Pages

Jejalur

Seek knowledge from the cradle to the grave.

Jejalur

Seek knowledge from the cradle to the grave.

Jejalur

Seek knowledge from the cradle to the grave.

Jejalur

Seek knowledge from the cradle to the grave.

Jejalur

Seek knowledge from the cradle to the grave.

Sunday, June 29, 2014

Salman AL Farisi - Pencari kebenaran

Ia datang dari tanah Persia, tempat di mana Islam dianut oleh orang-orang Mukmin yang tidak sedikit jumlahnya sepeninggalnya. Dari kalangan mereka muncul pribadi-pribadi istimewa yang tiada taranya, baik dalam bidang ilmu pengetahuan keagamaan, maupun keduniaan.
 Dan memang, salah satu dari keistimewaan dan kebesaran Islam ialah, setiap ia memasuki suatu negeri dari negeri-negeri Allah, maka dengan keajaiban luar biasa dibangkitkannya setiap keahlian, digerakkannya segala kemampuan.
 Salman RA sendiri turut menyaksikan hal tersebut, karena ia memang terlibat dan mempunyai hubungan erat dengan kejadian itu. Peristiwa itu terjadi waktu Perang Khandaq, yaitu pada tahun ke-5 Hijrah. Beberapa orang pemuka Yahudi pergi ke Makkah.
 Mereka bertujuan menghasut orang-orang musyrik dan golongan-golongan kuffar agar bersekutu menghadapi Rasulullah SAW dan kaum Muslimin. Mereka juga berjanji akan memberikan bantuan dalam perang penentuan yang akan menumbangkan serta mencabut urat akar agama baru ini.
 Siasat dan taktik perang pun diaturlah secara licik, bahwa tentara Quraisy dan Ghatafan akan menyerang Kota Madinah dari luar, sementara Bani Quraidzah (Yahudi) akan menyerangnya dari dalam, yaitu dari belakang barisan kaum Muslimim. Sehingga mereka akan terjepit dari dua arah, karenanya mereka akan hancur lumat dan hanya tinggal nama belaka.
 Demikianlah pada suatu hari, kaum Muslimin tiba-tiba melihat datangnya pasukan tentara yang besar mendekati Kota Madinah, membawa perbekalan banyak dan persenjataan lengkap untuk menghancurkan. Kaum Muslimin panik dan mereka bagaikan kehilangan akal melihat hal yang tidak diduga-duga itu.
 Sebanyak 24.000 orang prajurit di bawah pimpinan Abu Sufyan dan Uyainah bin Hisyam menghampiri Kota Madinah dengan maksud hendak mengepung dan melepaskan pukulan menentukan yang akan menghabisi Nabi Muhammad SAW serta para sahabatnya.
 Kaum Muslimin menginsafi keadaan mereka yang gawat ini, Rasulullah SAW pun mengumpulkan para sahabatnya untuk bermusyawarah. Dan tentu saja mereka semua setuju untuk bertahan dan mengangkat senjata, tetapi apa yang harus mereka lakukan untuk bertahan itu?
 Ketika itulah tampil seorang yang tinggi jangkung dan berambut lebat, seorang yang disayangi dan amat dihormati oleh Rasulullah SAW. Itulah dia Salman Al-Farisi RA. Dari tempat ketinggian ia melayangkan pandang meninjau sekitar Madinah.
 Dan sebagai telah dikenalnya juga didapatinya kota itu dilingkupi gunung dan bukit-bukit batu yang tak ubahnya benteng juga. Hanya saja, di sana terdapat pula daerah terbuka, luas dan terbentang panjang. Hingga dengan mudah akan dapat diserbu musuh untuk memasuki benteng pertahanan.
Di negeri Persi, Salman RA telah mempunyai pengalaman luas tentang teknik dan sarana perang, begitu pun tentang siasat dan liku-likunya.
 Maka tampillah ia mengajukan usul kepada Rasulullah SAW, yaitu suatu rencana yang belum pernah dikenal oleh orang-orang Arab dalam peperangan mereka selama ini.
 Rencana itu berupa penggalian khandaq atau parit perlindungan sepanjang daerah terbuka keliling kota. Dan hanya Allah yang lebih mengetahui apa yang akan dialami Kaum Muslimin dalam peperangan itu seandainya mereka tidak menggali parit atau usul Salman tersebut.
 Begitu Quraisy menyaksikan parit terbentang di hadapan, mereka merasa terpukul melihat hal yang tidak disangka-sangka itu. Hingga tidak kurang sebulan lamanya kekuatan mereka bagai terpaku di kemah-kemah karena tidak berdaya menerobos kota.
 Pada suatu malam, Allah SWT mengirim angin topan yang menerbangkan kemah-kemah dan memporak-porandakan tentara mereka. Abu Sufyan pun menyerukan kepada anak buahnya agar kembali pulang ke kampung mereka dalam keadaan kecewa dan berputus asa serta menderita kekalahan pahit.
 Sewaktu menggali parit, Salman tidak ketinggalan bekerja bersama kaum Muslimin yang sibuk menggali tanah. Juga Rasulullah SAW ikut membawa tembilang dan membelah batu. Kebetulan di tempat penggalian Salman bersama kawan-kawannya, tembilang mereka terbentur pada sebuah batu besar.
 Salman, seorang yang berperawakan kukuh dan bertenaga besar. Sekali ayun dari lengannya yang kuat akan dapat membelah batu dan memecahnya menjadi pecahan-pecahan kecil. Tetapi menghadapi batu besar ini ia tak berdaya, sedang bantuan dari teman-temannya hanya menghasilkan kegagalan belaka.
 Salman pergi mendapatkan Rasulullah SAW dan minta izin mengalihkan jalur parit dari garis semula, untuk menghindari batu besar yang tak tergoyahkan itu. Rasulullah pun pergi bersama Salman untuk melihat sendiri keadaan tempat dan batu besar tadi.
 Setelah menyaksikannya, Rasulullah SAW meminta sebuah tembilang dan menyuruh para sahabat mundur dan menghindarkan diri dari pecahan-pecahan batu itu nanti. Rasulullah lalu membaca basmalah dan mengangkat kedua tangannya yang sedang memegang erat tembilang itu, dan dengan sekuat tenaga dihunjamkannya ke batu besar itu. Kiranya batu itu terbelah dan dari celah belahannya yang besar keluar lambaian api yang tinggi dan menerangi.
Salman sedang duduk di bawah naungan sebatang pohon yang rindang berdaun rimbun, di muka rumahnya di Kota Madain, sedang menceriterakan kepada sahabat-sahabatnya perjuangan berat yang dialaminya demi mencari kebenaran.

Ia mengisahkan kepada mereka bagaimana ia meninggalkan agama nenek moyangnya bangsa Parsi masuk ke dalam agama Nasrani dan dari sana pindah ke dalam agama Islam.
 Betapa ia telah meninggalkan kekayaan berlimpah dari orang tuanya dan menjatuhkan dirinya ke dalam lembah kemiskinan demi kebebasan pikiran dan jiwanya.
 Betapa ia dijual di pasar budak dalam mencari kebenaran itu, bagaimana ia berjumpa dengan Rasulullah SAW dan iman kepadanya. Marilah kita dekati majlisnya yang mulia dan kita dengarkan kisah menakjubkan yang diceriterakannya.
 “Aku berasal dari Isfahan, warga suatu desa yang bernama “Ji”. Bapakku seorang bupati di daerah itu, dan aku merupakan makhluk Allah yang paling disayanginya. Aku membaktikan diri dalam agama Majusi, hingga diserahi tugas sebagai penjaga api yang bertanggung jawab atas nyalanya dan tidak membiarkannya padam.
 Bapakku memiliki sebidang tanah, dan pada suatu hari aku disuruh­nya ke sana. Dalam perjalanan ke tempat tujuan, aku lewat di sebuah gereja milik kaum Nasrani. Kudengar mereka sedang sembahyang, maka aku masuk ke dalam untuk melihat apa yang mereka lakukan.
 Aku kagum melihat cara mereka sembahyang, dan kataku dalam hati, ‘Ini lebih baik dari apa yang aku anut selama ini!’ Aku tidak beranjak dari tempat itu sampai matahari terbenam, dan tidak jadi pergi ke tanah milik bapakku serta tidak pula kembali pulang. Hingga bapak mengirim orang untuk menyusulku.
 Karena agama mereka menarik perhatianku, kutanyakan kepada orang-orang Nasrani dari mana asal-usul agama mereka. ‘Dari Syria,’ ujar Mereka.
 Ketika telah berada di hadapan bapakku, kukatakan kepadanya, ‘Aku lewat pada suatu kaum yang sedang melakukan upacara sembahyang di gereja. Upacara mereka amat mengagumkanku. Kulihat pula agama mereka lebih baik dari agama kita.’ Aku pun berdiskusi dengan bapakku dan berakhir dengan dirantainya kakiku dan dipenjarakannya diriku.

