapat bersuci dengan air karena sakit, atau
khawatir sakitnya akan bertambah parah dan lama sembuhnya bila terkena
air, maka dia dapat bertayammun.
</li>
<li>Cara bertayammum adalah: menepuk tanah dengan kedua tapak
tangannya lalu diusapkan ke seluruh wajah, kemudian tangan yang satu
mengusap yang lain sampai pergelangan tangan.
</li>
<li>Apabila orang yang sedang sakit tidak bisa melakukan sendiri bersuci, maka dapat diwudhukan atau ditayammumkan orang lain.
</li>
<li>Apabila di beberapa bagian anggota bersuci terdapat luka, maka
cukup dibasuh dengan air. Tetapi apabila basuhan itu membahayakan, maka
cukup diusap dengan tangan yang basah. Apabila usapan itu juga
membahayakan, maka bertayammum.
</li>
<li>Apabila pada bagian anggota badan ada yang patah, yang dibalut
dengan kain pembalut atau digips, maka bagian tersebut cukup diusap
dengan air (tidak usah dibasuh), dan tidak perlu tayammum karena usapan
itu pengganti dari basuhan.
</li>
<li>Boleh bertayammum pada tembok atau apa saja yang suci yang
berdebu. Apabila tembok itu dilapisi dengan sesuatu yang tidak sejenis
tanah (misalnya, cat), maka tidak boleh dijadikan sebagai media
tayammum, kecuali jika tembok itu berdebu.
</li>
<li>Jika tidak mungkin bertayammum di atas tanah, tembok atau
apapun yang berdebu, maka boleh meletakkan tanah di sebuah tempat atau
di sapu tangan untuk tayammum.
</li>
<li>Apabila tayammum untuk suatu shalat dan masih suci sampai waktu
shalat yang lain, maka tidak perlu bertayammum lagi untuk shalat yang
keduanya, karena dia masih suci dan tidak ada yang mem-batalkan
tayammumnya.
</li>
<li>Orang sakit diwajibkan membersihkan badan dari najis. Apabila
tidak mampu, maka shalat apa adanya. Shalatnya tersebut sah dan tidak
perlu mengulang.
</li>
<li>Orang sakit diwajibkan shalat dengan pakaian yang suci. Apabila
pakaiannya terkena najis, maka pakaian tersebut wajib dicuci atau
diganti dengan pakaian yang suci. Namun apabila tidak mampu, maka shalat
apa adanya. Shalatnya tersebut dinyatakan sah dan tidak perlu
mengulang.
</li>
<li>Orang sakit diwajibkan shalat di atas tempat yang suci. Apabila
tempatnya terkena najis, maka alas tempatnya shalat itu wajib dicuci
atau diganti dengan tempat lain atau dihampari dengan sesuatu yang suci.
Namun apabila situasi tidak memungkinkan, maka shalatlah apa adanya.
Shalatnya sah dan tidak harus mengulang.
</li>
<li>Orang sakit tidak boleh mengakhirkan shalat dari waktunya hanya
karena tidak mampu bersuci. Ia harus bersuci sesuai dengan
kemampuannya, kemudian shalat pada waktunya walaupun pada badannya,
tempatnya atau pakaiannya terdapat najis yang tidak mampu dihilangkan.</li>
</ul>
<div id="fb_share_1" style="float: right; margin-right: 210px;">
<div class="fb-share-button fb_iframe_widget" data-href="http://www.alsofwa.com/5364/48-fiqih-thaharah-bersuci-bagi-orang-sakit.html" data-type="button_count">
<span style="height: 18px; width: 88px;"></span></div>
</div>
Samhttp://www.blogger.com/profile/02026223565972873713noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3776758012309185105.post-6765273651802477052012-10-27T05:41:00.001-07:002012-10-27T05:41:53.253-07:00Tayamum<div align="justify">
Tayammum adalah thaharah (penyucian) wajib dengan
menggunakan tanah sebagai pengganti wudhu dan mandi bagi orang yang
memang tidak memperoleh air atau sedang dalam kondisi berbahaya bila
mengguna-kan air. </div>
<strong>Tata Cara Tayammum</strong> <br />
Niat bertayammum sebagai pengganti wudhu atau mandi kemudian
menepukkan kedua telapak tangan pada tanah atau yang berhubungan
dengannya seperti tembok, lalu mengusap wajah dan kedua tangan. Samhttp://www.blogger.com/profile/02026223565972873713noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3776758012309185105.post-23484088799594610022012-10-27T05:40:00.003-07:002012-10-27T05:54:23.744-07:00WUDHU<div align="justify">
</div>
Wudhu adalah thaharah yang wajib dari hadats kecil, seperti buang air
kecil, buang air besar, keluar angin (kentut), tidur nyenyak dan makan
daging onta. <br />
<br />
<b>Tata Cara Berwudhu</b><br />
<ul>
<li>Niat wudhu di dalam hati, tanpa diucapkan, karena Nabi tidak pernah melisankan niat dalam ber-wudhu, shalat dan ibadah apapun. <br />Allah mengetahui apa yang ada di dalam hati tanpa pemberitaan kita.
</li>
<li>Membaca “Bismillah”.
</li>
<li>Membasuh kedua telapak tangan (3x).
</li>
<li>Berkumur serta menghirup air ke dalam hidung (3x).
</li>
<li>Membasuh seluruh muka (sampai batasan muka dengan telinga) dari
tempat pertumbuhan rambut kepala sampai jenggot bagian bawah. (3x).
</li>
<li>Membasuh kedua tangan, dari ujung jari sampai sikut, diawali dengan tangan kanan, kemudian tangan kiri (3x).
</li>
<li>Mengusap kepala, yaitu dengan membasahi tangan kemudian
menjalankannya dari kepala bagian depan sampai bagian belakang, kemudian
mengembalikan-nya (1x).
</li>
<li>Mengusap kedua telinga dengan memasukkan jari telunjuk ke dalam
lubang telinga dan mengusap bagian luar (belakang) dengan ibu jari (1x)
</li>
<li>Membasuh kedua kaki, yaitu dari ujung jari sampai mata kaki, diawali dengan kaki kanan, kemudian kaki kiri.(3 x)
</li>
<li>Menghadap Kiblat dan membaca dzikir / do’a :
<div align="justify" dir="rtl">
<span style="font-size: large;">أشهد أن لا إله إلا الله وأشهد أن محمدا عبده ورسوله اللهم اجعلني من التوابين واجعلني من المتطهرين</span></div>
<div align="justify">
Aku bersaksi bahwa tiada tuhan yang hak kecuali Allah dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan rasul Allah, </div>
Ya Allah jadikanlah aku termasuk golongan orang-orang yang selalu
bertaubat dan jadikanlah aku termasuk orang-orang yang selalu bersuci.<br />
</li>
</ul>
Samhttp://www.blogger.com/profile/02026223565972873713noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3776758012309185105.post-65385397356073301882012-10-27T05:26:00.000-07:002012-10-27T05:39:38.464-07:00Shalat<div align="justify">
<strong>Shalat</strong> </div>
Shalat adalah ibadah yang terdiri dari kata-kata dan perbuatan yang diawali dengan takbir dan diakhiri dengan salam. <br />
Apabila seseorang hendak mengerjakan shalat, maka wajib berwudhu
terlebih dahulu jika ia berhadats besar, atau bertayammum jika ia tidak
memperoleh air atau sedang dalam kondisi yang tidak diijinkan memakai
air. Selain itu ia juga harus terlebih dahulu member-sihkan badan,
pakaian dan tempat shalat dari najis. <br />
<strong>Tata Cara Shalat</strong><br />
<ul>
<li>Menghadap kiblat dengan seluruh badan, tanpa ber-paling dan menoleh.
</li>
<li>Niat shalat yang ingin dikerjakan (di dalam hati tanpa diucapkan).
</li>
<li>Takbiratul ihram (takbir pembukaan) dengan meng-ucapkan “Allahu Akbar”, dan mengangkat tangan setinggi pundak ketika bertakbir.
</li>
<li>Meletakkan tangan kanan di atas punggung telapak tangan kiri di atas dada.
</li>
<li>Membaca istiftah, yaitu :
<div align="justify" dir="rtl">
<span style="font-size: large;">(( اَللَّهُمَّ بَاعِدْ بَيْنِي وَبَيْنَ خَطَايَايَ كَمَا <br />بَاعَدْتَ بَيْنَ اْلمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ، اَللَّهُمَّ نَقِّنِيْ مِنْ <br />خَطَاياَيَ كَمَا يُنَقَّى الثَّوْبُ الأَبْيَضُ مِنَ الدَّنَسِ، <br />اَللَّهُمَ اغْسِلْنِيْ مِنْ خَطَاياَيَ بِالْمَاءِ وَالثَّلْجِ <br />وَالْبَرَدِ ))</span></div>
<div align="justify">
“Ya Allah, jauhkanlah aku dari segala dosa-dosaku,
sebagaimana Engkau telah menjauhkan timur dengan barat. Ya Allah,
bersihkanlah aku dari dosa-dosaku, sebagaimana dibersihkannya kain putih
dari kotoran. Ya Allah, cucilah aku dari dosa-dosaku dengan air, es dan
salju.” </div>
</li>
<li>Membaca : <span style="font-size: large;">(( أَعُوْذُ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ ))</span>
“Aku berlindung kepada Allah dari godaan syaitan yang terkutuk” <br />. <br />
</li>
<li>Membaca Basmalah, dan Al-Fatihah (lihat Mushaf Al-Qur’an) :
Artinya : <br /><i>“Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi
Maha Penyayang. Segala puji bagi Allah, Robb semesta alam, Maha Pemurah
lagi Maha Penyayang. Yang menguasai hari Pembalasan. Hanya kepada
Engkaulah kami menyembah dan kepada Engkaulah kami memohon pertolongan.
Tunjukilah kami jalan yang lurus. (Yaitu) jalan orang-orang yang telah
Eng-kau anugerahi nikmat kepada mereka; bukan jalan orang-orang yang
dimurkai dan bukan (pula) jalan mereka yang sesat.”</i> (Al-Fatihah: 1-7). <br />
Kemudian mengucapkan “Aamiin”, yang artinya : “ Ya Allah, kabulkanlah.” <br />
</li>
<li>Membaca salah satu surat dari Al-Qur’an (yang biasa dibaca dan dihapal), dan panjangkanlah bacaan shalat di dalam shalat Shubuh
</li>
<li>Ruku’ yaitu menundukkan punggung karena menga-gungkan Allah; takbir ketika ruku’, dan mengangkat kedua tangan setinggi pundak.
Disunnahkan menundukkan punggung serta men-jadikan kepala
lurus/sejajar dengan punggung, serta meletakkan kedua tangan di atas
lutut dengan merenggangkan jari-jari. <br />
</li>
<li>Ketika ruku’ mengucapkan :
<span style="font-size: large;">(( سُبْحَانَ رَبِّيَ اْلعَظِيْمِ ))</span> <br />
“ Mahasuci Robbku Yang Maha Agung” (3x) <br />
Lebih baik kalau mau menambah dengan ucapan: <br />
<span style="font-size: large;">((سُبْحَانَكَ اَللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لِيْ))</span> <br />
“Mahasuci Engkau, ya Allah dan dengan memuji Engkau, ya Allah ampunilah aku.” <br />
</li>
<li>Mengangkat kepala dari ruku’, seraya mengucapkan:
<span style="font-size: large;">((سَمِعَ اللهُ لِمَنْ حَمِدَهُ)) </span><br />
“ Allah mendengar orang yang memuji-Nya.” <br />
Lalu mengangkat kedua tangan setinggi pundak. Makmum tidak
mengucapkan (سَمِعَ اللهُ لِمَنْ حَمِدَهُ), tetapi mengucapkan (
رَبَّنَا وَلَكَ الحَمْدُ ) <br />
</li>
<li>Setelah mengangkat kepala, mengucapkan :
<span style="font-size: large;">(( رَبَّنَا وَلَكَ الحَمْدُ مِلْءُ السَّمَاوَاتِ وَمِلْءُ <br />اْلأَرْضِ وَمِلْءُ مَا شِئْتَ مِنْ شَيْءٍ بَعْدُ )) </span><br />
“Ya Rabb kami, bagi-Mu pujian dengan sepenuh langit, sepenuh bumi dan sepenuh apa saja yang Engkau kehendaki.” <br />
</li>
<li>Sujud yang pertama dengan khusyu’, serta meng-ucapkan “Allahu
Akbar”, dan bersujud di atas anggota sujud yang tujuh, yaitu: dahi
bersama hidung, kedua telapak tangan, kedua lutut, dan jari-jari kedua
kaki. Renggangkan kedua tangan dari lambung/perut dan jangan meletakkan
kedua lengan tangan di atas tanah serta hadapkan jari-jari kaki ke arah
kiblat.
</li>
<li>Dalam bersujud mengucapkan: <br /><span style="font-size: large;">سُبْحَانَ رَبِّيَ اْلأَعْلَى</span>
Ada baiknya menambah dengan ucapan: <br />
<span style="font-size: large;">(( سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ رَبَّنَا وَبِحَمْدِكَ اَللَّهُمَّ اغْفِرْ <br />لِيْ ))</span> <br />
“Mahasuci Engkau, ya Allah Rabb kami dan dengan memuji Engkau, ya Allah, ampunilah aku.” <br />
</li>
<li>Mengangkat kepala dari sujud, seraya mengucap-kan: “Allahu Akbar”.
</li>
<li>Duduk di antara dua sujud, di atas telapak kaki yang kiri dan
menegakkan telapak yang kanan; meletak-kan tangan kanan di atas ujung
paha kanan men-dekati lutut; menggenggam jari kelingking dan jari manis,
serta mengangkat jari telunjuk, lalu meng-gerak-gerakkannya ketika
berdoa. Ujung jari jempol dilekatkan dengan jari tengah seperti
membentuk lingkaran dan meletakkan tangan kiri yang dekat dengan lutut.
</li>
<li>Dalam duduk antara dua sujud mengucapkan:
<span style="font-size: large;">((رَبِّ اغْفِرْ لِيْ وَارْحَمْنِيْ وَاهْدِنِيْ وَارْزُقْنِيْ <br />وَاجْبُرْنِيْ وَعَافِنِيْ))</span> <br />
“Ya Rabbku, ampunilah aku, sayangilah aku, tun-jukilah aku,
limpahkanlah rezeki-Mu kepadaku, cukupkanlah kekuranganku, dan
sehatkanlah aku.” <br />
</li>
<li>Kemudian sujud kedua dengan khusyu’ yang ucapan dan
perbuatannya seperti pada waktu sujud pertama, dan bertakbirlah ketika
hendak sujud.
</li>
<li>Berdiri dari sujud kedua, seraya mengucapkan takbir dan
mengerjakan rakaat yang kedua yang ucapan serta perbuatannya seperti
yang dilakukan pada rakaat pertama. Hanya saja pada rakaat ini tidak
membaca istiftah.
</li>
<li>Kemudian duduk setelah selesai rakaat kedua, seraya mengucapkan takbir dan duduk persis dengan duduk antara kedua sujud.
</li>
<li>Dalam duduk ini membaca tasyahhud, yaitu:
<div align="justify" dir="rtl">
<span style="font-size: large;">((التَّحِيَّاتُ للهِ وَالصَّلَوَاتُ وَالطَّيِّبَاتُ. السَّلاَمُ </span></div>
<span style="font-size: large;">عَلَيْكَ أَيُّهَا النَّبِيُّ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ. السَّلاَمُ </span><br />
<span style="font-size: large;">عَلَيْنَا وَعَلَى عِبَادِ اللهِ الصَّالِحِيْنَ، أَشْهَدُ أَنْ لاَ </span><br />
<span style="font-size: large;">إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ. </span><br />
<span style="font-size: large;">اللّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ، كَمَا </span><br />
<span style="font-size: large;">صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ إِنَّكَ </span><br />
<span style="font-size: large;">حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ، وَباَرِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ </span><br />
<span style="font-size: large;">كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ </span><br />
<span style="font-size: large;">إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْد. أَعُوذُ بِاللهِ مِنْ عَذَابِ جَهَنَّمَ، </span><br />
<span style="font-size: large;">وَمِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ، وَمِنْ فِتْنَةِ الْمَحْيَا </span><br />
<span style="font-size: large;">وَالْمَمَاتِ، وَمِنْ فِتْنَةِ الْمَسِيْحِ الدَّجَّالِ))</span><br />
<div align="justify">
“Segala penghormatan, shalat dan kebaikan milik
Allah. Selamat sejahtera kepadamu, wahai Nabi, rah-mat Allah dan
berkah-Nya. Selamat sejahtera kepada kami dan hamba-hamba Allah yang
shalih. Aku bersaksi tiada tuhan yang berhak disembah selain Allah dan
bahwa Muhammad adalah hamba dan rasul-Nya. Ya Allah, berikanlah salam
sejahtera kepa-da Muhammad dan keluarga Muhammad, Sebagai-mana engkau
memberikan salam sejahtera kepada Ibrahim dan keluarga
Ibrahim.Sesungguhnya Engkau maha Terpuji lagi Mahaagung. Dan berkahilah
Muhammad dan keluarga Muhammad, sebagaimana Engkau memberkahi Ibrahim
dan keluarga Ibrahim. Sesungguhnya Engkau maha terpuji dan Maha Agung.
Aku berlindung kepada Allah dari siksa Ja-hannam, dari siksa kubur, dari
fitnah kehidupan dan kematian, dan dari fitnah Al-Masih Ad-Dajjal.” </div>
</li>
<li>Salam ke kanan dan ke kiri dengan mengucapkan:
<span style="font-size: large;">((السَلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ )) </span><br />
</li>
<li>Apabila shalat itu tiga rakaat atau empat rakaat, maka berhenti sampai batas tahiyat awal, yaitu:
<span style="font-size: large;">(( أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ وَ أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ )) </span><br />
</li>
<li>Kemudian bangkit dengan mengucapkan takbir, serta mengangkat kedua tangan setinggi pundak.