Kepada orang-orang Nasrani kukirim berita bahwa aku telah menganut agama mereka. Kuminta pula agar bila datang rombongan dari Syiria, supaya aku diberi tahu sebelum mereka kembali, karena aku akan ikut bersama mereka ke sana.
 Permintaanku itu mereka kabulkan, maka kuputuskan rantai, lalu meloloskan diri dari penjara dan menggabungkan diri kepada rombongan itu menuju Syria (Suriah).”
“Lalu tatkala ia wafat, aku pun berangkat ke Mosul dan menghubungi pendeta yang disebutkannya itu. Kuceriterakan kepadanya pesan dari uskup tadi dan aku tinggal bersamanya selama waktu yang dikehendaki Allah.
 Kemudian tatkala ajalnya telah dekat pula, kutanyakan kepadanya siapa yang harus kuturuti. Ditunjukkannyalah orang saleh yang tinggal di Nasibin. Aku datang kepadanya dan kuceriterakan perihalku, lalu tinggal bersamanya selama waktu yang dikehendaki Allah pula.
 Tatkala ia hendak meninggal, kubertanya pula kepadanya. Maka disuruhnya aku menghubungi seorang pemimpin yang tinggal di Amuria, suatu kota yang termasuk wilayah Romawi.
 Aku berangkat ke sana dan tinggal bersamanya, sedang sebagai bekal hidup aku berternak sapi dan kambing beberapa ekor banyaknya.
 Tak lama kemudian dekatlah pula ajalnya dan kutanyakan padanya kepada siapa aku dipercayakannya. Katanya, ‘Anakku, tak seorang pun yang kukenal serupa dengan kita keadaannya dan dapat kupercayakan engkau padanya.
 Tetapi sekarang telah dekat datangnya masa kebangkitan seorang Nabi yang mengikuti agama Ibrahim secara murni. Ia nanti akan hijrah he suatu tempat yang ditumbuhi kurma dan terletak di antara dua bidang tanah berbatu-batu kitam.
 Seandainya kamu dapat pergi ke sana, temuilah dia. Ia mempunyai tanda-tanda yang jelas dan gamblang: ia tidak mau makan sedekah, sebaliknya bersedia menerima hadiah dan di pundaknya ada cap kenabian yang bila kau melihatnya, segeralah kau mengenalinya.’
 Kebetulan pada suatu hari lewatlah suatu rombongan berkendaraan, lalu kutanyakan dari mana mereka datang. Tahulah aku bahwa mereka dari jazirah Arab, maka kataku kepada mereka, ‘Maukah kalian membawaku ke negeri kalian, dan sebagai imbalannya kuberikan kepada kalian sapi-sapi dan kambing-kambingku ini?’
 ‘Baiklah,’ ujar Mereka.

Demikianlah, mereka membawaku serta dalam perjalanan hingga sampai di suatu negeri yang bernama Wadil Qura. Di sana aku mengalami penganiayaan, mereka menjualku kepada seorang Yahudi.
 Ketika tampak olehku banyak pohon kurma, aku berharap kiranya negeri ini yang disebutkan pendeta kepadaku dulu, yakni yang akan menjadi tempat hijrah Nabi yang ditunggu. Ternyata dugaanku meleset.
 Mulai saat itu, aku tinggal bersama orang yang membeliku, hingga pada suatu hari datang seorang Yahudi Bani Quraizhah yang membeliku pula daripadanya. Aku dibawanya ke Madinah. Dan demi Allah, baru saja kulihat negeri itu, aku pun yakin itulah negeri yang disebutkan dulu.
 Aku tinggal bersama Yahudi itu dan bekerja di perkebunan kurma milik Bani Quraizhah, hingga datang saat dibangkitkannya Rasulullah SAW yang datang ke Madinah dan singgah pada Bani Amr bin Auf di Quba.”
“Aku tinggal bersama Yahudi itu dan bekerja di perkebunan kurma milik Bani Quraizhah, hingga datang saat dibangkitkannya Rasulullah SAW yang datang ke Madinah dan singgah pada Bani Amr bin Auf di Quba.
 Pada suatu hari, ketika aku berada di puncak pohon kurma sedang majikanku sedang duduk dibawahnya, tiba-tiba datang seorang Yahudi seudara sepupunya yang mengatakan kepadanya, ‘Bani Qilah celaka!’
 Mereka berkerumun mengelilingi seorang laki-laki di Quba yang datang dari Makkah dan mengaku sebagai Nabi. Demi Allah, baru saja ia mengucapkan kata-kata itu, tubuhku pun bergetar keras hingga pohon kurma itu bagai bergoncang dan hampir saja aku jatuh menimpa majikanku.
 Aku segera turun dan kataku kepada orang tadi, ‘Apa kata Anda? Ada berita apakah?’
 Majikanku mengangkat tangan lalu meninjuku sekuatnya, serta bentaknya, ‘Apa urusanmu dengan ini, ayo kembali ke pekerjaanmu!’ Maka aku pun kembalilah bekerja.
 Setelah hari petang, kukumpulkan segala yang ada padaku, lalu keluar dan pergi menemui Rasulullah SAW di Quba. Aku mendatanginya ketika beliau sedang duduk bersama beberapa orang anggota rombongan.
 Kukatakan kepadanya, ‘Tuan-tuan adalah perantau yang sedang dalam kebutuhan. Kebetulan aku mempunyai persediaan makanan yang telah kujanjikan untuk sedekah. Dan setelah mendengar keadaan Tuan-tuan, maka menurut hematku, Tuan-tuanlah yang lebih layak menerimanya, dan makanan itu kubawa ke sini.’ Lalu makanan itu kutaruh di hadapannya.
 ‘Makanlah dengan nama Allah!’ sabda Rasulullah SAW kepada para sahabatnya, tetapi beliau tak sedikit pun mengulurkan tangannya menjamah makanan itu. ‘Nah, demi Allah!’kataku dalam hati, ‘Inilah satu dari tanda-tandanya, bahwa ia tak mau memakan harta sedekah.’
 Aku kembali pulang, tetapi pagi-pagi keesokan harinya aku kembali menemui Rasulullah SAW  sambil membawa makanan, serta kataku kepadanya, ‘Kulihat Tuan tidak ingin makan sedekah, tetapi aku mempunyai sesuatu yang ingin kuserahkan kepada Tuan sebagai hadiah.’
 Lalu kutaruh makanan di hadapannya. Maka sabdanya kepada sahabatnya, ‘Makanlah dengan menyebut nama Allah!’ Dan beliau pun turut makan bersama mereka. ‘Demi Allah, kataku dalam hati, inilah tanda yang kedua, bahwa ia bersedia menerima hadiah.’
 Aku kembali pulang dan tinggal di tempatku beberapa lama. Kemudian kupergi mencari Rasulullah SAW dan kutemui beliau di Baqi sedang mengiringkan jenazah dan dikelilingi oleh sahabat- sahabatnya. Ia memakai dua lembar kain lebar, yang satu dipakainya untuk sarung dan yang satu lagi sebagai baju.
 Kuucapkan salam kepadanya dan kutolehkan pandangan hendak melihatnya. Rupanya ia mengerti akan maksudku, maka disingkapkannya kain burdah dari lehernya hingga nampak pada pundaknya tanda yang kucari, yaitu cap kenabian sebagai disebutkan oleh pendeta dulu.
 Melihat itu aku meratap dan menciuminya sambil menangis. Lalu aku dipanggil menghadap oleh Rasulullah. Aku duduk di hadapannya, lalu kuceriterakan kisahku kepadanya sebagai yang telah kuceriterakan tadi.
 Kemudian aku masuk Islam, dan perbudakan menjadi penghalang bagiku untuk menyertai Perang Badar dan Uhud. Lalu pada suatu hari Rasulullah menitahkan padaku, ‘Mintalah pada majikanmu agar ia bersedia membebaskanmu dengan menerima uang tebusan.’
 Maka kumintalah kepada majikanku sebagaimana dititahkan Rasulullah, sementara Rasulullah menyuruh para sahabat untuk membantuku dalam soal keuangan. Demikianlah, aku dimerdekakan oleh Allah, dan hidup sebagai seorang Muslim yang bebas merdeka, serta mengambil bagian bersama Rasulullah dalam Perang Khandaq dan peperangan lainnya."
Sungguh, keislaman Salman Al-Farisi RA adalah keislaman orang-orang utama dan takwa. Dan dalam kecerdasan, kesahajaan dan kebebasan dari pengaruh dunia, maka keadaannya mirip sekali dengan Umar bin Khathab.
 Ia pernah tinggal bersama Abu Darda di sebuah rumah beberapa hari lamanya. Sedang kebiasaan Abu Darda beribadah di waktu malam dan shaum di waktu siang. Salman melarangnya berlebih-lebihan dalam beribadah seperti itu.
 Pada suatu hari, Salman bermaksud hendak mematahkan niat Abu Darda untuk shaum sunah esok hari. Dia menyalahkannya, “Apakah engkau hendak melarangku shaum dan shalat karena Allah?” kata Abu Darda.
 Salman menjawab, “Sesungguhnya kedua matamu mempunyai hak atas dirimu, demikian pula keluargamu mempunyai hak atas dirimu. Di samping engkau shaum, berbukalah dan di samping melakukan shalat, tidurlah!”
 Peristiwa itu sampai ke telinga Rasulullah SAW. Beliau bersabda, “Sungguh Salman telah dipenuhi dengan ilmu.”
 Rasulullah SAW sendiri sering memuji kecerdasan Salman serta ketinggian ilmunya, sebagaimana beliau memuji agama dan budi pekertinya yang luhur. Di waktu Perang Khandaq, kaum Anshar sama-sama berdiri dan berkata, “Salman dari golongan kami.”