</li>
<li>Meneruskan shalat seperti pada rakaat kedua, hanya saja dalam rakaat ketiga ini cukup membaca Al-Fatihah.
</li>
<li>Duduk tawarruk, yakni menegakkan telapak kaki kanan serta
mengeluarkan telapak kaki kiri dari bawah betis kanan; mendudukkan
pantat di alas/ tanah dan meletakkan kedua tangan di atas paha, seperti
cara meletakkan tangan pada tahiyat awal.
</li>
<li>Dalam posisi duduk ini membaca tahiyat seluruhnya.
</li>
<li>Kemudian salam ke kanan dan ke kiri, seraya meng-ucapkan:
<span style="font-size: large;">(( السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ ))</span></li>
</ul>
<strong>Yang dimakruhkan dalam shalat:</strong><br />
<ul>
<li>Menoleh dan melirik kesana-kemari, bahkan meng-angkat mata ke atas diharamkan.
</li>
<li>Memain-mainkan anggota tubuh dan bergerak tanpa ada keperluan.
</li>
<li>Membawa sesuatu yang dapat menyibukkan, seperti membawa suatu
benda yang berat atau suatu benda yang berwarna-warni yang dapat menarik
perhatian.
</li>
<li>Bertolak pinggang.</li>
</ul>
<strong>Yang membatalkan shalat:</strong><br />
<ul>
<li>Bicara dengan sengaja, walau hanya sedikit
</li>
<li>Memalingkan badan dari kiblat.
</li>
<li>Keluar angin dari dubur dan apa saja yang menye-babkan wajib wudhu dan mandi.
</li>
<li>Melakukan banyak gerakan terus-menerus tanpa ada keperluan.
</li>
<li>Tertawa, walau hanya sedikit.</li>
</ul>
Samhttp://www.blogger.com/profile/02026223565972873713noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3776758012309185105.post-19811629222880007382012-10-27T02:50:00.002-07:002012-10-27T02:50:29.898-07:00TUJUAN AKIDAH ISLAM Akidah Islam mempunyai banyak tujuan yang baik yang harus dipegang, yaitu:
<br />
<br />1. Untuk mengikhlaskan niat dan ibadah kepada Allah satu-satunya.
Karena Dia adalah Pencipta yang tidak ada sekutu bagi-Nya, maka tujuan
dari ibadah haruslah diperuntukkan kepada-Nya satu-satunya.
<br />
<br />2. Membebaskan akal dan pikiran dari kekacauan yang timbul dari
kosongnya hati dari akidah. Karena orang yang hatinya kosong dari akidah
ini, adakalanya kosong hatinya dari setiap akidah serta menyembah
materi yang dapat diindera saja dan adakalanya terjatuh pada berbagai
kesesatan akidah dan khurafat.
<br />
<br />3. Ketenangan jiwa dan pikiran, tidak cemas dalam jiwa dan tidak
goncang dalam pikiran. Karena akidah ini akan menghubungkan orang mukmin
dengan Penciptanya lalu rela bahwa Dia sebagai Tuhan yang mengatur.
Hakim yang Membuat tasyri’. Oleh karena itu hatinya menerima takdir,
dadanya lapang untuk menyerah lalu tidak mencari pengganti yang lain.
<br />
<br />4. Meluruskan tujuan dan perbuatan dari penyelewengan dalam
beribadah kepada Allah dan bermuamalah dengan orang lain. Karena di
antara dasar akidah ini adalah mengimani para rasul yang mengandung
mengikuti jalan mereka yang lurus dalam tujuan dan perbuatan.
<br />
<br />5. Bersungguh-sungguh dalam segala sesuatu dengan tidak
menghilangkan kesempatan beramal baik kecuali digunakannya dengan
mengharap pahala serta tidak melihat tempat dosa kecuali menjauhinya
dengan rasa takut dari siksa. Karena di antara dasar akidah ini adalah
mengimani kebangkitan serta balasan terhadap seluruh perbuatan.
<br />
<br />“Dan masing-masing orang yang memperoleh derajat-derajat (sesuai)
dengan yang dikerjakannya. Dan Tuhanmu tidak lengah dari apa yang mereka
kerjakan.” (Al An’am 132)
<br />
<br />Nabi Muhammad n juga mengimbau untuk tujuan ini dalam sabdanya:
<br />
<br />الْمُؤْمِنُ الْقَوِيُّ خَيْرٌ وَأَحَبُّ إِلَى اللهِ مِنَ الْمُؤْمِنِ الضَّعِيْفِ وَفِيْ كُلٍّ خَيْرٌ، اِحْرِصْ عَلَى مَا
<br />
<br />يَنْفَعُكَ وَاسْتَعِنْ بِاللهِ، وَلاَ تَعْجَزْ وَإِنْ أَصَابَكَ
شَيْءٌ فَلاَ تَقُلْ لَوْ أَنِّيْ فَعَلْتُ كَذَا وَكَذَا وَلَكِنْ
<br />
<br />قُلْ: قَدَّرَ اللهُ، وَمَا شَاءَ فَعَلَ، فَإِنَّ لَوْ تَفْتَحُ عَمَلَ الشَّيْطَانِ.
<br />
<br />“Orang Mukmin yang kuat itu lebih baik dan lebih dicintai oleh Allah
daripada orang mukmin yang lemah. Dan pada masing-masing terdapat
kebaikan. Bersemangatlah terhadap sesuatu yang berguna bagimu serta
mohonlah pertolongan dari Allah dan jangan lemah. Jika engkau ditimpa
sesuatu, maka janganlah engkau katakan: Seandainya aku kerjakan begini
dan begitu. Akan tetapi katakanlah: Itu takdir Allah dan apa yang Dia
kehendaki Dia lakukan. Sesungguhnya mengandai-andai itu membuka
perbuatan setan.” (Muslim)
<br />
<br />6. Mencintai umat yang kuat yang mengerahkan segala yang mahal
maupun yang murah untuk menegakkan agamanya serta memperkuat tiang
penyanggahnya tanpa perduli apa yang akan terjadi untuk menempuh jalan
itu.
<br />
<br />”Sesungguhnya orang-orang yang beriman hanyalah orang-orang yang
beriman kepada Allah dan rasul-Nya kemudian mereka tidak ragu-ragu dan
mereka berjihad dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah. Mereka
itulah orang-orang yang benar.” (Al Hujurat 15)
<br />
<br />7. Meraih kebahagiaan dunia dan akhirat dengan memperbaiki
individu-individu maupun kelompok-kelompok serta meraih pahala dan
kemuliaan.
<br />
<br /> “Barangsiapa yang mengerjakan amal baik, baik lelaki maupun wanita
dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya
kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada
mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka
kerjakan.” (An Nahl 97)
<br />
<br />Inilah sebagian dari tujuan akidah Islam. Kami mengharap agar Allah merealisasikannya kepada kami dan seluruh umat Islam.
Samhttp://www.blogger.com/profile/02026223565972873713noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3776758012309185105.post-24315056268108259502012-10-27T02:49:00.003-07:002012-10-27T02:49:28.560-07:00IMAN KEPADA TAKDIRAl-Qadar adalah takdir Allah untuk seluruh makhluk yang ada sesuai dengan ilmu-Nya dan hikmah-Nya.
<br />
<br />Iman kepada takdir mengandung empat unsur:
<br />
<br />1. Mengimani bahwa Allah mengetahui segala sesuatu secara global
maupun terperinci, azali dan abadi, baik yang berkaitan dengan
perbuatan-Nya maupun perbuatan para hamba-Nya.
<br />
<br />2. Mengimani bahwa Allah telah menulis hal itu di “Lauh Mahfuzh”.
<br />
<br />Tentang dua hal tersebut Allah berfirman, yang artinya:
<br />
<br />“Apakah kamu tidak mengetahui bahwa sesungguhnya Allah mengetahui
apa saja yang ada di langit dan di bumi; bahwasanya yang demikian itu
terdapat dalam sebuah kitab (Lauh Mahfuzh)? Sesungguhnya yang demikian
itu amat mudah bagi Allah.” (Al Hajj 70)
<br />
<br />Abdullah bin Umar berkata: “Aku pernah mendengar Rasulullah bersabda:
<br />
<br />كَتَبَ اللهُ مَقَادِيْرَ الْخَلاَئِقِ قَبْلَ أَنْ يَخْلُقَ السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضَ بِخَمْسِيْنَ أَلْفَ سَنَةٍ.
<br />
<br />“Allah telah menulis (menentukan) takdir seluruh makhluk sebelum
menciptakan langit dan bumi lima puluh ribu tahun.” (HR. Muslim)
<br />
<br />3. Mengimani bahwa seluruh yang ada tidak akan ada, kecuali dengan
kehendak Allah I, baik yang berkaitan dengan perbuatan-Nya maupun yang
berkaitan dengan perbuatan makhluk-makhluk-Nya.
<br />
<br />Allah berfirman, yang artinya:
<br />
<br />“Dan Rabbmu menciptakan apa yang Dia kehendaki dan Dia pilih…” (Al Qashash 68)
<br />
<br /> “Dialah yang membentuk kamu dalam rahim sebagaimana
dikehendaki-Nya. Tak ada Tuhan melainkan Dia, Yang Mahaperkasa lagi
Mahabijaksana.” (Al Imran 6)
<br />
<br />Allah juga berfirman tentang sesuatu yang berkaitan dengan perbuatan-perbuatan makhluk-makhluk-Nya, yang artinya:
<br />
<br />“…Kalau Allah menghendaki, maka Dia memberi kekuasaan kepada mereka
terhadap kamu, lalu pastilah mereka memerangimu…” (An Nisaa 90)
<br />
<br />“Dan kalau Allah menghendaki, maka mereka tidak mengerjakannya. Maka
tinggalkanlah mereka dan apa yang mereka ada-adakan.” (Al An’aam 137)
<br />
<br />4. Mengimani bahwa seluruh yang ada, zatnya, sifatnya, dan geraknya diciptakan oleh Allah.
<br />
<br />“Allah menciptakan segala sesuatu dan Dia memelihara segala sesuatu.” (Az Zumar 62)
<br />
<br />“…dan Dia telah menciptakan segala sesuatu dan Dia menetapkan ukuran-ukurannya dengan serapi-rapinya.” (Al Furqan 2)
<br />
<br />Allah berfirman tentang Nabi Ibrahim yang berkata kepada kaumnya, yang artinya:
<br />
<br />“Padahal Allahlah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu.” (Ash Shaffaat 96)
<br />
<br />Iman kepada takdir sebagaimana telah kami terangkan di atas tidak
menafikan bahwa manusia mempunyai kehendak dan kemampuan dalam berbagai
perbuatan yang sifatnya ikhtiari. Syara’ dan kenyataan (realita)
menunjukkan ketetapan hal itu.
<br />
<br />a. Secara syara’, maka Allah berfirman tentang kehendak manusia, yang artinya:
<br />
<br />“…Maka barangsiapa yang menghendaki, niscaya ia menempuh jalan kembali kepada Rabbnya.” (An Naba’ 39)
<br />
<br />“…maka datangilah tanah tempat kamu bercocok tanam (isterimu) itu bagaimana saja kamu kehendaki…” (Al Baqarah 223)
<br />
<br />Allah juga berfirman tentang kemampuan manusia, yang artinya:
<br />
<br /> “Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu, dengarlah dan taatlah…” (At Taghaabun 16)
<br />
<br />“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan
kesanggupannya. Ia mendapat pahala dari (kebajikan) yang dikerjakannya
serta mendapat siksa dari (kejahatan) yang dikerjakan…” (Al Baqarah 286)
<br />
<br />b. Secara kenyataan, manusia mengetahui bahwa dirinya mempunyai
kehendak dan kemampuan yang menyebabkannya mengerjakan atau meninggalkan
sesuatu. Dia juga dapat membedakan antara kemauannya (seperti
berjalan), dan yang bukan kehendaknya (seperti gemetar). Kehendak serta
kemampuan seseorang itu akan terjadi dengan masyiah (kehendak) serta
qudrah (kemampuan) Allah, seperti dalam sebuah firman-Nya, yang artinya:
<br />“(Yaitu) bagi siapa di antara kamu yang mau menempuh jalan yang
lurus. Dan kamu tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu), kecuali
apabila dikehendaki Allah, Rabb semesta alam.” (At Takwir 28-29)
<br />
<br />Karena alam semesta ini seluruhnya milik Allah, maka tidak ada pada
milik-Nya barang sedikitpun yang tidak diketahui serta tidak
dikehendaki-Nya.
<br />
<br />Iman kepada takdir tidak berarti memberi alasan untuk meninggalkan
kewajiban atau untuk mengerjakan maksiat. Kalau itu dibuat alasan, maka
alasan itu jelas salah ditinjau dari beberapa segi:
<br />
<br />1. Firman Allah, yang artinya:
<br />
<br />“Orang-orang yang menyekutukan Tuhan mengatakan: “Jika Allah
menghendaki, niscaya kami dan bapak-bapak kami tidak mempersekutukan-Nya
dan tidak (pula) kami mengharamkan barang sesuatu apapun. Demikian juga
orang-orang sebelum mereka yang telah mendustakan (para rasul) sampai
mereka merasakan siksaan Kami. Katakanlah: “Adakah kamu mempunyai
sesuatu pengetahuan sehingga kamu dapat mengemukakannya kepada Kami?
Kamu tidak mengikuti kecuali prasangka belaka dan kamu tidak lain hanya
berdusta.” (Al An’aam 148)
<br />
<br />Kalau alasan mereka dengan takdir itu dibenarkan, Allah I tentu tidak akan menjatuhkan siksa-Nya.
<br />
<br />2. Firman-Nya, yang artinya:
<br />
<br />“(Mereka kami utus) sebagai rasul-rasul pembawa kabar gembira dan
pemberi peringatan agar tidak ada alasan bagi manusia membantah Allah
sesudah diutusnya rasul-rasul itu. Dan adalah Allah Mahaperkasa lagi
Mahabijaksana.” (An Nisaa 165)
<br />
<br />Kalau takdir dapat dibuat alasan bagi orang-orang yang salah, Allah
tidak menafikannya dengan diutusnya para rasul, karena menyalahi
sesuatu setelah terutusnya para rasul jatuh pada takdir Allah juga.
<br />
<br />3. Hadits yang diriwayatkan Al Bukhari dan Muslim, dari Ali bin Abi Thalib bahwa Nabi bersabda:
<br />
<br />مَا مِنْكُمْ مِنْ أَحَدٍ إِلاَّ قَدْ كُتِبَ مَقْعَدُهُ مِنَ النَّارِ
أَوْ مِنَ الْجَنَّةِ، فَقَالَ رَجُلٌ مِنَ الْقَوْمِ؛ أَلاَ نَتَّكِلُ
<br />يَا رَسُوْلَ اللهِ؟ قَالَ: لاَ اِعْمَلُوْا كُلٌّ مُيَسَّرٌ، ثُمَّ قَرَأَ:
<br />
<br />“Setiap diri kalian telah ditulis (ditetapkan) tempatnya di Surga
atau di Neraka. Ada seorang sahabat bertanya, “Mengapa kita tidak
(tawaakul-pasrah) saja, wahai Rasul Allah?” Beliau menjawab, “Tidak.
Berbuatlah karena masing-masing akan dimudahkan.” Lalu beliau membacakan
surat Al Lail ayat 4-7:
<br />
<br /> “Sesungguhnya usaha kamu memang berbeda-beda. Adapun orang yang
memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertakwa, dan membenarkan
adanya pahala yang terbaik (Surga), maka Kami kelak akan menyiapkan
baginya jalan yang mudah.” (Al Lail 4-7)
<br />
<br />Jadi, Nabi memerintahkan untuk berbuat serta melarang menyerah pada takdir.
<br />
<br />4. Allah memerintah serta melarang sesuatu pada hamba-Nya, namun tidak menuntutnya kecuali yang mampu dikerjakan.
<br />
<br />Allah berfirman, yang artinya:
<br />
<br />“Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu…” (At Taghabun 16)
<br />
<br />“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya…” (Al Baqarah 286)
<br />
<br />Kalau manusia dipaksakan untuk berbuat sesuatu, artinya disuruh
mengerjakan sesuatu yang tidak mungkin dikerjakan, maka ini merupakan
suatu kesalahan. Oleh karena itu, bila maksiat dilakukan karena
kebodohan atau karena lupa, atau karena dipaksa, maka pelakunya tidak
berdosa. Mereka dimaafkan Allah.
<br />
<br />5. Takdir Allah adalah rahasia yang tersembunyi, tidak dapat
diketahui sebelum terjadinya takdir serta kehendak seseorang untuk
mengerjakannya terlebih dahulu dari-pada perbuatannya. Jadi, kehendak
seseorang untuk mengerjakan sesuatu itu tidak berdasarkan pada
pengetahuannya akan takdir Allah. Pada waktu itu habislah alasannya
dengan takdir karena tidak ada alasan bagi seseorang terhadap apa yang
tidak diketahuinya.
<br />
<br />6. Kita melihat orang yang ingin mendapatkan urusan dunia secara
layak, tidak ingin pindah kepada yang tidak layak. Apakah ia akan
beralasan pindahnya dengan takdir? Mengapa ia berpindah dari kurang
menguntungkan kepada yang menguntungkan dengan alasan takdir? Bukankah
keadaan dua hal itu satu?
<br />
<br />Cobalah perhatikan contoh di bawah ini:
<br />
<br />Kalau di depan seseorang ada dua jalan. Pertama, menuju ke sebuah
negeri yang semuanya serba kacau, pembunuhan, perampokan, pembantaian
kehormatan, ketakutan, dan kelaparan. Yang kedua menuju sebuah negeri
yang semuanya serba teratur, keamanan yang terkendali, kesejahteraan
yang melimpah ruah, jiwa, kehormatan, dan harta benda dihormati. Jalan
mana yang akan ia tempuh?
<br />
<br />Ia pasti akan menempuh jalan yang kedua yang menuju suatu negeri
yang teratur serta aman. Tidak mungkin orang berakal menempuh jalan yang
menuju ke sebuah negeri yang kacau serta menakutkan dengan alasan
takdir. Mengapa dalam urusan akhirat ia menempuh jalan yang menuju ke
Neraka bukan jalan yang menuju Surga dengan beralasan takdir?
<br />
<br />Contoh lain adalah seorang yang sakit disuruh meminum obat lalu
meminumnya sedangkan hatinya tidak menyukainya. Dan dilarang memakan
makanan yang berbahaya lalu meninggalkannya sementara hatinya
menyukainya. Semua itu dimaksudkan mencari pengobatan serta kesehatan.
Orang yang sakit itu tidak mungkin enggan minum obat atau melanggar
memakan makanan yang berbahaya dengan alasan menyerah pada takdir.
Bagaimana seseorang meninggalkan perintah Allah dan Rasul-Nya n atau
melakukan larangan Allah dan Rasul-Nya dengan beralasan pada takdir?
<br />
<br />7. Orang yang meninggalkan kewajiban serta melanggar kemaksiatan
dengan alasan takdir itu seandainya dianiaya oleh seseorang, dirampas
hartanya dan dirusak kehormatannya dengan beralasan pada takdir dan
mengatakan: Anda jangan menyalahkan saya, karena kelaliman saya ini
adalah takdir Allah, alasannya itu tidak akan diterima. Bagaimana
seseorang tidak mau menerima alasan orang lain dengan takdir dalam
penganiayaannya terhadap orang lain, lalu ia sendiri beralasan dengan
takdir terhadap kelalimannya pada hak Allah? Diriwayatkan bahwa Amirul
Mukminin Umar bin Khaththab z menerima seorang pencuri yang berhak
dipotong tangannya. Beliau memerintahkan agar dipotong tangannya.
Pencuri berkata: Tunggu dulu, Amirul Mukminin, aku mencuri ini hanya
karena takdir Allah. Umar pun tidak kalah menjawab: Demikian kami
memotong tanganmu hanya karena takdir Allah.
<br />
<br />Buah Iman Kepada Takdir:
<br />
<br />1. Bersandar kepada Allah ketika mengerjakan sebab-sebab, tidak
bersandar kepada sebab itu sendiri, karena segala sesuatu ditentukan
dengan takdir Allah.
<br />
<br />2. Agar seseorang tidak lagi mengagumi dirinya ketika tercapai apa
yang dicita-citakan. Karena tercapainya cita-cita merupakan nikmat dari
Allah yang dikarenakan takdir-Nya yaitu sebab-sebab keberhasilan. Dan
mengagumi dirinya akan dapat melupakan syukur nikmat ini.
<br />
<br />3. Menimbulkan ketenangan serta kepuasan jiwa terhadap seluruh
takdir yang berlaku, tidak gelisah karena hilangnya sesuatu yang disukai
atau datangnya sesuatu yang tidak disukai. Karena dia tahu bahwa hal
itu ditentukan dengan takdir Allah yang memiliki langit dan bumi dan
bahwa hal itu akan terjadi dengan pasti.
<br />
<br />“Tidak suatu bencana pun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada
dirimu sendiri melainkan telah ditulis dalam kitab (Lauh Mahfuzh)
sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah
bagi Allah. (Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu tidak berduka
cita terhadap apa yang luput dari kamu dan supaya kamu tidak terlalu
gembira terhadap apa yang diberikan oleh-Nya kepadamu. Dan Allah tidak
menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri.” (Al Hadid
22-23)
<br />
<br />Nabi Muhammad bersabda:
<br />
<br />عَجَبًا لأَمْرِ الْمُؤْمِنِ، إِنَّ أَمْرَهُ كُلُّهُ خَيْرٌ، وَلَيْسَ
ذَلِكَ لأَحَدٍ إِلاَّ لِلْمُؤْمِنِ، إِنْ أَصَابَتْهُ سَرَّاءُ
<br />شَكَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ، وَإِنْ أَصَابَتْهُ ضَرَّاءُ صَبَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ.
<br />
<br />“Sungguh menakjubkan perkara orang mukmin itu. Perkaranya semua
baik, dan itu tidak ada pada seorang pun selain orang mukmin. Jika
mendapatkan kegembiraan bersyukur, itu baik baginya. Dan jika ditimpa
kesusahan bersabar, itu pun baik baginya.” (Muslim)
<br />
<br />Dalam masalah takdir ini ada dua golongan yang tersesat:
<br />
<br />Pertama: Golongan Jabariyyah. Yaitu mereka yang mengatakan bahwa
manusia itu terpaksa atas perbuatannya, tidak punya iradah (kemauan) dan
qudrah (kemampuan).
<br />
<br />Kedua: Golongan Qadariyah. Yaitu mereka yang mengatakan bahwa
manusia dalam perbuatannya ditentukan oleh kemauan serta kemampuannya,
kehendak serta takdir Allah tidak ada pengaruhnya sama sekali.
<br />
<br />Untuk menjawab pendapat golongan pertama, (Jabariyyah), dapat dengan menggunakan syara’ dan kenyataan.
<br />
<br />a. Adapun dalil syara’ maka Allah telah menetapkan kehendak kepada hamba-Nya serta menggantungkan perbuatan kepadanya juga.
<br />
<br />“…Di antara kamu ada yang menghendaki dunia dan ada pula yang menghendaki akhirat…” (Ali Imran 152)
<br />
<br />“Dan katakanlah: Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu. Maka
barangsiapa yang (ingin) beriman hendaklah beriman. Dan barangsiapa yang
ingin (kafir) biarlah kafir. Sesungguhnya Kami telah sediakan bagi
orang-orang zhalim itu Neraka yang gejolaknya mengepung mereka…” (Al
Kahfi 29)
<br />
<br />“Barangsiapa mengerjakan amal yang baik maka (pahalanya) untuk
dirinya sendiri dan barangsiapa yang berbuat jahat maka (dosanya) atas
dirinya sendiri (pula). Dan sekali-kali Tuhanmu tidak akan menganiaya
hamba-hamba-Nya.” (Fushshilat 46)
<br />
<br />b. Secara kenyataan bahwa manusia mengetahui perbedaan antara
perbuatan-perbuatan yang ikhtiari (dapat diupayakan) yang dikerjakan
dengan kehendaknya, seperti makan, minum, dan jual beli, dan yang diluar
kehendaknya seperti gemetar karena demam, dan jatuh dari atas. Pada
yang pertama ini ia akan dapat mengerjakan dan memilih dengan kemauannya
tanpa ada paksaan. Sedangkan yang kedua dia tidak dapat memilih juga
tidak dikehendaki terjadinya.
<br />
<br />Pendapat golongan kedua (Qadariyah) dapat dijawab pula dengan syara’ dan kenyataan:
<br />
<br />a. Adapun dalil syara’ maka Allah adalah Pencipta segala sesuatu,
dan segala sesuatu terjadi dengan kehendak-Nya. Allah telah menjelaskan
dalam Al Qur’an bahwa perbuatan makhluk-Nya terjadi dengan kehendak-Nya,
sebagaimana firman-Nya, yang artinya:
<br />
<br />“Dan kalau Allah menghendaki, niscaya tidaklah berbunuh-bunuhan
orang-orang (yang datang) sesudah rasul-rasul itu, sesudah datang kepada
mereka beberapa macam keterangan, akan tetapi mereka berselisih, maka
ada di antara mereka yang beriman dan ada (pula) di antara mereka yang
kafir. Seandainya Allah menghendaki, tidaklah mereka berbunuh-bunuhan.
Akan tetapi Allah berbuat apa yang dikehendaki-Nya.” (Al Baqarah 153)
<br />
<br />“Dan kalau Kami menghendaki niscaya Kami akan berikan kepada
tiap-tiap jiwa petunjuk (bagi)nya, akan tetapi telah tetaplah perkataan
(ketetapan) dariku; sesungguhnya akan Aku penuhi neraka Jahannam itu
dengan jin dan manusia bersama-sama.” (As Sajdah 13)
<br />
<br />b. Adapun menurut akal, bahwa alam semesta ini adalah milik dan
berada dalam kekuasaan Allah. Dan manusia, sebagai bagian dari alam
tidak mungkin dapat berbuat dalam kekuasaan Si Penguasa kecuali dengan
seizin-Nya dan kehendak-Nya. Samhttp://www.blogger.com/profile/02026223565972873713noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3776758012309185105.post-84944118245143831002012-10-27T02:47:00.003-07:002012-10-27T02:47:55.312-07:00IMAN KEPADA HARI AKHIR Hari Akhir adalah hari Kiamat, di mana seluruh manusia dibangkitkan
pada hari itu untuk dihisab dan dibalas. Hari itu disebut hari Akhir,
karena tidak ada hari lagi setelahnya. Pada hari itulah penghuni Surga
dan penghuni Neraka masing-masing menetap di tempatnya.
<br />
<br />Iman kepada hari Akhir mengandung tiga unsur:
<br />
<br />1. Mengimani ba’ts (kebangkitan), yaitu menghidupkan kembali
orang-orang yang sudah mati ketika tiupan sangkakala yang kedua kali.
Pada waktu itu semua manusia bangkit untuk menghadap Rabb alam semesta
dengan tidak beralas kaki, bertelanjang, dan tidak disunat.
<br />
<br />Allah berfirman:
<br />
<br /> “(Yaitu) pada hari Kami gulung langit seperti menggulung
lembaran-lembaran kertas. Sebagaimana Kami telah memulai penciptaan
pertama, begitulah Kami akan mengulanginya. Itulah suatu janji yang
pasti Kami tepati. Sesungguhnya Kamilah yang akan melaksanakannya.” (Al
Anbiyaa 104)
<br />
<br />Kebangkitan adalah kebenaran yang pasti, ditunjukkan oleh Al Kitab,
Sunnah dan ijma’ umat Islam. Allah I berfirman, yang artinya:
<br />
<br /> “Kemudian, sesungguhnya kamu sekalian akan dibangkitkan (dari kuburmu) di hari Kiamat.” (Al Mu’minun 16)
<br />
<br />Nabi Muhammad juga bersabda:
<br />
<br />“Di hari Kiamat seluruh manusia akan dihimpun dengan keadaan tidak beralas kaki dan tidak disunat." (HR. Bukhari-Muslim)
<br />
<br />Umat Islam sepakat akan adanya hari Kebangkitan karena hal itu
sesuai dengan hikmah Allah yang mengembalikan ciptaan-Nya untuk diberi
balasan terhadap segala yang telah diperintahkan-Nya melalui lisan para
rasul-Nya. Allah berfirman, yang artinya:
<br />
<br /> “Maka apakah kamu mengira bahwa sesungguhnya Kami menciptakan kamu
secara main-main (saja), dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada
Kami?” (Al Mu’minun 115)
<br />
<br />Allah berfirman kepada Rasulullah, yang artinya:
<br />
<br /> “Sesungguhnya yang mewajibkan atasmu (melaksanakan hukum-hukum) Al
Qur’an benar-benar akan mengembalikan kamu ke tempat kembali…” (Al
Qashash 85)
<br />
<br />2. Mengimani hisab (perhitungan) dan jaza’ (pembalasan) dengan
meyakini bahwa seluruh perbuatan manusia akan dihisab dan dibalas. Hal
ini dipaparkan dengan jelas di dalam Al Qur’an, Sunnah dan ijma’
(kesepakatan) umat Islam.
<br />
<br />Allah berfirman, yang artinya:
<br />
<br /> “Sesungguhnya kepada Kamilah kembali mereka, kemudian sesungguhnya kewajiban Kamilah menghisab mereka.” (Al Ghasyiyah 25-26)
<br />
<br /> “Barangsiapa membawa amal yang baik maka baginya (pahala) sepuluh
kali lipat amalnya; dan barangsiapa yang membawa perbuatan yang jahat
maka dia tidak diberi balasan melainkan seimbang dengan kejahatannya,
sedang mereka sedikit pun tidak dianiaya (dirugikan).” (Al An’am 160)
<br />
<br /> “Kami akan memasang timbangan yang tepat pada hari Kiamat, maka
tiadalah dirugikan seseorang barang sedikit pun. Dan jika (amalan itu)
hanya seberat biji sawi pun pasti Kami mendatangkan (pahala)nya. Dan
cukuplah Kami sebagai Pembuat perhitungan.” (Al Anbiyaa 47)
<br />
<br />Dari Ibnu Umar diriwayatkan bahwa Nabi n bersabda, yang artinya:
<br />
<br />“Allah nanti akan mendekatkan orang mukmin, lalu meletakkan tutup
dan menutupnya. Allah bertanya, “Apakah kamu tahu dosamu itu?” Ia
menjawab, “Ya Rabbku.” Ketika ia sudah mengakui dosa-dosanya dan melihat
dirinya telah binasa, Allah berfirman: “Aku telah menutupi dosa-dosamu
di dunia dan sekarang Aku mengampuninya.” Kemudian diberikan kepada
orang mukmin itu buku amal baiknya. Adapun orang-orang kafir dan
orang-orang munafik, Allah memanggilnya di hadapan orang banyak. Mereka
orang-orang yang mendustakan Rabbnya. Ketahuilah, laknat Allah itu
untuk orang-orang yang zhalim.” (HR. Bukhari dan Muslim)
<br />
<br />Nabi bersabda:
<br />
<br />أَنَّ مَنْ هَمَّ بِحَسَنَةٍ فَعَمِلَهَا كَتَبَهَا اللهُ عِنْدَهُ عَشْرَ حَسَنَاتٍ إِلَى سَبْعِمِائَةِ ضِعْفٍ إِلَى أَضْعَافٍ
<br />كَثِيْرَةٍ، إِنْ هَمَّ بِسَيِّئَةٍ فَعَمِلَهَا كَتَبَهَا اللهُ سَيِّئَةً وَاحِدَةً.
<br />
<br />“Orang yang berniat melakukan satu kebaikan, lalu mengamalkannya,
maka ditulis baginya sepuluh kebaikan, sampai tujuh ratus kali lipat,
bahkan sampai beberapa lipat lagi. Barangsiapa berniat melakukan satu
kejahatan, lalu mengamalkannya, maka Allah menulisnya satu kejahatan
saja.”
<br />
<br />Umat Islam telah sepakat tentang adanya hisab dan pembalasan amal
karena itu sesuai dengan kebijaksanaan Allah. Sebagaimana kita ketahui,
Allah telah menurunkan kitab-kitab, mengutus para rasul serta
mewajibkan kepada manusia untuk menerima ajaran yang dibawa oleh
rasul-rasul Allah itu dan mengerjakan segala yang diwajibkannya. Dan
Allah telah mewajibkan agar berperang melawan orang-orang yang
menentang-Nya serta menghalalkan darah, keturunan, isteri dan harta
benda mereka. Kalau tidak ada hisab dan balasan tentu hal ini hanya
sia-sia belaka, dan Rabb Yang Mahabijaksana, Mahasuci darinya. Allah
telah mengisyaratkan hal itu dalam firman-Nya, yang artinya:
<br />
<br /> “Maka sesungguhnya Kami akan menanyai umat-umat yang telah diutus
rasul-rasul kepada mereka dan sesungguhnya Kami akan menanyai (pula)
rasul-rasul (Kami), maka sesungguhnya akan Kami kabarkan kepada mereka
(apa-apa yang telah mereka perbuat), sedang (Kami) mengetahui (keadaan
mereka), dan Kami sekali-kali tidak jauh (dari mereka).” (Al A’raaf 6-7)
<br />
<br />3. Mengimani Surga dan Neraka sebagai tempat manusia yang abadi.
Surga tempat kenikmatan yang disediakan Allah untuk orang-orang mukmin
yang bertaqwa, yang mengimani apa-apa yang harus diimani, yang taat
kepada Allah dan rasul-Nya, dan kepada orang-orang yang ikhlas.
<br />
<br />Di dalam Surga terdapat berbagai kenikmatan yang tidak pernah
dilihat mata, tidak pernah didengar telinga, serta tidak terlintas dalam
benak manusia.
<br />
<br />“Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shalih,
mereka itu adalah sebaik-baik makhluk. Balasan mereka di sisi Rabb
mereka ialah surga ‘Adn yang mengalir di bawahnya sungai-sungai. Mereka
kekal di dalamnya selama-lamanya. Allah ridha terhadap mereka, dan
mereka pun ridha kepada-Nya. Yang demikian itu adalah (balasan) bagi
orang yang takut kepada Rabbnya.” (Al Bayyinah 7-8)
<br />
<br />“Tidak seorang pun mengetahui apa yang disembunyikan untuk mereka,
yaitu (bermacam-macam nikmat) yang menyenangkan pandangan mata sebagai
balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan.” (As Sajdah 17)
<br />
<br />Neraka adalah tempat azab yang disediakan oleh Allah untuk
orang-orang kafir, yang berbuat zhalim, serta bagi yang mengingkari
Allah dan Rasul-Nya. Di dalam Neraka terdapat berbagai azab dan sesuatu
yang menakutkan, yang tidak pernah terlintas dalam hati.