Bangkitlah pula kaum Muhajirin, kata mereka, “Tidak, ia dari golongan kami!”
 Mereka pun dipanggil oleh Rasulullah SAW, dan sabdanya, “Salman adalah golongan kami, Ahlul Bait.”
 Dan memang selayaknyalah jika Salman RA mendapat kehormatan seperti itu. Ali bin Abi Thalib RA menggelari Salman dengan “Luqmanul Hakim”. Dan sewaktu ditanya mengenai Salman, yang ketika itu telah wafat, maka jawabnya, “Ia adalah seorang yang datang dari kami dan kembali kepada kami, Ahlul Bait.”
 “Siapa pula di antara kalian yang akan dapat menyamai Luqmanul Hakim. Ia telah beroleh ilmu yang pertama begitu pula ilmu yang terakhir. Dan telah dibacanya kitab yang pertama dan juga kitab yang terakhir. Tak ubahnya ia bagai lautan yang airnya tak pernah kering,” lanjut Ali.
 Dalam kalbu para sahabat umumnya, pribadi Salman Al-Farisi telah mendapat kedudukan mulia dan derajat utama. Di masa pemerintahan Khalifah Umar RA, ia datang berkunjung ke Madinah. Maka Umar melakukan penyambutan yang setahu kita belum pernah dilakukannya kepada siapa pun juga.
 Dikumpulkannya para sahabat dan mengajak mereka, “Marilah kita pergi menyambut Salman!” Lalu Umar keluar bersama mereka menuju pinggiran Kota Madinah untuk menyambutnya.
Ketika Salman RA berada di atas pembaringan menjelang ajalnya, Sa’ad bin Abi Waqqash datang menjenguknya. Lalu Salman menangis.
 “Apa yang Anda tangiskan, Wahai Abu Abdillah?” tanya Sa’ad. “Padahal, Rasulullah SAW wafat dalam keadaan ridha kepada anda?”
 "Demi Allah, aku menangis bukanlah karena takut mati ataupun mengharap kemewahan dunia, hanya Rasulullah telah menyampaikan suatu pesan kepada kita. Beliau bersabda, ‘Hendaklah bagian masing-masingmu dari kekayaan dunia ini seperti bekal seorang pengendara.’ Padahal, harta milikku begini banyaknya,” ujar Salman.

“Saya perhatikan tak ada yang tampak di sekelilingku kecuali satu piring dan sebuah baskom,” kata Sa’ad.

Lalu kata Sa’ad lagi, "Wahai Abu Abdillah, berilah kami suatu pesan yang akan kami ingat selalu darimu!”
 “Wahai Sa’ad, ingatlah Allah di kala dukamu, sedang kau menderita. Dan pada putusanmu jika kamu menghukumi. Dan pada saat tanganmu melakukan pembagian.”
 Rupanya inilah yang telah mengisi kalbu Salman mengenai kekayaan dan kepuasan. Ia telah memenuhinya dengan zuhud terhadap dunia dan segala harta, pangkat dengan pengaruhnya, yaitu pesan Rasulullah SAW kepadanya dan kepada semua sahabatnya, agar mereka tidak dikuasai oleh dunia dan tidak mengambil bagian daripadanya, kecuali sekedar bekal seorang pengendara.
 Salman telah memenuhi pesan itu sebaik-baiknya, namun air matanya masih jatuh berderai ketika rohnya telah siap untuk berangkat, khawatir kalau-kalau ia telah melampaui batas yang ditetapkan. Tak terdapat di ruangannya kecuali sebuah piring wadah makannya dan sebuah baskom untuk tempat minum dan wudhu, tetapi walau demikian ia menganggap dirinya telah berlaku boros.
 Tak satu pun barang berharga dalam kehidupan dunia ini yang digemari atau diutamakan oleh Salman sedikit pun, kecuali suatu barang yang memang amat diharapkan dan dipentingkannya, bahkan telah dititipkan kepada istrinya untuk disimpan di tempat yang tersembunyi dan aman.
 Ketika dalam sakit yang membawa ajalnya, yaitu pada pagi hari kepergiannya, dipanggillah sang istri untuk mengambil titipannya dahulu. Kiranya hanyalah seikat kesturi yang diperolehnya waktu pembebasan Jalula dahulu. Barang itu sengaja disimpan untuk wangi-wangian di hari wafatnya.

Kemudian sang istri disuruhnya mengambil secangkir air, ditaburinya dengan kesturi yang dikocok dengan tangannya, lalu kata Salman kepada istrinya, “Percikkanlah air ini ke sekelilingku. Sekarang telah hadir di hadapanku makhluk Allah yang tiada dapat makan, hanyalah gemar wangi-wangian.”
 Setelah selesai, ia berkata kepada istrinya, “Tutupkanlah pintu dan turunlah!” Perintah itu pun diturut oleh istrinya.
 Dan tak lama antaranya istrinya kembali masuk, didapatinya roh yang beroleh berkah telah meninggalkan dunia dan berpisah dari jasadnya. Ia telah mencapai alam tinggi, dibawa terbang oleh sayap kerinduan, rindu memenuhi janjinya untuk bertemu lagi dengan Rasulullah Muhammad SAW dan kedua sahabatnya, Abu Bakar dan Umar, dan para syuhada lainnya.