<br />
<br /> “Dan peliharalah dirimu dari api Neraka, yang disediakan untuk orang-orang yang kafir.” (Al Imran 131)
<br />
<br />“…Sesungguhnya Kami telah sediakan bagi orang-orang yang zhalim itu
Neraka yang gejolaknya mengepung mereka. Jika mereka meminta minum, maka
mereka akan diberi minuman dengan air seperti besi yang mendidih yang
dapat menghanguskan muka. Itulah minuman yang paling buruk dan tempat
istirahat yang paling jelek.” (Al Kahfi 29)
<br />
<br />“Sesungguhnya Allah melaknati orang-orang kafir dan menyediakan bagi
mereka api yang menyala-nyala (Neraka). Mereka kekal di dalamnya
selama-lamanya. Mereka tidak memperoleh seorang pelindung pun dan tidak
(pula) seorang penolong. Pada hari ketika muka mereka dibolak-balikkan
dalam Neraka, mereka berkata: “Alangkah baiknya, andaikata kami taat
kepada Allah dan taat (pula) kepada Rasul.” (Al Ahzab 64-66)
<br />
<br />Iman kepada hari Akhir adalah termasuk mengimani peristiwa-peristiwa yang akan terjadi sesudah kematian, misalnya:
<br />
<br />a. Fitnah kubur, yaitu pertanyaan yang diajukan kepada mayat ketika
sudah dikubur tentang Rabbnya, agamanya, dan nabinya. Allah akan
meneguhkan orang-orang yang beriman dengan kata-kata yang mantap. Ia
akan menjawab pertanyaan itu dengan tegas dan penuh keyakinan, “Allah
Rabbku, Islam agamaku, dan Muhammad n nabiku. Allah menyesatkan
orang-orang yang zhalim dan kafir. Mereka akan menjawab pertanyaan
dengan terbengong-bengong karena pertanyaan itu terasa asing baginya.
Mereka akan menjawab, ”Aku…aku tidak tahu.” Sedangkan orang-orang
munafik akan menjawab dengan kebingungan, “Aku tidak tahu. Dulu aku
pernah mendengar orang-orang mengatakan sesuatu, lalu aku
mengatakannya.”
<br />
<br />b. Siksa dan nikmat kubur. Siksa kubur diperuntukkan bagi
orang-orang zhalim, yakni orang-orang munafik dan orang-orang kafir,
seperti dalam firman-Nya, yang artinya:
<br />
<br />“.. Alangkah dahsyatnya sekiranya kamu melihat di waktu orang-orang
yang zhalim (berada) dalam tekanan-tekanan sakratul maut, sedang para
malaikat memukul dengan tangannya, (sambil berkata), “Keluarkanlah
nyawamu.” Di hari ini kamu dibalas dengan siksaan yang sangat
menghinakan, karena kamu selalu mengatakan terhadap Allah (perkataan)
yang tidak benar dan (karena) kamu selalu menyombongkan diri terhadap
ayat-ayat-Nya.” (Al An’aam 93)
<br />
<br />Allah berfirman tentang kelurga Fir’aun:
<br />
<br /> “Kepada mereka dinampakkan Neraka pada pagi hari dan petang, dan
pada hari terjadinya Kiamat. (Dikatakan kepada malaikat): “Masukkanlah
Fir’aun dan kaumnya ke dalam azab yang sangat keras.” (Al Mu’min 46)
<br />
<br />Dari Zaid bin Tsabit diriwayatkan bahwa Nabi n bersabda: “Kalau
tidak karena kalian saling mengubur (orang yang mati), pasti aku memohon
kepada Allah agar memperdengarkan siksa kubur kepada kalian yang saya
mendengarnya.” Kemudian Nabi menghadapkan wajahnya seraya berkata:
“Mohonlah perlindungan kepada Allah dari siksa Neraka.” Para sahabat
berkata, “Kami memohon perlindungan kepada Allah dari siksa Neraka.”
Nabi n kemudian berkata lagi, “Mohonlah perlindungan kepada Allah dari
siksa kubur.” Para sahabat berkata, “Kami memohon perlindungan Allah
dari siksa kubur. Lalu beliau berkata lagi, “Mohonlah perlindungan
kepada Allah dari berbagai fitnah baik yang tampak maupun yang tidak
tampak.” Para sahabat lalu berkata, “Kami memohon perlindungan kepada
Allah dari berbagai fitnah baik yang tampak maupun yang tidak tampak.”
Nabi n berkata lagi, “Mohonlah perlindungan kepada Allah dari fitnah
dajjal.” Para sahabat berkata, “Kami mohon perlindungan kepada Allah
dari fitnah dajjal.” (HR. Muslim)
<br />
<br />Adapun nikmat kubur diperuntukkan bagi orang-orang mukmin yang jujur. Hal ini dijelaskan Allah dalam firman-Nya yang artinya:
<br />
<br />“Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: “Rabb kami ialah Allah”,
kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, maka malaikat akan turun
kepada mereka (dengan mengatakan): “Janganlah kamu merasa takut dan
janganlah kamu merasa sedih; dan gembirakanlah mereka dengan
(memperoleh) Surga yang telah dijanjikan Allah kepadamu.” (Fushshilat
30)
<br />
<br />“Maka mengapa ketika nyawa sampai di kerongkongan, padahal kamu
ketika itu melihat, dan Kami lebih dekat kepadanya daripada kamu. Tetapi
kamu tidak melihat, maka mengapa jika kamu tidak dikuasai (oleh Allah)?
Kamu tidak mengembalikan nyawa itu (kepada tempatnya) jika kamu adalah
orang-orang yang benar?, adapun jika dia (orang yang mati) termasuk
orang yang didekatkan (kepada Allah), maka dia memperoleh ketentraman
dan rezeki serta Surga kenikmatan.” (Al Waaqi’ah 83-89)
<br />
<br />Dari Al Barra’ bin Azib dikatakan bahwa Nabi n bersabda tentang
orang mukmin jika dapat menjawab pertanyaan dua malaikat di dalam
kuburnya. Sabdanya, “Ada suara dari langit: “Hamba-Ku memang benar. Oleh
karenanya, berilah dia alas dari Surga.” Lalu datanglah kenikmatan dan
keharuman dari Surga, dan kuburnya dilapangkan sejauh pandangan mata…”
(HR. Ahmad, Abu Daud, dalam hadits yang panjang).
<br />
<br />Buah Iman kepada hari Akhir:
<br />
<br />1. Mencintai ketaatan dengan mengharap pahala hari itu.
<br />
<br />2. Membenci perbuatan maksiat dengan rasa takut akan siksa pada hari itu.
<br />
<br />3. Menghibur orang mukmin tentang apa yang didapatkan di dunia dengan mengharap kenikmatan serta pahala di akhirat.
<br />
<br />Orang-orang kafir mengingkari adanya kebangkitan setelah mati dengan
menyangka bahwa hari Akhir dengan segala peristiwa-peristiwanya adalah
suatu hal yang mustahil. Persangkaan mereka jelas sangat keliru dan
kesalahannya itu dapat dibuktikan dengan syara’, indera, dan akal.
<br />
<br />1.Bukti syara’
<br />
<br />Allah berfirman, yang artinya:
<br />
<br />“Orang-orang yang kafir mengatakan bahwa mereka sekali-kali tidak
akan dibangkitkan. Katakanlah: “Tidak demikian, demi Rabbku, benar-benar
kamu akan dibangkitkan, kemudian akan diberitakan kepadamu apa yang
telah kamu kerjakan.” Yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.” (At
Taghaabun 7)
<br />
<br />2.Bukti inderawi
<br />
<br />Allah telah memperlihatkan bagaimana Dia menghidupkan orang-orang
yang sudah mati di dunia ini. Dalam surat Al Baqarah terdapat lima
contoh mengenai hal ini.
<br />
<br />a. Ketika kaum Musa berkata kepada nabinya Musa p bahwa mereka tidak
akan percaya dengan risalah yang dibawa Musa p, sampai mereka melihat
Allah dengan mata kepala mereka sendiri. Oleh karena itulah Allah
berfirman (yang ditujukan kepada bani Israil), yang artinya:
<br />
<br />“Dan (ingatlah), ketika kamu berkata: Hai Musa, kami tidak akan
beriman kepadamu sebelum kami melihat Allah dengan terang”, karena itu
kamu disambar halilintar, sedang kamu menyaksikannya. Setelah itu Kami
bangkitkan kamu sesudah kamu mati, supaya kamu bersyukur.” (Al Baqarah
55-56)
<br />
<br />b. Cerita orang yang terbunuh yang pembunuhnya dipersengketakan bani
Israil. Allah lalu memerintahkan mereka untuk menyembelih sapi,
kemudian daging sapi itu dipukulkan ke tubuh orang yang terbunuh itu
agar dapat menceritakan siapa sebenarnya yang telah membunuhnya. Hal ini
diungkapkan dalam firman-Nya, yang artinya:
<br />
<br />“Dan (ingatlah), ketika kamu membunuh seorang manusia, lalu kamu
saling tuduh-menuduh tentang itu. Dan Allah hendak menyingkapkan apa
yang selama ini kamu sembunyikan. Lalu Kami berfirman: “Pukullah mayat
itu dengan sebahagian anggota sapi betina itu!” Demikianlah Allah
menghidupkan kembali orang-orang yang telah mati, dan memperlihatkan
kepadamu tanda-tanda kekuasaan-Nya agar kamu mengerti.” (Al Baqarah
72-73)
<br />
<br />c. Kisah kaum yang keluar dari negerinya karena menghindari
kematian. Mereka berjumlah ribuan orang. Allah mematikan mereka, lalu
menghidupkan kembali. Ini digambarkan dalam firman-Nya, yang artinya:
<br />
<br />“Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang keluar dari
kampung halaman mereka, sedang mereka beribu-ribu (jumlahnya) karena
takut mati, maka Allah berfirman kepada mereka: “Matilah kamu, kemudian
Allah menghidupkan mereka. Sesungguhnya Allah mempunyai karunia terhadap
manusia, tetapi kebanyakan manusia tidak bersyukur.” (Al Baqarah 243)
<br />
<br />d. Kisah orang yang melewati sebuah desa yang hancur. Dia sangsi,
bagaimana Allah bisa menghidupkan desa itu kembali. Maka Allah
mematikannya selama seratus tahun, dan kemudian Allah menghidupkannya
kembali. Ini dikisahkan dalam firman-Nya, yang artinya:
<br />
<br />“Atau apakah (kamu memperhatikan) orang yang melewati suatu negeri
yang (temboknya) telah roboh menutupi atapnya. Dia berkata, “Bagaimana
Allah menghidupkan kembali negeri ini setelah hancur?” Maka Allah
mematikan orang itu seratus tahun, kemudian menghidupkannya kembali.
Allah bertanya, “Berapa lama kamu tinggal di sini?” Ia menjawab, “Saya
tinggal di sini sehari atau setengah hari.” Allah berfirman: “Sebenarnya
kamu telah tinggal di sini seratus tahun lamanya. Lihatlah makanan dan
minumanmu yang belum lagi berubah, dan lihatlah keledaimu (yang telah
menjadi tulang-belulang). Kami akan menjadikan kamu tanda kekuasaan Kami
bagi manusia. Lihatlah tulang-belulang keledai itu, kemudian Kami
menyusunnya kembali, kemudian Kami membalutnya dengan daging. Maka
tatkala telah nyata kepadanya (bagaimana Allah menghidupkan yang telah
mati) dia pun berkata, “Saya yakin Allah Mahakuasa atas segala sesuatu.”
(Al Baqarah 259)
<br />
<br />e. Kisah Nabiyullah Ibrahim Al Khalil ketika bertanya kepada Allah
bagaimana Dia menghidupkan kembali orang-orang yang telah mati. Allah
memerintahkannya untuk menyembelih empat ekor burung dan
memisah-misahkan bagian-bagian tubuh burung itu di atas gunung-gunung
yang ada di sekelilingnya. Ibrahim memanggil burung itu, lalu tak lama
tampaklah olehnya bagian-bagian tubuh burung itu menyatu dan segera
mendatangi Nabi Ibrahim kembali. Ini dikisahkan Allah dalam Al Qur’anul
Karim, yang artinya:
<br />
<br />“Dan (ingatlah) ketika Ibrahim berkata: “Ya Tuhanku, perlihatkanlah
kepadaku bagaimana Engkau menghidupkan orang-orang mati.” Allah
berfirman: “Apakah kamu belum percaya?” Ibrahim menjawab: “Saya telah
percaya, akan tetapi agar bertambah tetap hati saya.” Allah berfirman:
“(Kalau demikian), ambillah empat ekor burung, lalu cincanglah semuanya
olehmu, lalu letakkan di atas tiap-tiap satu bukit satu bagian dari
bagian-bagian itu. Sesudah itu panggillah mereka, niscaya mereka akan
datang kepada kamu dengan segera.” Dan ketahuilah bahwa Allah Maha
Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (Al Baqarah 260)
<br />
<br />Inilah contoh-contoh bukti inderawi yang menunjukkan mungkinnya
Allah menghidupkan orang-orang yang sudah mati. Telah diisyaratkan di
atas, Allah menjadikan tanda-tanda Isa bin Maryam yang menghidupkan
orang-orang yang sudah mati serta mengeluarkannya dari kubur dengan ijin
Allah.
<br />
<br />3.Bukti akal (logika)
<br />
<br />Bukti akal dapat dibagi menjadi dua bagian:
<br />
<br />a. Allah sebagai pencipta langit dan bumi seisinya telah
menciptakannya pertama kali. Allah mampu menciptakan pertama kali, tentu
pasti mampu pula untuk mengembalikannya.
<br />Firman-Nya:
<br />
<br /> “Dan Dialah yang menciptakan (manusia) dari permulaan, kemudian
mengembalikan (menghidupkan)nya kembali, dan menghidupkannya kembali itu
adalah lebih mudah bagi-Nya…” (Ar Ruum 27)
<br />
<br />“.. Sebagaimana Kami telah memulai penciptaan pertama, begitulah
Kami akan mengulanginya. Itulah suatu janji yang pasti Kami tepati.
Sesungguhnya Kamilah yang akan melaksanakannya.” (Al Anbiyaa 104)
<br />
<br />“Katakanlah: “Ia akan dihidupkan oleh Rabb yang menciptakannya kali
pertama. Dan Dia Maha Mengetahui tentang segala makhluk.” (Yaasin 79)
<br />
<br />b. Bumi yang mati dan tandus akan hidup kembali dan tumbuhan yang
mati akan bergerak subur setelah turun hujan. Yang mampu untuk
menghidupkannya setelah mati, dan yang mampu menghidupkan orang-orang
yang sudah mati itu sudah pasti Allah Ta’ala Mahaperkasa lagi Maha
Berkehendak.
<br />
<br />Allah berfirman, yang artinya:
<br />
<br />”Dan sebagian dari tanda-tanda (kekuasaan)-Nya bahwa kamu melihat
bumi itu kering tandus, maka apabila Kami turunkan air di atasnya,
niscaya ia bergerak dan subur. Sesungguhnya Tuhan yang menghidupkannya
tentu dapat menghidupkan yang mati. Sesungguhnya Dia Maha Kuasa atas
segala sesuatu.” (Fushshilat 39)
<br />
<br />”Dan Kami turunkan dari langit air yang banyak manfaatnya, lalu Kami
tumbuhkan dengan air itu pohon-pohon dan biji-bijian tanaman yang
diketam, dan pohon kurma yang tinggi-tinggi yang mempunyai mayang yang
bersusun-susun untuk menjadi rezeki bagi hamba-hamba (Kami), dan Kami
hidupkan dengan air itu tanah yang mati (kering). Seperti itulah
terjadinya kebangkitan.” (Qaaf 9-11)
<br />
<br />Orang yang ingkar kepada siksa kubur dan kenikmatannya mengira hal
itu suatu perkara yang mustahil serta bertolak belakang dengan kenyataan
karena apabila kubur itu dibongkar, akan didapati seperti semula, tidak
bertambah luas dan tidak pula bertambah sempit. Persangkaan mereka ini
jelas tidak benar menurut syara’, indera, dan akal.
<br />
<br />1.Dalil Syara’
<br />
<br />Ibnu Abbas berkata, “Rasulullah n pernah keluar dari salah satu
kebun kota Madinah. Lalu beliau mendengar ada dua orang yang disiksa di
dalam kuburnya.” Dalam hadits itu disebutkan bahwa yang satu karena
tidak memelihara buang air kecil (kencing sembarangan), dan yang satunya
lagi karena mengadu domba.” (Al Bukhari)
<br />
<br />2.Dalil inderawi
<br />
<br />Orang yang tidur terkadang mimpi bahwa ia berada di tempat yang
luas, menggembirakan, dan dia bersenang-senang di situ. Atau terkadang
dia juga mimpi berada di tempat yang sempit, menyedihkan, dan
menyakitkan. Terkadang seseorang bisa terbangun karena mimpinya itu,
padahal ia berada di atas tempat tidurnya. Ya, tidur adalah rekan mati.
Oleh karena itu Allah menyebut tidur dengan “wafat”, seperti dalam
firman-Nya, yang artinya:
<br />
<br />“Allah memegang jiwa (orang) ketika matinya dan (memegang) jiwa
(orang) yang belum mati di waktu tidurnya; maka Dia tahanlah jiwa (orang
yang telah Dia tetapkan kematiannya dan Dia melepaskan jiwa yang lain
sampai waktu yang ditentukan…” (Az Zumar 42)
<br />
<br />3.Dalil akal
<br />
<br />Orang yang tidur terkadang bermimpi yang benar sesuai dengan
kenyataan. Bisa jadi melihat Nabi sesuai dengan sifat beliau.
Barangsiapa pernah bermimpi melihat beliau sesuai dengan sifatnya, maka
dia bagaikan melihatnya benar-benar. Padahal pada waktu itu ia ada di
dalam kamarnya, di atas tempat tidurnya, jauh dari yang diimpikan.
Apabila keadaan tersebut suatu hal yang mungkin dijumpai di dunia, maka
bagaimana tidak mungkin dijumpai di akhirat?!
<br />
<br />Adapun dalih mereka bahwa apabila kubur itu digali, akan didapati
seperti semula, tidak bertambah luas dan tidak pula bertambah sempit
maka jawabannya:
<br />
<br />1. Apa yang dibawa syara’ tidak boleh dipertentangkan dengan hal-hal
yang bathil. Kalau orang yang mempertentangkan itu mau berpikir tentang
apa yang dibawa oleh syara’, ia pasti mengetahui kebatilan
kesalah-pahamannya itu.
<br />
<br />Seorang penyair bertutur:
<br />
<br />Berapa banyak orang yang mencela pendapat yang benar padahal bencana itu dari pemahaman yang salah.
<br />
<br />2. Keadaan dalam barzakh (alam kubur) termasuk hal-hal ghaib yang
tidak dapat dijangkau oleh indera, karena jika hal itu dapat diindera,
maka tidak ada artinya iman kepada yang ghaib, dan sama antara orang
yang beriman kepada yang ghaib dan orang yang mengingkari, dalam
mempercayainya.
<br />
<br />3. Siksa kubur, nikmat kubur, luasnya kubur, dan sempitnya kubur
hanya dapat dijumpai oleh mayat itu sendiri, bukan yang lain. Ini
seperti yang dilihat orang tidur dalam mimpinya, dia bisa berada di
tempat yang sempit yang menakutkan, atau di tempat yang luas dan
menyenangkan, padahal menurut orang lain yang melihatnya tidur, tidurnya
tidak berubah, masih di dalam kamar dan di atas tempat tidurnya.
<br />
<br />Ketika menerima wahyu, Nabi Muhammad berada di tengah-tengah para
sahabatnya. Beliau mendengarkan wahyu, tetapi para sahabatnya tidak
mendengarnya. Bisa jadi wahyu itu diturunkan dengan cara malaikat
menjelma menjadi seorang lelaki, lalu berbi-cara dengan beliau, dan para
sahabat tidak melihatnya serta mendengarnya.
<br />
<br />4. Pengetahuan manusia terbatas pada sesuatu yang hanya diijinkan
Allah untuk diketahuinya. Tidak mungkin manusia dapat mengetahui apa
saja yang ada. Langit yang tujuh serta bumi seisinya semua bertasbih
dengan memuji Allah dengan tasbih yang sebenarnya, yang terkadang Allah
perdengarkan kepada orang yang dikehendaki-Nya. Meskipun demikian hal
itu terhalang dari kita.
<br />
<br />Dalam masalah ini Allah berfirman, yang artinya:
<br />
<br />“Langit yang tujuh, bumi dan semua yang ada di dalamnya bertasbih
kepada Allah. Dan tak ada suatu pun melainkan bertasbih dengan
memuji-Nya, tetapi kamu sekalian tidak mengerti tasbih mereka.
Sesungguhnya Dia adalah Maha Penyantun lagi Maha Pengampun.” (Al Israa
44)
<br />
<br />Demikian halnya dengan setan dan jin yang mondar-mandir pulang-pergi
di atas bumi. Pernah ada jin datang kepada Nabi n dan mendengarkan
bacaan beliau, kemudian dia kembali ke kaumnya sebagai juru da’i. Hal
itu terhalang bagi kita.
<br />
<br />Dalam masalah ini Allah berfirman, yang artinya:
<br />
<br />“Hai anak Adam, janganlah sekali-kali kamu dapat ditipu oleh setan
sebagaimana ia telah mengeluarkan kedua ibu-bapak kamu dari Surga. Ia
meninggalkan dari keduanya pakaiannya untuk memperlihatkan kepada
keduanya auratnya. Sungguh, ia dan pengikutnya melihat kamu dari suatu
tempat yang kamu tidak bisa melihat mereka.Sesungguhnya Kami telah
menjadikan setan-setan itu pemimpin-pemimpin bagi orang-orang yang tidak
beriman.” (Al A’raaf 27).
<br />
<br />Apabila manusia tidak dapat mengetahui segala yang ada, maka mereka
tidak boleh mengingkari perkara-perkara gaib yang ditetapkan oleh syara’
sekalipun mereka tidak dapat mengetahuinya dengan indera mereka. Samhttp://www.blogger.com/profile/02026223565972873713noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3776758012309185105.post-22061178522816316862012-10-27T02:46:00.002-07:002012-10-27T02:46:48.800-07:00IMAN KEPADA PARA RASUL Ar-Rusul bentuk jamak dari kata “rasul”, yang berarti orang yang
diutus untuk menyampaikan sesuatu. Namun yang dimaksud “rasul” di sini
adalah orang yang diberi wahyu syara’ untuk disampaikan kepada umat.
<br />
<br />Rasul yang pertama adalah Nabiyullah Nuh, dan yang terakhir adalah Nabiyullah Muhammad.
<br />Allah berfirman, yang artinya:
<br />
<br /> “Sesungguhnya Kami telah memberikan wahyu kepadamu sebagaimana Kami
telah memberikan wahyu kepada Nuh dan nabi-nabi yang kemudiannya…” (An
Nisaa 163)
<br />
<br />Anas bin Malik dalam hadits syafaat menceritakan bahwa Nabi n
mengatakan, nanti orang-orang akan datang kepada Nabi Adam untuk meminta
syafaat, tetapi Nabi Adam meminta maaf kepada mereka seraya berkata
“Datangilah Nuh, rasul pertama yang diutus Allah…” (Al Bukhari)
<br />
<br />Allah berfirman tentang Nabi Muhammad, yang artinya:
<br />
<br /> “Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di
antara kamu, tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi. Dan
adalah Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (Al Ahzab 40)
<br />
<br />Setiap umat tidak pernah sunyi dari nabi yang diutus Allah yang
membawa syariat khusus untuk kaumnya atau dengan membawa syariat
sebelumnya yang diperbarui. Allah berfirman:
<br />
<br /> “Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat
(untuk menyerukan): “Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah thaghut…” (An
Nahl 36)
<br />
<br /> “Sesungguhnya Kami mengutus kamu dengan membawa kebenaran sebagai
pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan. Dan tidak ada
suatu umat pun melainkan telah ada padanya seorang pemberi peringatan.”
(Fathir 24)
<br />
<br /> “Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab Taurat di dalamnya (ada)
petunjuk dan cahaya (yang menerangi), yang dengan Kitab itu diputuskan
perkara orang-orang Yahudi…” (Al Maaidah 44)
<br />
<br />Para rasul adalah manusia biasa, makhluk Allah yang tidak mempunyai
sedikit pun keistimewaan rububiyah dan uluhiyah. Allah berfirman tentang
Nabi Muhammad sebagai pimpinan para rasul dan yang paling tinggi
pangkatnya di sisi Allah.
<br />
<br /> “Katakanlah: “Aku tidak berkuasa menarik kemanfaatan bagi diriku
dan tidak (pula) menolak kemudharatan kecuali yang dikehendaki Allah.
Dan sekiranya aku mengetahui yang ghaib, tentulah aku membuat kebajikan
sebanyak-banyaknya dan aku tidak akan ditimpa kemudharatan. Aku tidak
lain hanyalah pemberi peringatan, dan pembawa berita gembira bagi
orang-orang yang beriman.” (Al A’raaf 188)
<br />
<br /> “Katakanlah: “Sesungguhnya aku tidak kuasa mendatangkan sesuatu
kemudharatan pun kepadamu dan tidak (pula) sesuatu kemanfaatan.
Katakanlah: “Sesungguhnya aku sekali-kali tidak seorang pun yang dapat
melindungiku dari (azab) Allah dan sekali-kali tidak akan memperoleh
tempat berlindung daripada-Nya.” (Al Jin 21-22)
<br />
<br />Para rasul juga memiliki sifat-sifat kemanusiaan, seperti sakit,
mati, membutuhkan makan dan minum, dan lain sebagainya. Allah berfirman
tentang Nabi Ibrahim yang menjelaskan sifat Rabbnya, yang artinya:
<br />
<br /> “dan Rabbku, Yang Dia memberi makan dan minum kepadaku, dan apabila
aku sakit, Dialah yang menyembuhkan aku, dan Yang akan mematikan aku,
kemudian akan menghidupkan aku (kembali)…” (Asy Syu’araa 79-81)
<br />
<br />Nabi Muhammad bersabda:
<br />
<br />إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ مِثْلُكُمْ أَنْسَى كَمَا تَنْسَوْنَ، فَإِذَا نَسِيْتُ فَذَكِّرُوْنِيْ.
<br />
<br />“Aku tidak lain hanyalah manusia seperti kalian. Aku juga lupa seperti kalian. Karenanya, jika aku lupa, ingatkanlah.”
<br />
<br />Allah menerangkan bahwa para rasul mempunyai ubudiyah (penghambaan)
yang tertinggi kepada-Nya. Untuk memuji mereka, Allah berfirman
tentang Nabi Nuh, yang artinya:
<br />
<br /> “…dia adalah hamba (Allah) yang banyak bersyukur.” (Al Israa 3)
<br />
<br />Allah Ta’ala juga berfirman tentang Nabi Muhammad, yang artinya:
<br />
<br /> “Mahasuci Allah yang telah menurunkan Al Furqan (Al Qur’an) kepada
hamba-Nya, agar dia menjadi pemberi peringatan kepada seluruh alam.” (Al
Furqan 1)
<br />
<br />Allah juga berfirman tentang Nabi Ibrahim, Nabi Ishaq, dan Nabi Yaqub, yang artinya:
<br />
<br /> “Dan ingatlah hamba-hamba Kami: Ibrahim, Ishaq dan Yaqub yang
mempunyai perbuatan-perbuatan yang besar dan ilmu-ilmu yang tinggi.
Sesungguhnya Kami telah mensucikan mereka dengan (menganugerahkan kepada
mereka) akhlak yang tinggi yaitu selalu mengingatkan (manusia) kepada
negeri akhirat. Dan sesungguhnya mereka pada sisi Kami benar-benar
termasuk orang-orang pilihan yang paling baik.” (Shaad 45-47)
<br />
<br />Allah juga berfirman tentang Nabi Isa bin Maryam, yang artinya:
<br />
<br /> “Isa tidak lain hanyalah seorang hamba yang Kami berikan kepadanya
nikmat (kenabian) dan kami jadikan dia sebagai tanda bukti (kekuasaan
Allah) untuk Bani Israil.” (Az Zukhruf 59)
<br />
<br />Iman kepada para rasul mengandung empat unsur:
<br />
<br />1. Mengimani bahwa risalah mereka benar-benar dari Allah.
Barangsiapa mengingkari risalah mereka, walaupun hanya seorang, maka
menurut pendapat seluruh ulama dia dikatakan kafir.
<br />Allah berfirman, yang artinya:
<br />
<br /> “Kaum Nuh telah mendustakan para rasul.” (Asy Syu’araa 105)
<br />
<br />Allah menjadikan mereka mendustakan semua rasul, padahal hanya
seorang rasul saja yang ada ketika mereka mendustakannya. Oleh karena
itu umat Nasrani yang mendustakan dan tidak mau mengikuti nabi Muhammad
n, berarti mereka juga telah mendustakan dan tidak mengikuti Nabi Isa Al
Masih bin Maryam, karena Nabi Isa sendiri pernah menyampaikan kabar
gembira dengan akan datangnya Nabi Muhammad n ke alam semesta ini
sebagai rahmat bagi semesta alam. Kata “memberi kabar gembira” ini
mengandung makna bahwa Muhammad adalah seorang rasul mereka yang
menyebabkan Allah menyelamatkan mereka dari kesesatan dan memberi
petunjuk kepada mereka jalan yang lurus.
<br />
<br />2. Mengimani orang-orang yang sudah kita kenali nama-namanya,
misalnya Muhammad, Ibrahim, Musa, Isa dan Nuh (i). Kelima nabi rasul itu
adalah rasul “Ulul Azmi”. Allah telah menyebutkan mereka dalam dua
tempat dari Al Qur’an, yakni dalam surat Al Ahzab dan surat Asy Syura,
yang artinya:
<br />
<br /> “Dan (ingatlah) ketika Kami mengambil perjanjian dari nabi-nabi dan
dari kamu (sendiri), dari Nuh, Ibrahim, Musa dan Isa putera Maryam…”
(Al Ahzab 7)
<br />
<br /> “Dia telah mensyariatkan bagi kamu tentang agama yang telah
diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan
apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa, yaitu:
Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah-belah tentangnya…” (Asy
Syuura 13)
<br />
<br />Terhadap para rasul yang tidak kenal nama-namanya, juga wajib kita imani secara global.
<br />Allah berfirman, yang artinya:
<br />
<br /> “Dan sesungguhnya telah Kami utus beberapa orang rasul sebelum
kamu, di antara mereka ada yang Kami ceritakan kepadamu dan di antara
mereka ada (pula) yang tidak Kami ceritakan kepadamu…” (Al Mu'’in 78)
<br />
<br />3. Membenarkan berita-berita mereka yang benar.
<br />
<br />4, Mengamalkan syariat orang dari mereka yang diutus kepada kita.
Dia adalah nabi terakhir Muhammad yang diutus Allah kepada seluruh
manusia. Allah berfirman, yang artinya:
<br />
<br /> “Maka demi Rabbmu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga
mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan,
kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan
terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan
sepenuhnya.” (An Nisaa 65)
<br />
<br />Buah Iman kepada rasul-rasul:
<br />
<br />1. Mengetahui rahmat serta perhatian Allah kepada hamba-hamba-Nya
sehingga mengutus para rasul untuk menunjuki mereka pada jalan Allah
serta menjelaskan bagaimana seharusnya mereka menyembah Allah, karena
memang akal manusia tidak bisa mengetahui hal itu dengan sendirinya.
<br />
<br />2. Mensyukuri nikmat Allah yang amat besar ini.
<br />
<br />3. Mencintai para rasul, mengagungkannya, serta memujinya, karena
mereka adalah para rasul Allah, dan karena mereka hanya menyembah Allah,
menyampaikan risalah-Nya, dan menasihati hamba-Nya.
<br />
<br />Orang-orang yang menyimpang dari kebenaran mendustakan para rasul
dengan menganggap bahwa para rasul Allah bukan manusia. Anggapan yang
salah ini dijelaskan Allah dalam sebuah firman-Nya:
<br />
<br /> “Dan tidak ada sesuatu yang menghalangi manusia untuk beriman
tatkala datang petunjuk kepadanya, kecuali perkataan mereka: “Adakah
Allah mengutus seorang manusia menjadi rasul?” (Al Israa 94)
<br />
<br />Dalam ayat di atas Allah mematahkan anggapan mereka yang keliru.
Rasul Allah harus dari golongan manusia, karena ia akan diutus kepada
penduduk bumi yang juga manusia. Seandainya penduduk bumi itu malaikat,
pasti Allah akan menurunkan malaikat dari langit sebagai rasul.
<br />
<br />Di dalam surat Ibrahim Allah menceritakan orang-orang yang mendustakan para rasul.
<br />
<br /> “Mereka (orang-orang yang mendustakan rasul) berkata: “Kamu tidak
lain hanyalah manusia seperti kami juga. Kamu menghendaki untuk
menghalang-halangi kami dari apa yang selalu disembah oleh nenek moyang
kami. Karena itu, datangkanlah kepada kami bukti yang nyata.”Rasul-rasul
mereka berkata kepada mereka: “Kami tidak lain hanyalah manusia seperti
kamu, akan tetapi Allah memberi karunia kepada siapa yang Dia kehendaki
di antara hamba-hamba-Nya. Dan tidak patut bagi kami mendatangkan suatu
bukti kepada kamu melainkan dengan ijin Allah. Dan hanya kepada Allah
sajalah hendaknya orang-orang mukmin bertawakkal.” (Ibrahim 10-11) Samhttp://www.blogger.com/profile/02026223565972873713noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3776758012309185105.post-5124084201190424102012-10-27T02:45:00.001-07:002012-10-27T02:45:28.985-07:00IMAN KEPADA PARA MALAIKAT Malaikat adalah alam ghaib, makhluk, dan hamba Allah. Malaikat sama
sekali tidak memiliki keistimewaan rububiyah dan uluhiyah. Allah
menciptakannya dari cahaya serta memberikan ketaatan yang sempurna serta
kekuatan untuk melaksanakan ketaatan itu.
<br />
<br />Allah berfirman, yang artinya:
<br />
<br /> “…dan malaikat yang ada di sisi-Nya, mereka tidak angkuh untuk
menyembah-Nya dan tidak (pula) merasa letih. Mereka selalu bertasbih
malam dan siang tiada henti-hentinya.” (Al Anbiyaa 19-20)
<br />
<br />Malaikat berjumlah banyak, dan tidak ada yang dapat menghitungnya,
kecuali Allah. Dalam hadits Al Bukhari-Muslim terdapat hadits dari Anas z
tentang kisah mi’raj bahwa Allah telah memperlihatkan Al Baitul Ma’mur
di langit kepada Nabi n. Di dalamnya terdapat 70.000 malaikat yang
setiap hari melakukan shalat. Siapa pun yang keluar dari tempat itu,
tidak kembali lagi.
<br />
<br />Iman kepada malaikat mengandung empat unsur:
<br />
<br />1. Mengimani wujud mereka.
<br />
<br />2. Mengimani mereka yang kita kenali nama-namanya, seperti Jibril, dan juga terhadap nama-nama malaikat yang tidak kita kenal.
<br />
<br />3. Mengimani sifat-sifat mereka yang kita kenali, seperti sifat
bentuk Jibril, sebagaimana yang pernah dilihat Nabi n yang mempunyai 600
sayap yang menutup ufuk.
<br />
<br />Malaikat bisa saja menjelma berwujud seorang lelaki, seperti yang
pernah terjadi pada malaikat Jibril tatkala Allah mengutusnya kepada
Maryam. Jibril menjelma jadi seorang yang sempurna. Demikian pula ketika
Jibril datang kepada Nabi n, sewaktu beliau sedang duduk di
tengah-tengah sahabatnya. Jibril datang dengan bentuk seorang lelaki
yang berpakaian sangat putih, berambut sangat hitam, tidak terlihat
tanda-tanda perjalanannya, dan tidak seorang sahabat pun yang
mengenalinya. Jibril duduk dekat Nabi n, menyandarkan kedua lututnya ke
lutut Nabi dan meletakkan kedua telapak tangannya di atas kedua pahanya.
Ia bertanya kepada n tentang Islam, iman, ihsan, hari Kiamat, dan
tanda-tandanya. Setelah Nabi n menjawab seluruh pertanyaannya, Jibril
pergi. Setelah tidak disitu lagi, barulah Nabi n menjelaskan kepada para
sahabatnya, “Itu adalah Jibril yang datang untuk mengajarkan agama
kalian.”