Mush'ab bin Umair - Duta Islam yang pertama

Mush'ab bin Umair salah seorang di antara sahabat Nabi. Alangkah baiknya jika kita memulai kisah dengan pribadinya. Seorang remaja Quraisy terkemuka, seorang yang paling tampan, penuh dengan jiwa dan semangat kemudaan.
Para Muarrikh dan ahli riwayat melukiskan semangat kemudaanya dengan kalimat "Seorang warga kota mekah yang mempunyai nama paling harum".
Ia lahir dan di besarkan dalam kesenangan, dan tumbuh dalam lingkungannya. Mungkin tak seorangpun diantara anak-anak muda mekah yang beruntung dimanjakan oleh kedua orangtuanya demikian rupa sebagai yang di alami oleh Mush'ab Bin Umair.
Sungguh, kisah hidupnya menjadi kebanggaan bagi kemanusiaan umumnya. Suatu hari anak muda ini mendengar berita yang telah tersebar luas dilalangan warga Mekah mengenai Muhammad Al Amin. Muhammad Saw., yang mengatakan bahwa dirinya telah di utus Allah sebagai pembawa berita suka maupun duka, sebagai da'i yang mengajak beribadat kepada Allah Tuhan Yang Maha Esa.
Sementara perhatian warga mekah terpusat pada berita itu, dan tiada yang menjadi buah pembicaraan mereka kecuali tentang Rasulullah. serta agama yang dibawanya, maka anak muda yang manja ini paling banyak mendengar berita itu. Karena walaupun usianya masih belia, tetapi ia menjadi bunga majelis tempat-tempat pertemuan yang selalu di harapkan kehadirannya oleh para anggota dan teman-temannya.
Di antara berita yang didengarnya ialah bahwa Rasulullah bersama pengikutnya biasa mengadakan pertemuan di suatu tempat yang terhindar jauh dari gangguan gerombolan Quraisy dan ancaman-ancamannya, yaitu di bukit Shafa di rumah Arqam bin Abil Arqam.
Maka pada suatu senja, didorong oleh kerinduannya, pergilah ia ke rumah Arqam menyertai rombongan itu. Di tempat itu Rasulullah SAW sering berkumpul dengan para sahabatnya, mengajarkan mereka ayat-ayat Alquran dan mengajak mereka beribadah kepada Allah Yang Maha Akbar.
Baru saja Mush'ab mengambil tempat duduknya, ayat-ayat Alqur'an mulai mengalir dari kalbu Rasulullah bergema melalui kedua bibirnya dan sampai ke telinga, meresap di hati para pendengar. Di senja itu Mush'ab pun terpesona oleh untaian kalimat Rasulullah yang tepat menemui sasaran di kalbunya.
Khunas binti Malik yakni ibunda Mush'ab, adalah seorang yang berkepribadian kuat dan pendiriannya tak dapat ditawar atau diganggu gugat, Ia wanita yang disegani bahkan ditakuti. Ketika Mush'ab memeluk Islam, tiada satu kekuatan pun yang ditakuti dan dikhawatirkannya selain ibunya sendiri.
Bahkan walau seluruh penduduk Makkah beserta berhala-berhala para pembesar dan padang pasirnya berubah rupa menjadi suatu kekuatan yang menakutkan yang hendak menyerang dan menghancurkannya, tentulah Mush'ab akan menganggapnya enteng. Tapi tantangan dari ibunya, bagi Mush'ab tidak dapat dianggap kecil. Ia pun segera berpikir keras dan mengambil keputusan untuk menyembunyikan keislamannya sampai terjadi sesuatu yang dikehendaki Allah.
Demikianlah ia senantiasa bolak-balik ke rumah Arqam menghadiri majelis Rasulullah, sedang hatinya merasa bahagia dengan keimanan dan sedia menebusnya dengan amarah murka ibunya yang belum mengetahui berita keislamannya.
Tetapi di kota Makkah tiada rahasia yang tersembunyi, apalagi dalam suasana seperti itu. Mata kaum Quraisy berkeliaran di mana-mana mengikuti setiap langkah dan menyelusuri setiap jejak. Kebetulan seorang yang bernama Utsman bin Thalhah melihat Mush'ab memasuki rumah Arqam secara sembunyi. Kemudian pada hari yang lain dilihatnya pula ia shalat seperti Muhammad SAW. Secepat kilat ia mendapatkan ibu Mush'ab dan melaporkan berita yang dijamin kebenarannya.
Berdirilah Mush'ab di hadapan ibu dan keluarganya serta para pembesar Makkah yang berkumpul di rumahnya. Dengan hati yang yakin dan pasti dibacakannya ayat-ayat Alquran yang disampaikan Rasulullah untuk mencuci hati nurani mereka, mengisinya dengan hikmah dan kemuliaan, kejujuran dan ketakwaan.
Ketika sang ibu hendak membungkam mulut putranya dengan tamparan keras, tiba-tiba tangan yang terulur bagai anak panah itu surut dan jatuh terkulai, ketika melihat cahaya yang membuat wajah putranya berseri cemerlang itu kian berwibawa. Karena rasa keibuannya, ibunda Mush'ab tak jadi menyakiti putranya. Dibawalah puteranya itu ke suatu tempat terpencil di rumahnya, lalu dikurung dan dipenjarakannya dengan rapat.
Demikianlah beberapa lama Mush'ab tinggal dalam kurungan sampai saat beberapa orang Muslimin hijrah ke Habasyah. Mendengar berita hijrah ini Mush'ab pun mencari muslihat, dan berhasil mengelabui ibu dan penjaga-penjaganya, lalu pergi ke Habasyah melindungkan diri. Ia tinggal di sana bersama saudara-saudaranya kaum Muslimin, lalu pulang ke Makkah. Kemudian ia pergi lagi hijrah kedua kalinya bersama para sahabat atas titah Rasulullah dan karena taat kepadanya.
Pada Suatu hari ia tampil di hadapan beberapa orang Muslimin yang sedang duduk sekeliling Rasulullah SAW. Demi memandang Mush'ab, mereka menundukkan kepala dan memejamkan mata, sementara beberapa orang matanya basah karena duka. Mereka melihat Mush'ab memakai jubah usang yang bertambal-tambal, padahal belum lagi hilang dari ingatan mereka—pakaiannya sebelum masuk Islam—tak ubahnya bagaikan kembang di taman, berwarna-warni dan menghamburkan bau yang wangi.
Adapun Rasulullah, menatapnya dengan pandangan penuh arti, disertai cinta kasih dan syukur dalam hati. Pada kedua bibirnya tersungging senyuman mulia, seraya berkata, "Dahulu aku lihat Mush'ab ini tak ada yang mengimbangi dalam memperoleh kesenangan dari orang tuanya, kemudian ditinggalkannya semua itu demi cintanya kepada Allah dan Rasul-Nya."
Suatu saat Mush'ab dipilih Rasulullah untuk melakukan suatu tugas maha penting saat itu. Ia menjadi duta atau utusan Rasul ke Madinah untuk mengajarkan agama Islam kepada orang-orang Anshar yang telah beriman dan berbaiat kepada Rasulullah di bukit Aqabah. Di samping itu, ia juga mempersiapkan kota Madinah untuk menyambut hijrah Rasulullah sebagai peristiwa besar.
Sebenarnya, di kalangan sahabat ketika itu masih banyak yang lebih tua, lebih berpengaruh dan lebih dekat hubungan kekeluargaannya dengan Rasulullah daripada Mush'ab. Tetapi Rasulullah menjatuhkan pilihannya kepada Mush'ab. Dan bukan tidak menyadari sepenuhnya bahwa beliau telah memikulkan tugas amat penting ke atas pundak pemuda itu dan menyerahkan kepadanya tanggung jawab nasib Agama Islam di kota Madinah.
Mush'ab memikul amant itu dengan bekal karunia Allah kepadanya, berupa pikiran yang cerdas dan budi yang luhur. Dengan sifat zuhud, kejujuran dan kesungguhan hati, ia berhasil melunakkan dan menawan hati penduduk Madinah hingga mereka berduyun-duyun masuk Islam. Ketika tiba di Madinah pertama kali, ia mendapati kaum Muslimin tidak lebih dari dua belas orang, yakni hanya orang-orang yang telah baiat di bukit Aqabah. Namun beberapa bulan kemudian, meningkatlah jumlah orang-orang yang memenuhi panggilan Allah dan Rasul-Nya.
Mush'ab memahami tugas dengan sepenuhnya, hingga tak terlanjur melampaui batas yang telah diterapkan. Ia sadar bahwa tugasnya adalah menyeru kepada Allah, menyampaikan berita gembira lahirnya suatu agama yang mengajak manusia mencapai hidayah Allah, membimbing mereka ke jalan yang lurus. Akhlaknya mengikuti pola hidup Rasulullah SAW yang diimaninya yang mengemban kewajiban hanya menyampaikan belaka. Demikianlah duta Rasulullah yang pertama itu telah mencapai hasil gemilang yang tiada taranya, suatu keberhasilan yang memang wajar dan layak diperolehnya.
Dalam Perang Uhud, Mush'ab bin Umair adalah salah seorang pahlawan dan pembawa bendera perang. Ketika situasi mulai gawat karena kaum Muslimin melupakan perintah Nabi, maka ia mengacungkan bendera setinggi-tingginya dan bertakbir sekeras-kerasnya, lalu maju menyerang musuh. Targetnya, untuk menarik perhatian musuh kepadanya dan melupakan Rasulullah SAW. Dengan demikian ia membentuk barisan tentara dengan dirinya sendiri.
Tiba-tiba datang musuh bernama Ibnu Qumaiah dengan menunggang kuda, lalu menebas tangan Mush'ab hingga putus, sementara Mush'ab meneriakkan, "Muhammad itu tiada lain hanyalah seorang Rasul, yang sebelumnya telah didahului oleh beberapa Rasul."
Maka Mush'ab memegang bendera dengan tangan kirinya sambil membungkuk melindunginya. Musuh pun menebas tangan kirinya itu hingga putus pula. Mush'ab membungkuk ke arah bendera, lalu dengan kedua pangkal lengan meraihnya ke dada sambil berucap, "Muhammad itu tiada lain hanyalah seorang Rasul, dan sebelumnya telah didahului oleh beberapa Rasul."
Lalu orang berkuda itu menyerangnya ketiga kali dengan tombak, dan menusukkannya hingga tombak itu pun patah. Mush'ab pun gugur, dan bendera jatuh. Ia gugur sebagai bintang dan mahkota para syuhada.
Rasulullah bersama para sahabat datang meninjau medan pertempuran untuk menyampaikan perpisahan kepada para syuhada. Ketika sampai di tempat terbaringnya jasad Mush'ab, bercucuranlah dengan deras air matanya.
Tak sehelai pun kain untuk menutupi jasadnya selain sehelai burdah. Andai ditaruh di atas kepalanya, terbukalah kedua belah kakinya. Sebaliknya bila ditutupkan di kakinya, terbukalah kepalanya. Maka Rasulullah SAW bersabda, "Tutupkanlah ke bagian kepalanya, dan kakinya tutuplah dengan rumput idzkhir!"
Kemudian sambil memandangi burdah yang digunakan untuk kain penutup itu, Rasulullah berkata, "Ketika di Makkah dulu, tak seorang pun aku lihat yang lebih halus pakaiannya dan lebih rapi rambutnya daripadanya. Tetapi sekarang ini, dengan rambutmu yang kusut masai, hanya dibalut sehelai burdah."
Setelah melayangkan pandang, ke arah medan laga serta para syuhada, kawan-kawan Mush'ab yang tergeletak di atasnya, Rasulullah berseru, "Sungguh, Rasulullah akan menjadi saksi nanti di hari kiamat, bahwa kalian semua adalah syuhada di sisi Allah!"
Kemudian sambil berpaling ke arah sahabat yang masih hidup, Rasulullah bersabda, "Hai manusia, berziarahlah dan berkunjunglah kepada mereka, serta ucapkanlah salam! Demi Allah yang menguasai nyawaku, tak seorang Muslim pun sampai hari kiamat yang memberi salam kepada mereka, pasti mereka akan membalasnya."

Wednesday, January 23, 2013

Tata cara puasa


A. MAKAN SAHUR
Aktifitas Hadhrat Rasulullah saw. selama bulan Ramadhan diantaranya makan sahur dibawah ini hadis-hadis yang menerangkan bahwa sahur adalah kegiatan yang penting untuk menyongsong ibadah puasa dari terbit fajar hingga terbenam matahari. Mengenai hal ini, Rasulullah saw. besabda:
‘an anasin ibnu malikin (rodhiyallohu ‘anhu) qôla: qôla RosûlaLlâhi (shollollohu ‘alayhi wa sallam), tasahharû fa-inna fis-sahûrî barokat(un) (Mutafaq ‘alayh)
Artinya: Dari Anas bin Malik ra. dia berkata, Rasulullah saw. bersabda: “Makan sahurlah kamu sekalian, sebab dalam makan sahur itu ada berkahnya.” (Mutaffaq’alaih)
Ahmad menambahkannya dari Hadis Abu Sa’id:
falâ tad’ûhu, wa law an yatajarro’a ahadukum jar’atan min mâ-in fa-innaLloha wa malâ-ikatahû yushollûna ‘alal-mutasahhirîn(a) – (rowâhu Ahmad)
Artinya: Maka janganlah kamu tinggalkan sahur itu, dan seandainya seseorang diantara kamu meneguk (meminum) seteguk air, maka sesungguhnya Allah dan para Malaikat-Nya mendoakan atau mengasihani orang-orang yang sahur itu. (HR. Ahmad) [1]
- ‘anibni ‘abbâsin, ‘anin-nabiyyi (shollollohu ‘alayhi wa sallam) qôla: ista’înû bitho’âmissahari ‘alâ shiyâmin-nahri wa bil-qoylûlati ‘alâ qiyâmul-layl(i) -
Artinya: Nabi saw. bersabda: “Jadikanlah makan diwaktu sahur sebagai penolong melakukan puasa diwaktu siang. Dan istirahat di tengah hari sebagai penolong untuk melakukan shalat malam kalian.”[2]
B. BERSODAQOH
Hadhrat Rasulullah saw. adalah pribadi yang dermawan apalagi pada saat bulan Ramadhan kemurahan tangannya bagaikan hembusan angin sebagaimana yang diterangkan dalam hadis di bawah ini :
- ‘anibni ‘abbâsin qôla: kânan-nabiyyu (shollollohu ‘alayhi wa sallam) ajûdan-nâsi bil-khoyri wa kâna ajûda mâ yakûnu fi Romadhôna hîna yalqôhu jibrîlu wa kâna jibrîlu ‘alayhis-salâmu yalqôhu kulla laylatin fî romadhôna hattâ yansalikho ya’ridhu ‘alayhin-nabiyyu (shollollohu ‘alayhi wa sallam) alqur-âna fa-idzâ laqiyahu jibrîlu ‘alayhis-salâmu kâna ajûda bil-khyri minar-riyhil-mursalati –
1818. Artinya: dari ibn Abbas ra. Ia berkata Nabi saw. Adalah manusia yangn paling dermawan, dan sedermawan-dermawan beliau adalah pada bulan Ramadhan ketika Jibril menemui belaiu. Jibril menemui beliau pada setiap malam dari bulan Ramadhan sehingga habisnya bulan Ramadhan itu. Kepentingannya menemui nabi saw. Ialah untuk menyampaikan al-Quran.apabila Jibril bertemu dengan beliau maka keadannya lebihi bermurah dengan kebaikan daripada angin yang diutus.[3]
C. MEMPERLIHATKAN AKHLAQ YANG MULIA
Adab puasa lainnya yang digambarkan di dalam hadis yaitu, orang yang sedang berpuasa hendaknya memperlihatkan akhlak yang mulia sebagaimana yang dicontohkan di bawah ini:
- ‘an abî Huroyrota yaqûlu: qôla Rosûlullohi (shollollohu ‘alayhi wa sallam): qôlaLlohu: kullu ‘amalib-ni Adama lahu, illa-shiyâma, fa-innahu lî wa ana ajza bihi wash-shiyâmu junnatun, wa idzâ kâna yawmu showmin ahadakum falâ yarfutsu wa lâ yashkhob, fa-inna sâ-bbahu ahadun aw qôtalahu fal-yaqul “innimroun shô-imun” -
1820. Artinya: Dari Abu Hurairah ra. berkata: Rasulullah saw bersabda: “Allah yang Maha Mulia dan Maha Besar berfirman: “Setiap amal anak Adam itu baginya selain puasa, sesungguhnya puasa itu bagi Ku dan Aku membalasnya. Puasa itu perisai. Apabila salah seorang diantaramu berpuasa pada suatu hari maka janganlah berkata keji dan jangan berteriak-teriak. Jika ada seseorang yang mencaci makinya atau melawannya maka hendaklah ia mengatakan “sesungguhnya saya sedang berpuasa”[4]
D. BANYAK MEMBACA AL QUR’AN
Amal-amal lainnya di saat sedang berpuasa hendaknya membaca al-Quran (bertadarus) sebagaimana hadis di bawah ini:
- ‘an ‘urwata, ‘an ‘â-isyata qôlat mâ la’ina Rosûlullohi (shollollohu ‘alayhi wa sallam) min la’natin tadzkuru kâna idzâ kâna qorîbu ‘ahdi bi Jibrîli (‘alayhis-salâmu) yudârisuhû kâna ajûda bil-khoyri minar-rîhil-mursalat(i) -
Dari Urwah dari Aisyah katanya : “Boleh dikata, hampir tidak pernah Rasulullah saw. melaknat. Biasanya bila dekat masa bertemunya dengan Jibril untuk bertadarus al-Qur’an, maka Rasulullah saw. banyak bermurah tangan lebih dari kencangnya angin yang berhembus.”[5]
E. MENYEGERAKAN BERBUKA PUASA
Anjuran Hz. Rasulullah saw. lainnya yaitu, supaya menyegerakan berbuka puasa dan itu adalah satu kebaikan:
- ‘an sahlib-ni sa’din qôla: qôla Rosûlullohi (shollollohu ‘alayhi wa sallam): lâ yazâlun-nâsu bikhoyrin mâ ‘ajalul-fitr(o) –
Artinya: Bahwasanya nabi saw. bersabda manusia senantiasa ada dalam keadaan baik selama cepat-cepat makan untuk berbuka.[6]
F. IBADAH DI MALAM HARI
Hadhrat. Rasulullah saw. senantiasa mengisi malam-malamnya di bulan puasa dengan melaksanakan ibadah dan demikianlah anjuran beliau:
- ‘an sai’îdibnil-musayyiba, ‘an Rosûlullohi (shollollohu ‘alayhi wa sallam) qôla: man qôma Romadhôna îmânan wahtisâban, ghufiro lahu mâ taqoddama min dzambihi -
Artinya: bersabda Rasulullah saw. “Barang siapa yang beribadah malam di bulan Ramadhan dengan penuh keimanan dan berharap pahala dari Allah, maka akan diampunkan dosa-dosanya yang lalu.”[7]
Hadhrat Rasulullah saw. mengerjakan shalat malam (tarawih) secara berjamaah di bulan puasa. Tapi hal itu beliau laksanakan hanya beberapa hari saja, karena dikhawatirkan shalat malam (tarawih) secara berjamaah itu dianggap suatu kewajiban oleh umat beliau.
Artinya: Aisyah ra. berkata: “Pada suatu malam di bulan Ramadhan Rasulullah saw. mengerjakan shalat malam berjamaah di masjid. Seterusnya Hz. Aisyah ra. berkata bahwa nabi hanya menganjurkan sahabat-sahabatnya supaya gemar beribadah di malam hari di bulan Ramadhan dan anjurannya itu tidak bersifat perintah. Karena itu beliau bersabda: “Barang siapa beribadah di malam lailatul qadar dengan penuh keimanan dan berharap pahala dari Allah, maka ia akan diampunkan dosa-dosanya yang terdahulu.”
Urwah berkata:” Demikianlah keadaan itu terus berlangsung hingga Rasulullah saw. pulang ke rahmatullah”.[8]
G. BERI’TIKAF
Hadhrat Rasulullah saw apabila di sepuluh malam terakhir di bulan Ramadhan senantiasa melaksanakan I’tikaf, demikianlah bunyi hadisnya:
- ‘an ‘âisyata, annan-Nabiyya (shollollohu ‘alayhi wa sallam) kâna ya’taqiful-‘asyrol-awâkhiro min Romadhôna hattâ qobadhohuLlohu -
Artinya: Dari Aisyah “Bahwasanya nabi saw. biasa beri’tikaf pada sepuluh yang akhir dari bulan Ramadhan sampai Allah mengambil nyawanya”.[9]
- ‘an ‘aliyyi, anna annan-Nabiyya (shollollohu ‘alayhi wa sallam) kâna yûqidzu ahlahu fîl-awâkhiri min Romadhôn(a) -
Artinya: Dari Ali ra. bahwasanya nabi saw. biasa membangunkan keluarganya pada sepuluh terakhir dari bulan Ramadhan. [10]
Demikianlah amalan-amalan yang nampak dilakukan oleh Rasulullah saw. Ketika beliau berada di Bulan Ramadhan. Kita sebagai pengikutnya harus bisa mencontoh apa-apa yang beliau kerjakan.
Catatan kaki:
[1] Drs. Abu Bakar Muhammad, TERJEMAHAN SUBULUS-SALAM, Jilid 2, Surabaya: Al-Ikhlas, 1991, Kitab Puasa, hlm. 610-611
[2] Al Ustadz H. Abdullah Shonhaji, dkk, TARJAMAH SUNAN IBNU MAJAH II, Semarang: CV Asy Syifa’ 1992, hal. 473, Bab Tentang Sahur, No. 1693
[3] Ahmad Sunarto, dkk, TARJAMAH BUKHARI III, Semarang: CVAssyifa, 1993, hal.93, Bab Sedermawan-dermawan nabi saw. adalah pada bulan Ramadhan
[4] Ibid, hal 94
[5] Ustadz Bey Arifin, dkk, TARJAMAH SUNAN AN-NASA’IY II, Semarang: CVAssyifa, 1992, hlm. 505, BAB Keutamaan bermurah tangan di bulan ramadhan, Hadits No. 2065
[6] Moh. Zuhri Dipl. TAFL, Drs. H., dkk, TARJAMAH SUNAN AT-TIRMIDZI II, Semarang: CVAssyifa, 1992, hal.20, Bab Bersegera untuk berpuasa, Hadis No. 690
[7] Ustadz Bey Arifin, dkk, TARJAMAH SUNAN AN-NASA’IY II, Semarang: CVAssyifa, 1992, hlm. 546, Bab Pahala orang yang berpuasa Ramadhan dan beribadah di malam harinya dengan penuh keimanan dan berharap pahala dan Allah, Hadits No. 2157
[8] Ustadz Bey Arifin, dkk, TARJAMAH SUNAN AN-NASA’IY II, Semarang: CVAssyifa, 1992, halaman 505, hal. 549, no. 2161
[9] Moh. Zuhri Dipl. TAFL, Drs. H., dkk, TARJAMAH SUNAN AT-TIRMIDZI II, Semarang: CVAssyifa, 1992, hlm. 114, Bab Tentang I’tikaf, Hadits No. 787
[10] Ibid, hlm,. 120, Bab tentang daripadanya, Hadits No. 792