<br />
<br />Demikian halnya dengan para malaikat yang diutus kepada Nabi Ibrahim dan Luth. Mereka menjelma bentuk menjadi lelaki.
<br />
<br />4. Mengimani tugas-tugas yang diperintahkan Allah kepada mereka yang
sudah kita ketahui, seperti bacaan tasbih, dan menyembah Allah
siang-malam tanpa merasa lelah.
<br />
<br />Di antara mereka ada yang mempunyai tugas-tugas tertentu, misalnya:
<br />
<br />1. Malaikat Jibril yang dipercayakan menyampaikan wahyu Allah kepada para nabi dan rasul.
<br />
<br />2, Malaikat Mikail yang diserahi tugas menurunkan hujan dan tumbuh-tumbuhan.
<br />
<br />3. Malaikat Israfil yang diserahi tugas meniup sangkakala di hari Kiamat dan kebangkitan makhluk.
<br />
<br />4. Malaikat maut yang diserahi tugas mencabut nyawa orang.
<br />
<br />5. Malaikat yang diserahi tugas menjaga Neraka.
<br />
<br />6. Para malaikat yang diserahi janin dalam rahim. Ketika sudah
mencapai empat bulan di dalam kandungan, Allah mengutus malaikat untuk
meniupkan ruh dan menyuruh untuk menulis rezekinya, ajalnya, amalnya,
derita, dan bahagianya.
<br />
<br />7. Para malaikat yang diserahi menjaga dan menulis semua perbuatan
manusia. Setiap orang dijaga oleh dua malaikat, yang satu pada sisi dari
kanan dan yang satunya lagi pada sisi dari kiri.
<br />
<br />8. Para malaikat yang diserahi tugas menanyai mayit. Bila mayit
sudah dimasukkan ke dalam kuburnya, maka akan datanglah dua malaikat
yang bertanya tentang Rabbnya, agamanya, dan nabinya.
<br />
<br /><b>Buah Iman kepada Malaikat:</b>
<br />
<br />1. Mengetahui keagungan Allah, kekuatan-Nya, dan kekuasaan-Nya.
Kebesaran makhluk pada hakikatnya adalah dari keagungan sang Pencipta.
<br />
<br />2. Syukur kepada Allah atas perhatian-Nya terhadap manusia sehingga
menugasi malaikat untuk memelihara, mencatat amal-amal dan berbagai
kemaslahatannya yang lain.
<br />
<br />3. Cinta kepada para malaikat karena ibadah yang mereka lakukan kepada Allah.
<br />
<br />Ada orang yang tersesat mengingkari keberadaan malaikat. Mereka
mengatakan bahwa malaikat ibarat “kekuatan kebaikan” yang tersimpan pada
makhluk-makhluk. Ini berarti tidak mempercayai Kitabullah, sunnah
Rasul-Nya, dan ijma’ (konsensus) umat Islam. Allah berfirman, yang
artinya:
<br />
<br /> “Segala puji bagi Allah Pencipta langit dan bumi. Yang menjadikan
malaikat sebagai utusan-utusan (untuk mengurus berbagai macam urusan)
yang mempunyai sayap, masing-masing (ada yang) dua, tiga dan empat.
Allah menambahkan pada ciptaan-Nya apa yang dikehendaki-Nya.
Sesungguhnya Allah Mahakuasa atas segala sesuatu.” (Faathir 1)
<br />
<br /> “Kalau kamu melihat ketika para malaikat mencabut jiwa orang-orang
yang kafir seraya memukul muka dan belakang mereka (dan berkata):
“Rasakanlah olehmu siksa Neraka yang membakar”, (tentulah kamu akan
merasa ngeri).” (Al Anfaal 50)
<br />
<br /> “…Alangkah dahsyatnya sekiranya kamu melihat di waktu orang-orang
yang zhalim (berada) dalam tekanan-tekanan sakratul maut, sedang para
malaikat memukul dengan tangannya, (sambil berkata): “Keluarlah
nyawamu…” (Al An’am 93)
<br />
<br /> “…sehingga apabila telah dihilangkan ketakutan dari hati mereka,
mereka berkata: “Apakah yang telah difirmankan oleh Rabbmu?” Mereka
menjawab: “(Perkataan) yang benar”, dan Dialah Yang Mahatinggi lagi
Mahabesar.” (Saba’ 23)
<br />
<br /> “…malaikat-malaikat masuk ke tempat-tempat mereka dari semua pintu
(sambil mengucapkan): “Salamun ‘alaikum bima shabartum (salam sejahtera
kepadamu dengan kesabaranmu).” Maka alangkah baiknya tempat kesudahan
itu.” (Ar Ra’d 23-23)
<br />
<br />Dari Abu Hurairah, Nabi bersabda:
<br />
<br />عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: إِذَا أَحَبَّ اللهُ الْعَبْدَ نَادَى
جِبْرِيْلُ أَنَّ اللهَ يُحِبُّ فُلاَنًا فَأَحَبَّهُ، فَيُحِبُّهُ
جِبْرِيْلُ، فَيُنَادِيْ جِبْرِيْلُ أَهْلَ السَّمَاءِ أَنَّ اللهَ يُحِبُّ
فُلاَنًا فَأَحِبُّوْهُ، فَيُحِبُّهُ أَهْلُ السَّمّاءِ، ثُمَّ يُوْضَعُ
لَهُ الْقَبُوْلُ فِي اْلأَرْضِ.
<br />
<br />“Apabila Allah mencintai seorang hamba-Nya, ia memberi tahu Jibril
untuk mencintainya, maka Jibril pun mencintainya. Jibril lalu memberi
tahu para penghuni langit bahwa Allah mencintai Fulan dan menyuruh
mereka juga untuk mencintainya, maka penghuni langit pun mencintainya.
Kemudian ia diterima di atas bumi.” (Al Bukhari)
<br />
<br />Diriwayatkan oleh Abu Hurairah bahwa Nabi bersabda:
<br />
<br />وَعَنْهُ أَيْضًا قَالَ: قَالَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ: إِذَا كَانَ يَوْمُ الْجُمُعَةِ كَانَ عَلَى كُلِّ بَابٍ مِنْ
<br />أَبْوَابِ الْمَسْجِدِ الْمَلاَئِكَةُ يَكْتُبُوْنَ اْلأَوَّلَ
فَاْلأَوَّلَ، فَإِذَا جَلَسَ اْلإِمَامُ طَوَّوا الصُّحُفَ وَجَاؤُوْا
<br />يَسْتَمِعُوْنَ الذِّكْرَ.
<br />
<br />“Di setiap hari Jum’at pada setiap pintu masjid para malaikat
mencatat satu demi satu orang yang datang. Bila imam sudah duduk (di
atas mimbar) mereka menutup buku-bukunya dan datang untuk mendengarkan
dzikir (khutbah).”
<br />
<br />Dari nash-nash ini tampak jelas bahwa para malaikat itu benar-benar
ada, bukan kekuatan maknawi yang terdapat dalam diri manusia seperti
yang disangka orang-orang sesat. Nash-nash tersebut telah disepakati
umat Islam.
<br />
<br /><b>IMAN KEPADA
<br />KITAB-KITAB ALLAH</b>
<br />
<br />Al-Kutub bentuk jamak dari kata “kitab” yang berarti “sesuatu yang
ditulis”. Namun yang dimaksud di sini adalah kitab-kitab yang diturunkan
Allah kepada para rasul-Nya sebagai rahmat dan hidayah bagi seluruh
manusia agar mencapai kebahagiaan di dunia dan akhirat.
<br />
<br />Iman kepada kitab-kitab mengandung empat unsur:
<br />
<br />1. Mengimani bahwa benar-benar diturunkan dari Allah.
<br />
<br />2. Mengimani kitab-kitab yang sudah kita kenali namanya, seperti Al
Qur’an yang diturunkan kepada Nabi Muhammad n, Taurat yang diturunkan
kepada Nabi Musa p, Injil yang diturunkan kepada Nabi Isa p, dan Zabur
yang diturunkan kepada Nabi Daud p. Adapun kitab-kitab yang tidak kita
ketahui namanya, kita mengimaninya secara global.
<br />
<br />3. Membenarkan seluruh beritanya yang benar, seperti berita-berita
yang ada di dalam Al Qur’an, dan berita-berita kitab-kitab terdahulu
yang belum diganti atau belum diselewengkan.
<br />
<br />4. Mengerjakan seluruh hukum yang belum dinasakh (dihapus) serta
rela dan menyerah pada hukum itu, baik kita memahami hikmahnya maupun
tidak. Seluruh kitab terdahulu telah dinasakh oleh Al Qur’anul Azhim,
seperti firman-Nya, yang artinya:
<br />
<br /> “Dan Kami telah turunkan kepadamu Al Qur’an dengan membawa
kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya yaitu kitab-kitab (yang
diturunkan sebelumnya), dan sebagai batu ujian terhadap kitab-kitab yang
lain itu…” (Al Maidah 48)
<br />
<br />Oleh karena itu, tidak dibenarkan mengerjakan hukum apa pun dari
hukum kitab-kitab terdahulu, kecuali yang benar dan ditetapkan Al
Qur’an.
<br />
<br />Buah Iman kepada Kitabullah:
<br />
<br />1. Mengetahui perhatian Allah terhadap hamba-hamba-Nya sehingga
menurunkan kitab yang menjadi hidayah (petunjuk) bagi setiap umat.
<br />
<br />2. Mengetahui hikmah Allah dalam syara’ atau hukum-Nya sehingga
menetapkan hukum yang sesuai dengan tingkah laku setiap umat, seperti
firman-Nya, yang artinya:
<br />
<br /> “…untuk tiap-tiap umat di antara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang…” (Al Maidah 48) Samhttp://www.blogger.com/profile/02026223565972873713noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3776758012309185105.post-668705696978137112012-10-27T02:44:00.000-07:002012-10-27T02:44:02.953-07:00IMAN KEPADA ALLAH Iman kepada Allah mengandung empat unsur:
<br />
<br /><b>1.Mengimani Wujud Allah</b>
<br />
<br />Wujud Allah telah dibuktikan oleh fitrah, akal, syara’, dan indera.
<br />
<br />1. Bukti fitrah tentang wujud Allah adalah bahwa iman kepada sang
Pencipta merupakan fitrah setiap makhluk, tanpa terlebih dahulu berpikir
atau belajar. Tidak akan berpaling dari tuntutan fitrah ini, kecuali
orang yang di dalam hatinya terdapat sesuatu yang dapat memalingkannya.
<br />Rasulullah bersabda:
<br />
<br />مَا مِنْ مَوْلُوْدٍ يُوْلَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ، فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِهِ.
<br />
<br /><i>“Semua bayi yang dilahirkan dalam keadaan fitrah. Ibu bapaknyalah yang meyahudikan, mengkristenkan, atau yang memajusikannya.”</i> (HR. Al Bukhari)
<br />
<br />2. Bukti akal tentang wujud Allah adalah proses terjadinya semua
makhluk, bahwa semua makhluk, yang terdahulu maupun yang akan datang,
pasti ada yang menciptakan. Tidak mungkin makhluk menciptakan dirinya
sendiri, dan tidak mungkin pula tercipta secara kebetulan. Tidak mungkin
wujud itu ada dengan sendirinya, karena segala sesuatu tidak akan dapat
menciptakan dirinya sendiri. Sebelum wujudnya tampak, berarti tidak
ada.
<br />
<br />Semua makhluk tidak mungkin tercipta secara kebetulan, karena setiap
yang diciptakan pasti membutuhkan pencipta. Adanya makhluk-makhluk itu
di atas undang-undang yang indah, tersusun rapi, dan saling terkait
dengan erat antara sebab-musababnya dan antara alam semesta satu sama
lainnya. Semua itu sama sekali menolak keberadaan seluruh makhluk secara
kebetulan, karena sesuatu yang ada secara kebetulan, pada awalnya pasti
tidak teratur.
<br />
<br />Kalau makhluk tidak dapat menciptakan diri sendiri, dan tidak
tercipta secara kebetulan, maka jelaslah, makhluk-makhluk itu ada yang
menciptakan, yaitu Allah Rabb semesta alam.
<br />
<br />Allah menyebutkan dalil aqli (akal) dan dalil qath’i dalam surat Ath Thuur:
<br />
<br /> <i>“Apakah mereka diciptakan tanpa sesuatu pun ataukah mereka yang menciptakan (diri mereka sendiri)?”</i> (Ath Thuur 35)
<br />
<br />Dari ayat di atas tampak bahwa makhluk tidak diciptakan tanpa
pencipta, dan makhluk tidak menciptakan dirinya sendiri. Jadi jelaslah,
yang menciptakan makhluk adalah Allah.
<br />
<br />Ketika Jubair bin Muth’im mendengar dari Rasulullah n yang tengah membaca surat Ath Thuur dan sampai kepada ayat-ayat ini:
<br />
<br /> <i>“Apakah mereka diciptakan tanpa sesuatu pun, ataukah mereka yang
menciptakan (diri mereka sendiri)? Ataukah mereka telah menciptakan
langit dan bumi itu? Sebenarnya mereka tidak meyakini (apa yang mereka
katakan). Ataukah di sisi mereka ada perbendaharaan Rabbmu atau
merekakah yang berkuasa?”</i> (Ath Thuur 35-37)
<br />
<br /><i>“Ia, yang tatkala itu masih musyrik berkata, “Hatiku hampir saja terbang. Itulah permulaan menetapnya keimanan dalam hatiku.”</i> (HR. Al Bukhari)
<br />
<br />Dalam hal ini kami ingin memberikan satu contoh. Kalau ada seseorang
berkata kepada Anda tentang istana yang dibangun, yang dikelilingi
kebun-kebun, dialiri sungai-sungai, dialasi oleh hamparan karpet, dan
dihiasi dengan berbagai perhiasan pokok dan penyempurna, lalu orang itu
mengatakan kepada Anda bahwa istana dengan segala kesempurnaannya ini
tercipta dengan sendirinya, atau tercipta secara kebetulan tanpa
pencipta, pasti Anda tidak akan mempercayainya, dan menganggap perkataan
itu adalah perkataan dusta dan dungu. Kini kami bertanya pada Anda,
masih mungkinkah alam semesta yang luas ini beserta apa-apa yang berada
di dalamnya tercipta dengan sendirinya atau tercipta secara kebetulan?!
<br />
<br />3. Bukti syara’ tentang wujud Allah bahwa seluruh kitab langit
berbicara tentang itu. Seluruh hukum yang mengandung kemaslahatan
manusia yang dibawa kitab-kitab tersebut merupakan dalil bahwa
kitab-kitab itu datang dari Rabb yang Maha Bijaksana dan Mengetahui
segala kemaslahatan makhluknya. Berita-berita alam semesta yang dapat
disaksikan oleh realitas akan kebenarannya yang didatangkan kitab-kitab
itu juga merupakan dalil atau bukti bahwa kitab-kitab itu datang dari
Rabb yang Maha Kuasa untuk mewujudkan apa yang diberitakan itu.
<br />
<br />4. Bukti indera tentang wujud Allah dapat dibagi menjadi dua:
<br />
<br />a. Kita dapat mendengar dan menyaksikan terkabulnya doa orang-orang
yang berdoa serta pertolongan-Nya yang diberikan kepada orang-orang yang
mendapatkan musibah. Hal ini menunjukkan secara pasti tentang wujud
Allah.
<br />
<br />Allah berfirman:
<br />
<br /> <i>“Dan (ingatlah kisah) Nuh, sebelum itu ketika dia berdoa dan
Kami memperkenankan doanya, lalu Kami selamatkan dia beserta keluarganya
dari bencana yang besar.” (Al Anbiyaa 76)
<br />“(Ingatlah), ketika kamu memohon pertolongan kepada Rabbmu, lalu diperkenankan-Nya bagimu…”</i> (Al Anfaal 9)
<br />
<br />Anas bin Malik berkata, “Pernah ada seorang badui datang pada hari
Jum’at. Pada waktu itu Nabi tengah berkhotbah. Lelaki itu berkata, “Hai
Rasul Allah, harta benda kami telah habis, seluruh warga sudah
kelaparan. Oleh karena itu mohonkanlah kepada Allah untuk mengatasi
kesulitan kami.” Rasulullah lalu mengangkat kedua tangannya dan berdoa.
Tiba-tiba awan mendung bertebaran bagaikan gunung-gunung. Rasulullah
belum turun dari mimbar, hujan turun membasahi jenggotnya. Pada hari
Jum’at yang kedua, orang badui atau orang lain berdiri dan berkata, “Hai
Rasul Allah, bangunan kami hancur dan harta benda pun tenggelam,
doakanlah akan kami ini (agar selamat) kepada Allah.” Rasulullah lalu
mengangkat kedua tangannya, seraya berdoa: “Ya Rabbku, turunkanlah hujan
di sekeliling kami dan janganlah Engkau turunkan sebagai bencana bagi
kami.” Akhirnya beliau tidak mengisyaratkan pada suatu tempat, kecuali
menjadi terang (tanpa hujan).” (HR. Al Bukhari)
<br />
<br />b. Tanda-tanda para nabi yang disebut mukjizat, yang dapat
disaksikan atau didengar banyak orang merupakan bukti yang jelas tentang
wujud Yang Mengutus para nabi tersebut, yaitu Allah, karena hal-hal itu
berada di luar kemampuan manusia. Allah melakukannya sebagai pemerkuat
dan penolong bagi para rasul.
<br />
<br />Ketika Allah memerintahkan Nabi Musa untuk memukul laut dengan
tongkatnya, Musa memukulkannya, lalu terbelahlah laut itu menjadi dua
belas jalur yang kering, sementara air di antara jalur-jalur itu menjadi
seperti gunung-gunung yang bergulung. Allah berfirman, yang artinya:
<br />
<br /><i>“Lalu Kami wahyukan kepada Musa: “Pukullah lautan itu dengan
tongkatmu.” Maka terbelahlah lautan itu dan tiap-tiap belahan adalah
seperti gunung yang besar.” </i>(Asy Syu’araa 63)
<br />
<br />Contoh kedua adalah mukjizat Nabi Isa ketika menghidupkan
orang-orang yang sudah mati; lalu mengeluarkannya dari kubur dengan ijin
Allah.