Saturday, October 27, 2012

Niat dalam shalat

Definisi
Niat adalah maksud atau keinginan kuat dalam hati untuk melakukan sesuatu. Dalam terminologi syar’i niat berarti keinginan melakukan ketaatan kepada Allah dengan melaksanakan perbuatan atau meninggalkannya.
Niat dalam shalat
Imam an-Nawawi dalam al-Majmu’ berkata, “Niat adalah fardhu, shalat tidak sah tanpanya, Ibnul Mundzir dalam kitabnya al-Asyraf dan kitab al-Ijma’, Syaikh Abu Hamid al-Isfirayini, Qadhi Abu ath-Thayyib, penulis asy-Syamil, Muhammad bin Yahya dan lain-lainnya menukil ijma’ ulama bahwa shalat tidak sah tanpa niat.”
Jadi para ulama telah berijma’ bahwa shalat tanpa niat tidak sah, ijma’ ini berdasar kepada hadits Umar bin al-Khatthab yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim bahwa Nabi saw bersabda,
“Sesungguhnya amal-amal itu dengan niat dan sesungguhnya masing-masing orang mendapatkan apa yang dia niatkan.”
Apakah niat termasuk rukun ataukah syarat?
Setelah para ulama bersepakat bahwa niat adalah wajib dan bahwa shalat tidak sah tanpanya, mereka berselisih pendapat tentang apakah niat itu rukun shalat ataukah syarat sahnya shalat? Ada yang berkata yang pertama dan ada yang berkata yang kedua, Imam an-Nawawi dalam al-Majmu’ 3/276 berkata, “Yang shahih lagi masyhur adalah bahwa ia syarat bukan rukun.” Pilihan Imam an-Nawawi inilah yang shahih karena niat dilakukan di luar atau sebelum shalat, sesuatu yang harus dipenuhi sebelum sesuatu lebih dekat dinamai syarat daripada rukun, karena rukun lazim ada di dalam sesuatu. Penulis sendiri tidak melihat faidah khilaf yang berarti karena pihak yang mengatakan bahwa niat merupakan rukun dan pihak yang mengatakan bahwa niat merupakan syarat menyepakati bahwa ia wajib dan shalat tidak sah tanpanya.
Tempat niat
Niat termasuk perbuatan hati maka tempatnya adalah di dalam hati, bahkan semua perbuatan yang hendak dilakukan oleh manusia, niatnya secara otomatis tertanam di dalam hatinya, bagaimanan dia akan melakukan kalau tidak ada niat di dalam hatinya?
Dari sini maka niat dalam shalat cukup di dalam hati tidak perlu dan tidak dianjurkan untuk dilafazhkan dengan lisan, tidak perlu ada lafzah, ushalli fardha al-maghribi dan sepertinya. Dalam matan al-Muhadzdzab (fikih madzhab asy-Syafi’i) dikatakan, “Tempat niat adalah hati, jika dia berniat dengan hatinya tanpa lisannya maka itu sudah cukup, dan di antara kawan-kawan kami ada yang berkata, ‘berniat dengan hati dan berlafazh dengan lisan’. Dan ini bukan apa-apa, karena niat adalah maksud dengan hati.”
Kita melihat penulis al-Muhadzdzab mengomentari pendapat sebagian kawannya yang mengatakan, ‘Berniat dalam hati dan melafazhkan dengan lisan.’ Ini berarti dia menggabungkan antara niat hati dan lafazh dengan lisan, ini berarti ada talaffuzh dengan niat, penulis al-Muhadzdzab berkata tentangnya, “Bukan apa-apa.”
Asal usul talaffuzh dengan niat adalah kekeliruan dalam memahami ucapan Imam asy-Syafi’i -semoga Allah merahmatinya- yang terjadi pada salah seorang ulama madzhab asy-Syafi’i Abu Abdullah az-Zubairi, orang ini -semoga Allah merahmatinya- berkata, “Tidak cukup baginya sehingga dia menggabungkan antara niat hati dan talaffuzh lisan, karena asy-Syafi’i -semoga Allah merahmatinya- berkata dalam haji, ‘Jika dia berniat haji atau umrah, maka sudah cukup baginya walaupun dia tidak bertalaffuzh, ia tidak seperti shalat, ia (shalat) tidak sah kecuali dengan an-nutqi(ucapan)’.”
Perkara ini telah diluruskan oleh Imam an-Nawawi dalam al-Majmu’ 3/277, dia berkata, kawan-kawan kami berkata, “Orang yang berkata ini keliru, maksud asy-Syafi’i dengan ucapan dalam shalat bukan itu, akan tetapi maksudnya adalah takbir. Seandainya dia bertalaffuzh dengan lisannya tetapi tidak berniat dengan hatinya maka shalatnya tidak sah dengan ijma’.”
Dari pelurusan Imam an-Nawawi ini kita mengetahui bahwa Imam asy-Syafi’i -semoga Allah merahmatinya- tidak menganjurkan talaffuzh bin niyyah (melafazhkan niat), dan bahwa perkara ini datang dari sebagian pengikut madzhab asy-Syafi’i yang keliru memahami ucapan sang Imam, dari sini sudah saatnya dan sudah sepantasnya para pengikut madzhab kembali kepada pendapat sang Imam karena ia adalah pendapat yang benar.
Dalil-dalil yang menetapkan tidak adanya talaffuzh dalam niat
Imam Muslim meriwayatkan dari Aisyah berkata, “Rasulullah saw membuka shalat dengan takbir.” Jadi sebelum takbir tidak ada talaffuzh dengan niat, karena jika ada maka Aisyah akan menyampaikannya.
Abdullah bin Umar berkata, “Aku melihat Rasulullah saw membuka shalat dengan takbir, beliau mengangkat…(HR. al-Bukhari dan Muslim). Jika sebelum takbir ada sesuatu ucapan, tentu Ibnu Umar akan menyampaikannya.
Demikian pula dengan pelajaran shalat Nabi saw kepada seorang laki-laki yang shalat dengan buruk, “Jika kamu shalat maka sempurnakanlah wudhu, kemudian menghadaplah kiblat, lalu bertakbirlah, kemudian bacalah al-Qur`an yang termudah bagimu…(HR. Al-Bukhari dan Muslim). Mana talaffuzh dengan niat? Adakah Nabi saw lupa mengajarkannya kepada laki-laki ini yang membutuhkan ilmu tentang shalat?
Imam Ibnul Qayyim dalam Zadul Ma’ad 1/201 berkata tentang masalah ini, “Jika Nabi saw berdiri shalat beliau berkata, ‘Allahu Akbar’ beliau tidak mengucapkan sesuatu sebelumnya, tidak bertalaffuzh dengan niat sekalipun, beliau tidak berkata, ‘Saya shalat karena Allah begini menghadap kiblat empat rakaat sebagai imam atau makmum’. Tidak pula beliau berucap, ‘Sebagai pelaksanaan atau qadha’ dan tidak pula, ‘kewajiban waktu’. Ini adalah sepuluh bid’ah, tidak seorang pun yang menukil satu lafazh pun darinya dari beliau, tidak dengan sanad shahih maupun dhaif, tidak dengan sanad maupun mursal, bahkan tidak dari seorang sahabat beliau, tidak seorang pun dari kalangan tabiin yang menyatakannya, begitu pula dengan para Imam yang empat, akan tetapi yang terjadi adalah kekeliruan sebagian kalangan mutaakhkhirin dalam memahami ucapan asy-Syafi’i dalam shalat, ‘Ia tidak seperti puasa, dan seseorang tidak masuk ke dalamnya kecuali dengan dzikir.’ Maka dia menduga bahwa dzikir di sini adalah bertalaffuzh dengan niat, padahal maksud asy-Syafi’i dengan dzikir adalah ucapan Allahu Akbar, bukan lainnya, bagaimana mungkin asy-Syafi’i menganjurkan sesuatu yang tidak dilakukan oleh Nabi saw dalam satu shalat pun, tidak pula dilakukan oleh para khulafa` Nabi saw dan para sahabat beliau, ini adalah petunjuk dan sirah mereka, jika ada orang yang bisa menghadirkan satu huruf dari mereka maka kami menerimanya, dan tidak ada petunjuk yang lebih sempurna daripada petunjuk mereka, dan tidak ada sunnah selain apa yang mereka terima dari peletak syariat Muhammad saw.”