<br />
<br /> “…dan aku menghidupkan orang mati dengan seijin Allah…” (Al Imran 49)
<br />
<br /> “…dan (ingatlah) ketika kamu mengeluarkan orang mati dari kuburnya (menjadi hidup) dengan ijin-Ku…” (Al Maidah 110)
<br />
<br />Contoh ketiga adalah mukjizat Nabi Muhammad ketika kaum Quraisy
meminta tanda atau mukjizat. Beliau mengisyaratkan pada bulan, lalu
terbelahlah bulan itu menjadi dua, dan orang-orang dapat menyaksikannya.
Allah berfirman tentang hal ini, yang artinya:
<br />
<br /> “Telah dekat (datangnya) saat (Kiamat) dan telah terbelah pula
bulan. Dan jika mereka (orang-orang musyrik) melihat suatu tanda
(mukjizat), mereka berpaling dan berkata: “(Ini adalah) sihir yang
terus-menerus.” (Al Qomar 1-2)
<br />
<br />Tanda-tanda yang diberikan Allah, yang dapat dirasakan oleh indera kita itu adalah bukti pasti wujud-Nya.
<br />
<br /><b>2.Mengimani Rububiyah Allah </b>
<br />
<br />Mengimani rububiyah Allah maksudnya mengimani sepenuhnya bahwa
Dialah Rabb satu-satunya, tiada sekutu dan tiada penolong bagi-Nya.
<br />
<br />Rabb adalah Yang berhak menciptakan, memiliki serta memerintah.
Jadi, tidak ada Pencipta selain Allah, tidak ada pemilik selain Allah,
dan tidak ada perintah selain perintah dari-Nya. Allah telah berfirman,
yang artinya:
<br />
<br /> “…Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanya hak Allah. Mahasuci Allah, Rabb semesta alam.” (Al A’raaf 54)
<br />
<br /> “…Yang (berbuat) demikian itulah Allah Rabbmu, kepunyaan-Nyalah
kerajaan. Dan orang-orang yang kamu seru (sembah) selain Allah tidak
mempunyai apa-apa walaupun setipis kulit ari.” (Faathir 13)
<br />
<br />Tidak ada makhluk yang mengingkari kerububiyahan Allah, kecuali
orang yang congkak sedang ia tidak meyakini kebenaran ucapannya, seperti
yang dilakukan Fir’aun ketika berkata kepada kaumnya, ”Akulah tuhanmu
yang paling tinggi.” (An Naazi’aat 24), dan juga ketika berkata, “Hai
pembesar kaumku, aku tidak mengetahui tuhan bagimu selain aku.” (Al
Qashash 38)
<br />
<br />Allah berfirman, yang artinya:
<br />
<br /><i>“Dan mereka mengingkarinya karena kezhaliman dan kesombongan mereka padahal hati mereka meyakini (kebenaran)nya.”</i> (An Naml 14)
<br />
<br />Nabi Musa berkata kepada Fir’aun: <i>“Sesungguhnya kamu telah
mengetahui bahwa tiada yang menurunkan mukjizat-mukjizat itu kecuali
Rabb Yang memelihara langit dan bumi sebagai bukti-bukti yang nyata; dan
sesungguhnya aku mengira kamu, hai Fir’aun, seorang yang akan binasa.”</i> (Al Israa’ 102)
<br />
<br />Oleh karena itu, sebenarnya orang-orang musyrik mengakui rububiyah
Allah, meskipun mereka menyekutukan-Nya dalam uluhiyah (penghambaan).
Allah berfirman, yang artinya:
<br />
<br /><i>“Katakanlah: “Kepunyaan siapakah bumi ini, dan semua yang ada
padanya, jika kamu mengetahui?” Mereka akan menjawab, “Kepunyaan Allah.”
Katakanlah: “Maka apakah kamu tidak ingat?” Katakanlah: “Siapakah Yang
Empunya langit yang tujuh dan Yang Empunya ‘Arsy yang besar?” Mereka
akan menjawab: “Kepunyaan Allah.” Katakanlah: ‘Apakah kamu tidak
bertaqwa?” Katakanlah: “Siapakah yang di tangan-Nya berada kekuasaan
atas segala sesuatu, sedang Dia melindungi, tetapi tidak ada yang dapat
dilindungi dari (adzab)-Nya, jika kamu mengetahui?” Mereka akan
menjawab: “Kepunyaan Allah.” Katakanlah: “(Kalau demikian), maka dari
jalan manakah kamu ditipu?”</i> (Al Mu’minuun 84-89)
<br />
<br /> <i>“Dan sungguh jika kamu bertanya kepada mereka: “Siapakah yang
menciptakan langit dan bumi?”, niscaya mereka akan menjawab, “Semuanya
diciptakan oleh Yang Mahaperkasa lagi Maha Mengetahui.”</i> (Az Zukhruf 9)
<br />
<br /> <i>“Dan sungguh jika kamu bertanya kepada mereka: “Siapakah yang
menciptakan mereka?”, niscaya mereka menjawab: “Allah”, maka
bagaimanakah mereka dapat dipalingkan (dari menyembah Allah)?”</i> (Az Zukhruf 87)
<br />
<br />Perintah Allah mencakup perintah alam semesta (kauni) dan perintah
syara’ (syar’i). Dia adalah pengatur alam, sekaligus sebagai pemutus
segala perkara, sesuai dengan tuntutan hikmah-Nya. Dia juga pemutus
peraturan-peraturan ibadah serta hukum-hukum muamalat sesuai dengan
tuntutan hikmah-Nya. Oleh karena itu barangsiapa menyekutukan Allah
dengan seorang pemutus ibadah atau pemutus muamalat, maka dia berarti
telah menyekutukan Allah serta tidak mengimani-Nya.
<br />
<br /><b>3.Mengimani Uluhiyah Allah</b>
<br />
<br />Artinya, benar-benar mengimani bahwa Dialah ilah yang benar dan satu-satunya, tidak ada sekutu bagi-Nya.
<br />
<br />Al-Ilah artinya “al-ma’luh”, yakni sesuatu yang disembah dengan penuh kecintaan serta pengagungan.
<br />
<br />Allah berfirman, yang artinya:
<br />
<br />“Dan Tuhanmu adalah Tuhan Yang Maha Esa; tidak ada Tuhan melainkan Dia. Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.” (Al Baqarah 163)
<br />
<br /> “Allah menyatakan bahwa tidak ada Tuhan (yang berhak disembah)
selain Dia yang menegakkan keadilan. Para malaikat dan orang-orang yang
berilmu (juga menyatakan demikian). Tidak ada Tuhan (yang berhak
disembah) selain Dia yang Mahaperkasa lagi Mahabijaksana.” (Al Imran 18)
<br />
<br />Allah berfirman tentang Lata, Uzza, dan Manat yang disebut sebagai Tuhan, namun tidak diberi hak uluhiyah:
<br />
<br />Allah Ta’ala berfirman, yang artinya:
<br />
<br /> “Itu tidak lain hanyalah nama-nama yang kamu dan bapak-bapak kamu
mengada-adakannya; Allah tidak menurunkan suatu keterangan pun untuk
(menyembah)nya…” (An Najm 23)
<br />
<br />Setiap sesuatu yang disembah selain Allah, uluhiyahnya adalah batil.
<br />
<br />Allah Ta’ala berfirman, yang artinya:
<br />
<br /> “(Kuasa Allah) yang demikian itu adalah karena sesungguhnya Allah,
Dialah (Tuhan) Yang Haq dan sesungguhnya apa saja yang mereka seru
selain dari Allah, itulah yang batil, dan sesungguhnya Allah, Dialah
Yang Mahatinggi lagi Mahabesar.” (Al Hajj 62)
<br />
<br />Allah juga berfirman tentang Nabi Yusuf yang berkata kepada dua
temannya di penjara, yang artinya: “Hai kedua temanku dalam penjara,
manakah yang baik, tuhan-tuhan yang bermacam-macam itu ataukah Allah
Yang Maha Esa lagi Mahaperkasa? Kamu tidak menyembah yang selain Allah,
kecuali hanya (menyembah) nama-nama yang kamu dan nenek moyangmu
membuat-buatnya. Allah tidak menurunkan suatu keterangan pun tentang
nama-nama itu…” (Yusuf 40)
<br />
<br />Oleh karena itu para rasul berkata kepada kaum-kaumnya:
<br /> “Sembahlah Allah oleh kamu sekalian, sekali-kali tidak ada Tuhan
selain daripada-Nya. Maka mengapa kamu tidak bertaqwa (kepada-Nya)?” (Al
Mu’minun 32)
<br />
<br />Orang-orang musyrik tetap saja mengingkarinya. Mereka masih saja
mengambil tuhan selain Allah. Mereka menyembah, meminta bantuan dan
pertolongan kepada tuhan-tuhan itu dengan menyekutukan Allah.
<br />
<br />Pengambilan tuhan-tuhan yang dilakukan orang-orang musyrik ini telah dibatalkan oleh Allah dengan dua bukti:
<br />
<br />a. Tuhan-tuhan yang diambil itu tidak mempunyai keistimewaan
uluhiyah sedikit pun, karena mereka adalah makhluk, tidak dapat
menciptakan, tidak dapat menarik kemanfaatan, tidak dapat menolak
bahaya, tidak memiliki hidup dan mati, tidak memiliki sedikit pun dari
langit dan tidak pula ikut memiliki keseluruhannya. Allah berfirman,
yang artinya:
<br />
<br /> “Mereka mengambil tuhan-tuhan selain daripada-Nya (untuk disembah),
yang tuhan-tuhan itu tidak menciptakan apa pun, bahkan mereka sendiri
diciptakan dan tidak kuasa untuk (menolak) sesuatu kemudharatan dari
dirinya dan tidak (pula untuk mengambil) sesuatu kemanfaatan pun dan
(juga) tidak kuasa mematikan, menghidupkan dan tidak (pula)
membangkitkan.” (Al Furqan 3)
<br />
<br /> “Katakanlah: “Serulah mereka yang kamu anggap (sebagai tuhan)
selain Allah. Mereka tidak memiliki (kekuasaan) seberat zarrah pun di
langit dan di bumi, dan mereka tidak mempunyai suatu saham pun dalam
(penciptaan) langit dan bumi, dan sekali-kali tidak ada di antara mereka
yang menjadi pembantu bagi-Nya. Dan tiadalah berguna syafaat di sisi
Allah, melainkan bagi orang yang telah diijinkan-Nya memperoleh
syafaat…” (Saba’ 22-23)
<br />
<br /> “Apakah mereka mempersekutukan Allah (dengan) berhala-berhala yang
tak dapat menciptakan sesuatu pun? Sedangkan berhala-berhala itu sendiri
buatan orang. Dan berhala-berhala itu tidak mampu memberi pertolongan
kepada penyembah-penyembahnya dan kepada dirinya sendiri pun
berhala-berhala itu tidak dapat memberi pertolongan.” (Al A’raaf
191-192)
<br />
<br />Kalau demikian keadaan tuhan-tuhan itu, maka sungguh sangat tolol
dan sangat batil bila menjadikan mereka sebagai ilah dan tempat meminta
pertolongan.
<br />
<br />b. Sebenarnya orang-orang musyrik mengakui bahwa Allah adalah
satu-satunya Rabb, Pencipta, yang ditangan-Nya kekuasaan segala sesuatu.
Mereka juga mengakui bahwa hanya Dialah yang dapat melindungi dan tidak
ada yang dapat melindungi-Nya. Ini mengharuskan pengesaan uluhiyah
(penghambaan), seperti mereka mengesakan rububiyah (ketuhanan) Allah.
<br />
<br />Allah Ta’ala berfirman:
<br />
<br /> “Hai manusia, sembahlah Rabbmu yang telah menciptakanmu dan
orang-orang yang sebelummu, agar kamu bertaqwa. Dialah yang menjadikan
bumi sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai atap. Dia menurunkan air
(hujan) dari langit, lalu Dia menghasilkan dengan hujan itu segala
buah-buahan sebagai rezeki untukmu; karena itu janganlah kamu mengadakan
sekutu-sekutu bagi Allah, padahal kamu mengetahui.” (Al Baqarah 21-22)
<br />
<br /> “Dan sungguh jika kamu bertanya kepada mereka: “Siapakah yang
menciptakan mereka?”, niscaya mereka menjawab: “Allah”. Maka
bagaimanakah mereka dapat dipalingkan (dari menyembah Allah)?” (Az
Zukhruf 87)
<br />
<br /> “Katakanlah: “Siapakah yang memberi rezeki kepadamu dari langit dan
bumi, atau siapakah yang kuasa (menciptakan) pendengaran dan
penglihatan, dan siapakah yang mengeluarkan yang hidup dari yang mati
dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup, dan siapakah yang mengatur
segala urusan?” Maka katakanlah: “Mengapa kamu tidak bertaqwa
(kepada-Nya)?” Maka (Zat yang demikian) itulah Allah Rabb kamu yang
sebenarnya. Tidak ada sesudah kebenaran itu, melainkan kesesatan. Maka
bagaimanakah kamu dipalingkan (dari kebenaran)?” (Yunus 31-32)
<br />
<br /><b>4.Mengimani Asma dan Sifat Allah</b>
<br />
<br />Iman kepada nama-nama dan sifat-sifat Allah yakni menetapkan
nama-nama dan sifat-sifat yang sudah ditetapkan Allah untuk diri-Nya
dalam kitab suci-Nya atau sunnah Rasul-Nya dengan cara yang sesuai
dengan kebesaran-Nya tanpa tahrif (penyelewengan), ta’thil
(penghapusan), takyif (menanyakan bagaimana?), dan tamsil
(menyerupakan).
<br />
<br />Allah berfirman, yang artinya:
<br />
<br /> “Allah mempunyai asmaaul husna, maka bermohonlah kepada-Nya dengan
menyebut asmaaul husna itu dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang
dari kebenaran dalam (menyebut) nama-nama-Nya. Nanti mereka akan
mendapat balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan.” (Al A’raaf
180)
<br />
<br /> “…Allah mempunyai sifat yang Mahatinggi; dan Dialah Yang Mahaperkasa lagi Mahabijaksana.” (An Nahl 60)
<br />
<br /> “…Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia, dan Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (Asy Syuura 11)
<br />
<br />Dalam perkara ini ada dua golongan yang tersesat, yaitu:
<br />
<br /><b>1. Golongan Mu’aththilah</b>, yaitu mereka yang mengingkari
nama-nama dan sifat-sifat Allah atau mengingkari sebagiannya saja.
Menurut perkiraan mereka, menetapkan nama-nama dan sifat itu kepada
Allah dapat menyebabkan tasybih (penyerupaan), yakni menyerupakan Allah
dengan makhluk-Nya.
<br />
<br />Pendapat ini jelas keliru karena:
<br />
<br />a. Sangkaan itu akan mengakibatkan hal-hal yang bathil atau salah,
karena Allah telah menetapkan untuk diri-Nya nama-nama dan sifat-sifat,
serta telah menafikan sesuatu yang serupa dengan-Nya. Andaikata
menetapkan nama-nama dan sifat-sifat itu menimbulkan adanya penyerupaan,
berarti ada pertentangan dalam kalam Allah serta sebagian firman-Nya
akan menyalahi sebagian yang lain.
<br />
<br />b. Kecocokan antara dua hal dalam nama dan sifatnya tidak
mengharuskan adanya persamaan. Anda melihat ada dua orang yang keduanya
manusia, mendengar, melihat, dan berbicara, tetapi tidak harus sama
dalam makna-makna kemanusiaannya, pendengarannya, penglihatannya, dan
pembicaraannya. Anda juga melihat beberapa binatang yang punya tangan,
kaki, dan mata, tetapi kecocokannya itu tidak mengharuskan tangan, kaki
dan mata mereka sama. Apabila antara makhluk-makhluk yang cocok dalam
nama atau sifatnya saja jelas memiliki perbedaan, maka tentu perbedaan
antara Khaliq (Pencipta) dan makhluk (yang diciptakan) akan lebih jelas
lagi.
<br />
<br /><b>2. Golongan Musyabbihah</b>, yaitu golongan yang menetapkan
nama-nama dan sifat-sifat, tetapi menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya.
Mereka mengira hal ini sesuai dengan nash-nash Al Qur’an, karena Allah
berbicara dengan hamba-Nya dengan sesuatu yang dapat dipahaminya.
Anggapan ini jelas keliru ditinjau dari beberapa hal, antara lain:
<br />
<br />a. Menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya jelas merupakan sesuatu
yang bathil, menurut akal maupun syara’. Padahal tidak mungkin nash-nash
kitab suci Al Qur’an atau Sunnah rasul menunjukkan pengertian yang
bathil.
<br />
<br />b. Allah Ta’ala berbicara dengan hamba-hamba-Nya dengan sesuatu yang
dapat dipahami dari segi asal maknanya. Hakikat makna sesuatu yang
berhubungan dengan zat dan sifat Allah adalah hal yang hanya diketahui
oleh Allah saja.
<br />
<br />Apabila Allah menetapkan untuk diri-Nya bahwa Dia Maha Mendengar,
maka pendengaran itu sudah maklum dari segi maknanya, yaitu menemukan
suara-suara. Tetapi hakikat hal itu dinisbatkan kepada pendengaran Allah
tidak maklum, karena hakikat pendengaran jelas berbeda, walau pada
makhluk sekali pun. Jadi perbedaan hakikat itu antara Pencipta dan yang
diciptakan jelas lebih jauh berbeda.
<br />
<br />Apabila Allah memberitahuan tentang diri-Nya bahwa Dia bersemayam di
atas Arsy-Nya, maka bersemayam dari segi asal maknanya sudah maklum,
tetapi hakikat bersemayamnya Allah itu tidak dapat diketahui.