Shalat dan kedudukannya

Definisi Shalat.
Shalat dari segi bahasa berarti doa kebaikan, penggunaan kata ini dikenal dalam bahasa Arab sebelum ia ditransfer kepada makna syar’i.
Firman Allah Taala,
وَصَلِّ عَلَيْهِمْ إِنَّ صَلاَتَكَ سَكَنٌ لَهُمْ .
“Dan mendoalah untuk mereka, sesungguhnya doa kamu itu menjadi ketentraman jiwa bagi mereka.” (At-Taubah: 103)
Shalat dari segi istilah syar’i adalah perkataan-perkataan dan perbuatan-perbuatan khusus yang diawali dengan takbir dan ditutup dengan salam.
Shalat dinamakan shalat karena ia mengandung makna dari segi bahasa yaitu doa kebaikan. Dalam Kitab al-Inshaf dikatakan, “Inilah yang shahih yang dipegang oleh jumhur fuqaha’ dan ahli bahasa Arab.”
Kedudukan shalat.
Shalat adalah salah satu rukun Islam yang lima, ia hadir setelah syahadatain sebagai bukti pertama dan utama atas kebenarannya, Allah Taala mewajibkannya kepada Rasulullah saw pada malam Mi’raj tiga tahun sebelum hijrah di langit secara langsung tanpa perantara malaikat.
Anas bin Malik berkata, “Shalat diwajibkan atas Nabi saw pada malam beliau diisra’kan sebanyak lima puluh shalat, kemudian dikurangi sehingga ia menjadi lima, kemudian diserukan, ‘Wahai Muhammad, perkataan padaKu tidak dirubah dan dengan lima itu kamu mendapatkan lima puluh.” (HR. Ahmad, at-Tirmidzi dan an-Nasa`i).
Shalat merupakan had (pembatas) antara seseorang dengan kekufuran dan kesyirikan.
Nabi saw bersabda,
إِنَّ بَيْنَ الرَّجُلِ وَبَيْنَ الشِّرْكِ وَالكُفْرِ تَرْكُ الصَّلاَةِ .
“Sesungguhnya antara seseorang dengan kesyirikan dan kekufuran adalah meninggalkan shalat.” (HR. Muslim dari Jabir bin Abdullah).
عن بريدة بن الحصيب رضي الله عنه قال : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلّم : اَلعَهْدُ الّذِي بَيْنَنَا وَبَيْنَهُمْ الصَّلاَة فَمَنْ تَرَكَهَا فَقَدْ كَفَرَ.
Dari Buraidah bin al-Hushaib berkata, Rasulullah saw bersabda, “Perjanjian antara kami dengan mereka adalah shalat, barangsiapa meninggalkannya maka dia kafir.” (HR. Ahmad, at-Tirmidzi, dia berkata, “Hadits hasan shahih gharib.” An-Nasa`i dan dishahihkan oleh al-Albani dalam Shahih at-Targhib wa at-Tarhib, 1/226).
Shalat merupakan tiang bagi segala perkara dalam agama,
Sebagaimana dalam hadits Muadz bin Jabal yang panjang, Nabi saw bersabda,
رَأْسُ الأَمْرِ الإِسْلاَمُ، وَعَمُوْدُهُ الصَّلاَةُ، وَذِرْوَةُ سَنَامِهِ الجِهَادُ.
“Kepala bagi perkara adalah Islam, tiangnya adalah shalat dan puncak punuknya adalah jihad.” (HR. Ahmad, at-Tirmidzi, dia berkata, “Hasan shahih.” Dishahihkan oleh al-Albani dalam takhrij kitab al-Iman, Ibnu Abi Syaibah no. 1).
Shalat adalah amal hamba yang pertama kali dihisab oleh Allah Taala pada Hari Kiamat.
Nabi saw bersabda,
إِنَّ أَوَّلَ مَا يُحَاسَبُ بِهِ العَبْدُ الصَّلاَةُ.
“Perkara pertama dimana seorang hamba dihisab atasnya adalah shalat.” (HR. an-Nasa`i dishahihkan oleh al-Albani dalam ash-Shahihah no. 1748).
Dalam hadits Abu Hurairah berkata, Aku mendengar Rasulullah saw bersabda,
إِنَّ أَوَّلَ مَا يُحَاسَبُ بِهِ العَبْدُ صَلاَتُهُ، فَإِنْ أَتَمَّهَا، وَإِلاَّ نُظِرَ هَلْ لَهُ مِنْ تَطَوُّعٍ، فَإِنْ كَانَ لَهُ تَطَوُّعٌ، أُكْمِلَتْ الفَرِيْضَةُ مِنْ تَطَوُّعِهِ، ثُمَّ تُرْفَعُ سَائِرُ الأَعْمَالِ عَلىَ ذَلِكَ.
“Sesungguhnya perkara pertama yang dihisab atas seorang hamba adalah shalatnya, jika dia menyempurnakannya, dan jika tidak maka dilihat apakah dia mempunyai shalat sunnah, jika dia memiliki shalat sunnah maka shalat wajibnya disempurnakan dari shalat sunnahnya kemudian amal-amal lainnya diangkat di atas itu.” (HR. Ahmad, Ibnu Majah dan dishahihkan oleh al-Albani dalam ash-Shahihah no. 1358).
Shalat merupakan ibadah yang tidak mengenal kata, ‘Saya tidak mampu.’
Karena ia wajib dalam segala kondisi tanpa memberi peluang kepada seorang muslim untuk berkata, ‘Saya sakit atau saya bepergian atau saya sibuk’ dan alasan-alasan lainnya, selama seorang muslim berakal dan nyawanya masih dikandung badan maka tidak ada alasan untuk tidak shalat, sampai dalam kondisi takutpun Allah Taala tetap memerintahkan kaum muslimin untuk tetap mendirikan shalat meskipun dengan merubah sebagian tatanannya, hal ini merupakan bukti yang berbicara tentang kedudukan shalat.
Firman Allah, “Peliharalah segala shalatmu dan peliharalah shalat wustha. Berdirilah karena Allah dalam shalatmu dengan khusu’. Jika kamu dalam keadaan takut (bahaya) maka shalatlah sambil berjalan atau berkendaraan.” (Al-Baqarah: 238-239).
Melihat kepada kedudukan shalat yang agung dalam agama Islam maka Allah Taala menamakan shalat dengan iman
FirmanNya, “Dan Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu.” (Al-Baqarah: 143).
Ibnu Katsir berkata tentang ayat ini, “Firman Allah, ‘Dan Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu’, yakni shalatmu ke Baitul Maqdis sebelum itu, pahalanya tidak akan sia-sia di sisi Allah.”
Ibnul Qayyim dalam kitab ash-Shalah menjelaskan tentang kedudukan shalat, beliau berkata, “Shalat memiliki keistimewaan-keistimewaan yang tidak dimiliki oleh ibadah selainnya, ia adalah kewajiban Islam pertama yang ditetapkan oleh Allah. Oleh karena itu Nabi saw berpesan kepada utusan-utusan dan delegasi-delegasinya agar memulai berdakwah kepadanya setelah syahadatain. Beliau bersabda kepada Muadz,
‘Kamu akan mendatangi suatu kaum ahli kitab, hendaknya perkara pertama yang kamu dakwahkan kepada mereka adalah syahadat la ilaha illallah dan bahwa Muhammad adalah Rasulullah dan bahwa Allah telah mewajibkan shalat lima waktu sehari semalam.’ (HR. al-Bukhari dan Muslim),
dan karena ia adalah ibadah hamba yang pertama kali dihisab, Allah mewajibkannya di langit pada malam Mi’raj, itu adalah ibadah yang paling banyak disebut di dalam al-Qur`an. Peduduk neraka ketika ditanya,
‘Apakah yang memasukkan kamu ke dalam Saqar (neraka)?’ (Al-Muddatstsir: 42),
mereka tidak memulai menjawab dengan sesuatu selain meninggalkan shalat, kewajiban shalat tidak gugur dari seorang hamba dalam kondisi apapun selama dia berakal, berbeda dengan kewajiban-kewajibna lainnya yang wajib dalam kondisi dan tidak dalam kondisi lainnya, ia adalah tonggak bangunan Islam, jika tonggak sebuah bangunan runtuh maka runtuhlah bangunan, ia adalah bagian dari agama yang hilang paling kafir, ia wajib atas orang merdeka dan hamba sahaya, laki-laki dan perempuan, orang mukim dan musafir, orang sehat dan sakit, orang kaya dan orang miskin.”
Muhammad bin Nashr al-Marwazhi dalam kitabnya Ta’zhim Qadr ash-Shalah menjelaskan tentang kedudukan shalat, beliau berkata, “Di antara dalil yang dengannya Allah menetapkan keagungan kedudukan shalat dan bahwa ia berbeda dengan amal-amal yang lain adalah pewajibanNya terhadapnya atas nabi-nabi dan rasul-rasulNya dan pemberitahuanNya tentang pengagungan mereka terhadapnya, di antara hal tersebut adalah bahwa Allah azj mendekatkan Musa kepadaNya pada saat dia bermunajat dan Dia berbicara kepadanya. Perkara pertama yang Allah wajibkan atasnya setelah Dia mewajibkan beribadah kepadaNya adalah mendirikan shalat, Allah tidak menetapkan kewajiban selainnya atasnya. Allah berfirman berbicara kepada Musa dengan kalimat-kalimatNya tanpa penerjemah.
‘Maka dengarkanlah apa yang akan diwahyukan (kepadamu). Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang hak) selain Aku, maka sembahlah Aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku.’ (Thaha: 13).
Hal tersebut membuktikan keagungan kedudukan shalat dan keutamaannya atas amal-amal yang lain di mana Dia tidak memulai Musa yang bermunajat kepadanya dan Dia berbicara kepadanya dengan suatu kewajiban yang mendahuluinya.”