<br />
<br /><b>Buah Iman kepada Allah:</b>
<br />
<br />1. Merealisasikan pengesaan Allah sehingga tidak menggantungkan
harapan kepada selain Allah, tidak takut kepada yang lain, dan tidak
menyembah kepada selain-Nya.
<br />
<br />2. Menyempurnakan kecintaan terhadap Allah, serta mengagungkan-Nya
sesuai dengan nama-nama-Nya yang indah dan sifat-sifat-Nya yang
mahatinggi.
<br />
<br />3. Merealisasikan ibadah kepada Allah dengan mengerjakan apa yang diperintah serta menjauhi apa yang dilarang-Nya. Samhttp://www.blogger.com/profile/02026223565972873713noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3776758012309185105.post-52092832765544899822012-10-27T02:41:00.001-07:002012-10-27T02:41:26.498-07:00PRINSIP AKIDAH ISLAMAqidah Islam dasarnya adalah iman kepada Allah, iman kepada
malaikat-Nya, iman kepada kitab-kitab-Nya, iman kepada para rasul-Nya,
iman kepada hari Akhir, dan iman kepada takdir yang baik dan yang buruk.
Dasar-dasar ini telah ditunjukkan oleh Kitabullah dan sunnah Rasul-Nya.
<br />
<br />Allah berfirman dalam kitab suci-Nya, yang artinya:
<br />
<br /> <i>“Bukankah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu
kebaktian, akan tetapi sesungguhnya kebaktian itu ialah beriman kepada
Allah, hari Kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi…”</i> (Al Baqarah 177)
<br />
<br />Dalam soal takdir, Allah berfirman, yang artinya:
<br />
<br /> “Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu menurut ukuran, dan
perintah Kami hanyalah satu perkataan seperti sekejap mata.” (Al Qomar
49-50)
<br />
<br />Nabi juga bersabda dalam sunnahnya sebagai jawaban terhadap malaikat Jibril ketika bertanya tentang iman:
<br />
<br />اْلإِيْمَانُ أَنْ تُؤْمِنَ بِاللهِ وَمَلاَئِكَتِهِ وَكُتُبِهِ
وَرُسُلِهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ وَتُؤْمِنَ بِالْقَدَرِ خَيْرِهِ
وَشَرِّهِ.
<br />
<br /> <i>“Iman adalah engkau mengimani Allah, para malaikat-Nya,
kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, hari Kemudian, dan mengimani takdir
yang baik dan yang buruk.”</i> (HR. Muslim).
Samhttp://www.blogger.com/profile/02026223565972873713noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3776758012309185105.post-44061774541306253522012-10-27T02:39:00.004-07:002012-10-27T02:39:58.667-07:00RUKUN ISLAM <div align="justify">
Islam didirikan atas lima dasar, sebagaimana yang tersebut dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar:</div>
<div align="justify" dir="rtl">
بُنِيَ
اْلإِسْلاَمُ عَلَى خَمْسٍ؛ شَهَادَةُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ
وَأَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ، وَإِقَامِ الصَّلاَةِ
<br />وَإِيْتَاءِ الزَّكَاةِ وَصِيَامِ رَمَضَانَ وَالْحَجِّ.</div>
<div align="justify">
<i>“Islam
didirikan atas lima dasar, yakni: (1) Bersaksi bahwa tiada Tuhan yang
berhak disembah selain Allah, dan Muhammad adalah hamba dan rasul-Nya;
(2) mendirikan shalat; (3) mengeluarkan zakat; (4) puasa Ramadhan; dan
(5) beribadah haji.”</i> (HR. Al Bukhari dan Muslim)
<br />
<br />1. Kesaksian tiada Tuhan yang berhak disembah selain Allah dan
Muhammad adalah hamba serta rasul-Nya merupakan keyakinan yang mantap,
yang diekspresikan dengan lisan. Dengan kemantapannya itu seakanakan
dapat menyaksikan-Nya.
<br />
<br />Syahadah (kesaksian) merupakan satu rukun padahal yang disaksikan
itu ada dua hal, ini dikarenakan Rasul n adalah mubaligh (penyampai)
sesuatu dari Allah. Jadi, kesaksian bahwa Muhammad adalah hamba dan
utusan Allah merupakan kesempurnaan kesaksian: “Tiada Tuhan yang berhak
disembah selain Allah.”
<br />
<br />Atau, karena kesaksian (syahadatain) itu merupakan dasar sah dan
diterimanya semua amal. Amal tidak sah dan tidak akan diterima bila
tidak dilakukan dengan keikhlasan terhadap Allah dan dengan tidak
mengikuti manhaj Rasul-Nya n. Ikhlas kepada Allah terealisasi pada
kesaksian “Tiada Tuhan yang berhak disembah selain Allah.” Mengikuti
Rasulullah terealisasi pada kesaksian “bahwa Muhammad adalah hamba dan
utusan-Nya.”
<br />
<br />Buah syahadat (kesaksian) yang terbesar ialah membebaskan hati dan
jiwa dari penghambaan terhadap makhluk serta tidak mengikuti selain para
rasul-Nya.
<br />
<br />2. Mendirikan shalat artinya menyembah Allah dengan mengerjakan
shalat secara istiqamah serta sempurna, baik waktu maupun caranya.
<br />
<br />Salah satu buah atau hikmah shalat adalah mendapat kelapangan dada,
ketenangan hati, dan menjauhkan diri dari perbuatan keji dan mungkar.
<br />
<br />3. Mengeluarkan zakat artinya, menyembah Allah dengan menyerahkan
kadar yang wajib dari harta-harta yang harus dikeluarkan zakatnya. Salah
satu buah atau hikmah mengeluarkan zakat adalah membersihkan jiwa dan
moral yang buruk, yaitu kekikiran serta dapat menutupi kebutuhan Islam
dan umat Islam.
<br />
<br />4. Puasa Ramadhan artinya menyembah Allah dengan cara meninggalkan
hal-hal yang dapat membatalkannya di siang hari di bulan Ramadhan. Salah
satu hikmahnya ialah melatih jiwa untuk meninggalkan hal-hal yang
disukai karena mencari ridha Allah.
<br />
<br />5. Naik haji ke Baitullah (rumah Allah), artinya menyembah Allah
dengan menuju ke Al Baitul Haram (rumah suci) untuk mengerjakan syiar
atau manasik haji.
<br />
<br />Salah satu hikmahnya adalah melatih jiwa untuk mengerahkan segala
kemampuan harta dan jiwa agar tetap taat kepada Allah. Oleh karena itu
haji merupakan salah satu macam jihad fi sabilillah.
<br />
<br />Hikmah-hikmah rukun Islam, baik yang sudah kami sebutkan maupun yang
belum kami sebutkan akan dapat menjadikan umat sebagai umat yang suci,
bersih, beragama yang benar, dan memperlakukan manusia dengan penuh
keadilan serta kejujuran. Kebaikan syariat-syariat Islam yang lain
tergantung pada kebaikan dasar-dasar ini. Kebaikan umat pun tergantung
pada kebaikan agamanya, dan hilangnya kebaikan tingkah laku umat pun
akan tergantung pada kadar hilangnya kebaikan agamanya.
<br />
<br />Bagi yang ingin mengetahui penjelasan hal ini, silakan menyimak firman Allah, yang artinya:
<br />
<br /> <i>“Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertaqwa,
pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan
bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa
mereka disebabkan perbuatannya. Maka apakah penduduk negeri-negeri itu
merasa aman dari kedatangan siksaan Kami kepada mereka di malam hari di
waktu mereka sedang tidur? Atau apakah penduduk negeri-negeri itu merasa
aman dari kedatangan siksaan Kami kepada mereka di waktu matahari
sepenggalahan naik ketika mereka sedang bermain? Maka apakah mereka
merasa aman dari adzab Allah (yang tidak terduga-duga)? Tiadalah yang
merasa aman dari adzab Allah, kecuali orang-orang yang merugi.”</i> (Al A’raf 96-99)
<br />
<br />Untuk lebih jelasnya hendaklah Anda pelajari sejarah orang-orang
terdahulu kita, karena dalam sejarah terdapat pelajaran bagi orang-orang
yang berakal dan bagi orang yang hatinya “bersih” (tidak ada hijab yang
menutupi hatinya). </div>
Samhttp://www.blogger.com/profile/02026223565972873713noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3776758012309185105.post-90060632630024545482012-10-27T02:37:00.001-07:002012-10-27T02:37:45.670-07:00AGAMA ISLAMAgama Islam adalah agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad n. Dengan
Islam Allah mengakhiri serta menyempurnakan agama-agama lain untuk para
hamba-Nya. Dengan Islam pula, Allah menyempurnakan kenikmatan-Nya dan
meridhai Islam sebagai dien-Nya. Oleh karena itu tidak ada lain yang
patut diterima, selain Islam.
<br />
<br />Allah berfirman, yang artinya:
<br />
<br /> <i>“Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki
di antara kamu, tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi…”</i> (Al Ahzab 19)
<br />
<br /> <i>“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah
Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Kuridhai Islam itu jadi agama
bagimu…”</i> (Al Maidah 3)
<br />
<br /><i> “Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam.”</i> (Al Imran 19)
<br />
<br /> <i>“Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali
tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat
termasuk orang-orang yang rugi.”</i> (Al Imran 85)
<br />
<br />Allah telah mewajibkan seluruh umat manusia agar memeluk agama
Islam karena Allah. Hal ini sebagaimana telah difirmankan-Nya kepada
Rasul-Nya:
<br />
<br /> <i>“Katakanlah: Hai manusia, sesungguhnya aku adalah utusan Allah
kepadamu semua, yaitu Allah Yang mempunyai kerajaan langit dan bumi.
Tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia, Yang menghidupkan dan
mematikan. Maka berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya, Nabi yang
ummi yang beriman kepada Allah dan kepada kalimat-kalimat-Nya
(kitab-kitab-Nya) dan ikutilah dia, supaya kamu mendapat petunjuk.”</i> (Al A’raf 158)
<br />
<br />Dari Abu Hurairah dikatakan bahwa Rasulullah bersabda:
<br />
<br />وَالَّذِيْ نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ، لاَ يَسْمَعُ بِيْ أَحَدٌ مِنْ
هَذِهِ اْلأُمَّةِ يَهُوْدِيٌّ أَوْ نَصْرَانِيٌّ ثُمَّ يَمُوْتُ وَلَمْ
<br />يُؤْمِنْ بِالَّذِيْ أُرْسِلْتُ بِهِ إِلاَّ كَانَ مِنْ أَصْحَابِ النَّارِ.
<br />
<br /><i>“Demi Tuhan yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya, tidak
seorang pun dari umat ini, Yahudi maupun Nasrani, yang mendengar tentang
aku, kemudian mati tidak mengimani sesuatu yang aku diutus karenanya
kecuali dia termasuk penghuni Neraka.”</i> (HR. Muslim)
<br />
<br />Mengimani Nabi SAW artinya, membenarkan dengan penuh penerimaan dan
kepatuhan terhadap segala yang dibawanya, bukan hanya membenarkan
semata. Oleh karena itulah Abu Thalib (paman Nabi) dikatakan bukan orang
yang mengimani Nabi, walaupun ia membenarkan apa yang dibawa oleh
keponakannya itu dan dia juga mengakui bahwa Islam adalah agama terbaik.
<br />
<br />Agama Islam mencakup seluruh kemaslahatan yang dikandung oleh
agama-agama terdahulu. Islam mempunyai keistimewaan, yaitu relevan untuk
setiap masa, tempat, dan umat.
<br />
<br />Allah berfirman kepada Rasul-Nya:
<br />
<br /><i> “Dan Kami telah turunkan kepadamu Al Qur’an dengan membawa
kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang
diturunkan sebelumnya) dan batu ujian terhadap kitab-kitab yang lain
itu…”</i> (Al Maidah 48)
<br />
<br />Islam dikatakan relevan untuk setiap masa, tempat dan umat,
maksudnya adalah bahwa berpegang teguh pada Islam tidak akan
menghilangkan kemaslahatan umat di setiap waktu dan tempat. Bahkan
dengan Islam, umat akan menjadi baik. Tetapi bukan berarti Islam tunduk
pada waktu, tempat dan umat, seperti yang dikehendaki sebagian orang.
<br />
<br />Agama Islam adalah agama yang benar. Allah menjamin kemenangan
kepada orang yang memegangnya dengan baik. Hal ini dikatakan-Nya dalam
firman-Nya, yang artinya:
<br />
<br /> “Dialah yang telah mengutus Rasul-Nya (dengan membawa) petunjuk (Al
Qur’an) dan agama yang benar untuk dimenangkan-Nya atas segala agama,
walaupun orang-orang musyrik tidak menyukai.” (At Taubah 33)
<br />
<br /><i> “Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di
antara kamu dan mengerjakan amalan-amalan yang shalih bahwa Dia
sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia
telah menjadikan orang-orang yang sebelum mereka berkuasa. Dan sungguh
Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk
mereka dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka sesudah mereka
berada dalam ketakutan menjadi aman sentosa. Mereka tetap menyembahKu
dengan tiada mempersekutukan sesuatu apa pun dengan Aku. Barangsiapa
yang (tetap) kafir sesudah (janji itu), maka mereka itulah orang-orang
yang fasik.”</i> (An Nuur 55)
<br />
<br />Agama Islam merupakan aqidah dan syariat. Islam adalah agama yang sempurna dalam aqidah dan syariat, karena:
<br />
<br />1. Memerintahkan bertauhid dan melarang syirik.
<br />
<br />2. Memerintahkan bersikap jujur dan melarang berbuat bohong/dusta.
<br />
<br />3. Memerintahkan berbuat adil dan melarang perbuatan lalim.
<br />
<br /> <b>Catatan:</b>
<br />
<br /> Adil artinya menyamakan yang sama dan membedakan yang berbeda,
bukan persamaan secara mutlak seperti yang dikatakan sebagian orang yang
mengatakan bahwa Islam adalah agama persamaan yang mutlak. Menyamakan
hal-hal yang berbeda merupakan kelaliman yang tidak dianjurkan oleh
Islam, dan pelakunya pun tidak terpuji.
<br />
<br />4. Memerintahkan untuk bersikap amanat dan melarang khianat.
<br />
<br />5. Memerintahkan untuk menepati janji dan melarang ingkar janji.
<br />
<br />6. Memerintahkan berbakti kepada ibu-bapak serta melarang menyakitinya.
<br />
<br />7. Memerintahkan bersilaturahmi/menyambung hubungan dengan kerabat dekat, serta melarang memutuskannya.
<br />
<br />8. Memerintahkan berbuat baik dengan tetangga melarang berbuat jahat kepada mereka.
<br />
<br />Secara umum Islam memerintahkan agar bermoral baik dan melarang
bermoral buruk. Islam juga memerintahkan setiap perbuatan baik, dan
melarang perbuatan yang buruk.
<br />
<br />Allah berfirman:
<br />
<br /><i> “Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat
kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari
perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran
kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.”</i> (An Nahl 90) Samhttp://www.blogger.com/profile/02026223565972873713noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3776758012309185105.post-62664175410349193152012-10-27T02:24:00.001-07:002012-10-27T02:24:19.573-07:00PENDAHULUAN Segala puji bagi Allah. Kami memuji-Nya, memohon pertolongan-Nya,
memohon ampunan-Nya, serta bertobat kepada-Nya. Kami berlindung kepada
Allah dari kejahatan-kejahatan diri serta perbuatan-perbuatan buruk
kami. Barangsiapa telah diberi petunjuk oleh Allah, maka tidak ada satu
pun yang dapat menyesatkan-Nya, dan barangsiapa yang disesatkan Allah,
tidak ada satu pun yang dapat menunjukinya. Aku bersaksi, tidak ada
Tuhan selain Allah yang Esa, tiada sekutu bagi-Nya. Aku bersaksi bahwa
Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya. Selamat sejahtera semoga melimpah
kepadanya, kepada keluarganya, para sahabatnya, dan para pengikutnya.
<br />
<br />Ilmu tauhid adalah ilmu yang paling mulia dan paling agung
kedudukannya. Setiap muslim wajib mempelajari, mengetahui dan memahami
ilmu tersebut, karena merupakan ilmu tentang Allah, tentang
asma-asma-Nya, sifat-sifat-Nya, dan hak-hak-Nya atas semua hamba-Nya.
<br />
<br />Ilmu tauhid juga merupakan kunci jalan menuju Allah serta dasar
syariat-Nya. Oleh karena itu para rasul bersepakat untuk mendakwahkannya
kepada seluruh umat manusia.
<br />
<br />Allah berfirman:
<br />
<br /> <i>“Dan kami tidak mengutus seorang rasul pun sebelum kamu,
melainkan Kami wahyukan kepadanya: “Bahwasanya tidak ada Tuhan (yang
berhak disembah) melainkan Aku, maka sembahlah olehmu sekalian akan
Aku.”</i> (Al Anbiyaa 25)
<br />
<br />Allah menyaksikan keesaan pada diri-Nya. Demikian juga para malaikat dan ahli ilmu.
<br />Allah berfirman, yang artinya:
<br />
<br /><i> “Allah menyatakan bahwasanya tidak ada Tuhan (yang berhak
disembah) melainkan Dia, Yang menegakkan keadilan. Para malaikat dan
orang-orang yang berilmu (juga menyatakan yang demikian itu). Tak ada
Tuhan melainkan Dia, Yang Maha Perkasa lagi Maha bijaksana.”</i> (Al Imran 18)
<br />
<br />Jika ilmu tauhid sedemikian pentingnya, maka setiap muslim tentu
wajib memperhatikannya dengan mempelajari dan mengajarkan, dengan
berpikir dan beritikad agar dapat mendirikan dienullah di atas dasar
yang benar, serta untuk menenangkan jiwa dan mendapatkan kebahagiaan
sebagai buah dan hasilnya. Samhttp://www.blogger.com/profile/02026223565972873713noreply@blogger.com0