Hikmah Shalat

Allah adalah al-Hakim, pemilik hikmah, tidak ada sesuatu yang Dia syariatkan kecuali ia pasti mengandung hikmah, tidak ada sesuatu dari Allah yang sia-sia dan tidak berguna karena hal itu bertentangan dengan hikmahNya, dan kita sebagai manusia dengan keterbatasan tidak mungkin mengetahui dan mengungkap seluruh hikmah yang terkandung dalam apa yang Allah syariatkan dan tetapkan, apa yang kita ketahui dari hikmah Allah hanyalah sebagian kecil, dan yang tidak kita ketahui jauh lebih besar, “Dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit.” (Al-Isra`: 85). Sekecil apapun dari hikmah Allah dalam sesuatu yang bisa kita ketahui, hal itu sudah lebih dari cukup untuk mendorong dan memacu kita untuk melakukan sesuatu tersebut karena pengetahuan tentang kebaikan sesuatu melecut orang untuk melakukannya.
Ibadah shalat yang merupakan ibadah teragung dalam Islam termasuk ibadah yang kaya dengan kandungan hikmah kebaikan bagi orang yang melaksanakannya. Siapaun yang mengetahui dan pernah merasakannya mengakui hak itu, oleh karena itu dia tidak akan rela meninggalkannya, sebaliknya orang yang tidak pernah mengetahui akan berkata, untuk apa shalat? Dengan nada pengingkaran.
Pertama: Manusia memiliki dorongan nafsu kepada kebaikan dan keburukan, yang pertama ditumbuhkan dan yang kedua direm dan dikendalikan, dan sarana pengendali terbaik adalah ibadah shalat. Kenyataan membuktikan bahwa orang yang menegakkan shalat adalah orang yang paling minim melakukan tindak kemaksiatan dan kriminal, sebaliknya semakin jauh seseorang dari shalat, semakin terbuka peluang kemaksiatan dan kriminalnya.
Firman Allah, “Dan dirikanlah shalat, sesungguhnya shalat itu mencegah dari perbuatan-perbuatan keji dan mungkar.” (Al-Ankabut: 45).
Dari sini kita memahami makna dari penyandingan Allah antara menyia-nyiakan shalat dengan mengikuti syahwat yang berujung kepada kesesatan.
Firman Allah, “Maka datanglah sesudah mereka, pengganti (yang jelek) yang menyia-nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsunya, maka mereka kelak akan menemui kesesatan.” (Maryam: 59).
Kedua: Seandainya seseorang telah terlanjur terjatuh kedalam kemaksiatan dan hal ini pasti terjadi karena tidak ada menusia yang ma’shum (terjaga dari dosa) selain para nabi dan rasul, maka shalat merupakan pembersih dan kaffarat terbaik untuk itu.
Rasulullah saw mengumpamakan shalat lima waktu dengan sebuah sungai yang mengalir di depan pintu rumah salah seorang dari kita, lalu dia mandi di sungai itu lima kali dalam sehari semalam, adakah kotoran ditubuhnya yang masih tersisa?
Dari Abu Hurairah berkata, aku mendengar Rasulullah saw bersabda,
أَرَأَيْتُمْ لَوْ أَنَّ نَهْرَاً بِبَابِ أَحَدِكُمْ يَغْتَسِلُ مِنْهُ كُلَّ يَوْمٍ خَمْسَ مَرَّاتٍ هَلْ يَبْقَى مِنْ دَرَنِهِ شَيْءٌ؟ قَالُوا: لاَ يَبْقَى مِنْ دَرَنِهِ شَيْءٌ، قَالَ: فَذَلِكَ مَثَلُ الصَّلَوَاتِ الخَمْسِ يَمْحُو الله بِهِنَّ الخَطَايَا.
“Menurut kalian seandainya ada sungai di depan pintu rumah salah seorang dari kalian di mana dia mandi di dalamnya setiap hari lima kali, apakah masih ada kotorannya yang tersisa sedikit pun?” Mereka menjawab,”Tidak ada kotoran yang tersisa sedikit pun.” Rasulullah saw bersabda, “Begitulah perumpamaan shalat lima waktu, dengannya Allah menghapus kesalahan-kesalahan.” (HR. al-Bukhari dan Muslim).
Dari Ibnu Mas’ud bahwa seorang laki-laki mendaratkan sebuah ciuman kepada seorang wanita, lalu dia datang kepada Nabi saw dan menyampaikan hal itu kepada beliau, maka Allah menurunkan, “Dan dirikanlah shalat itu pada kedua tepi siang (pagi dan petang) dan pada bahagian permulaan daripada malam. Sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang baik itu menghapuskan (dosa) perbuatan-perbuatan yang buruk.” (Hud: 114) Laki-laki itu berkata, “Ini untukku?” Nabi saw menjawab, “Untuk seluruh umatku.” (Muttafaq Alaihi).
Ketiga: Hidup manusia tidak terbebas dari ujian dan cobaan, kesulitan dan kesempitan dan dalam semua itu manusia memerlukan pegangan dan pijakan kokoh, jika tidak maka dia akan terseret dan tidak mampu mengatasinya untuk bisa keluar darinya dengan selamat seperti yang diharapkan, pijakan dan pegangan kokoh terbaik adalah shalat, dengannya seseorang menjadi kuat ibarat batu karang yang tidak bergeming di hantam ombak bertubu-tubi.
Firman Allah, “Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu, dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu’.” (Al-Baqarah: 45).
Ibnu Katsir berkata, “Adapun firman Allah, ‘Dan shalat’, maka shalat termasuk penolong terbesar dalam keteguhan dalam suatu perkara.”
Firman Allah, “Hai orang-orang yang beriman, jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.” (Al-Baqarah: 153).
Ibnu Katsir berkata, “Allah Taala menjelaskan bahwa sarana terbaik sebagai penolong dalam memikul musibah adalah kesabaran dan shalat.”
Imam Abu Dawud meriwayatkan dari Hudzaefah bahwa jika Rasulullah saw tertimpa suatu perkara yang berat maka beliau melakukan shalat. (HR. Abu Dawud nomor 1319).
Keempat: Hidup memiliki dua sisi, nikmat atau musibah, kebahagiaan atau kesedihan. Dua sisi yang menuntut sikap berbeda, syukur atau sabar. Akan tetapi persoalannya tidak mudah, karena manusia memiliki kecenderungan kufur pada saat meraih nikmat dan berkeluh kesah pada saat meraih musibah, dan inilah yang terjadi pada manusia secara umum, kecuali orang-orang yang shalat. Orang yang shalat akan mampu menyeimbangkan sikap pada kedua keadaan hidup tersebut.
Firman Allah, “Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir. Apabila ia ditimpa kesusahan ia berkeluh kesah. Dan apabila ia mendapat kebaikan ia amat kikir, kecuali orang-orang yang mengerjakan shalat, yang mereka itu tetap mengerjakan shalatnya.” (Al-Ma’arij: 19-23).
Ibnu Katsir berkata, “Kemudian Allah berfirman, ‘Kecuali orang-orang yang shalat’ yakni manusia dari sisi bahwa dia memiliki sifat-sifat tercela kecuali orang yang dijaga, diberi taufik dan ditunjukkan oleh Allah kepada kebaikan yang dimudahkan sebab-sebabnya olehNya dan mereka adalah orang-orang shalat.”
Sebagian dari hikmah yang penulis sebutkan di atas cukup untuk membuktikan bahwa shalat adalah ibadah mulia lagi agung di mana kita membutuhkannya dan bukan ia yang membutuhkan kita, dari sini kita mendapatkan ayat-ayat al-Qur`an menetapkan bahwa perkara shalat ini merupakan salah satu wasiat Allah kepada nabi-nabi dan wasiat nabi-nabi kepada umatnya.
Allah berfirman tentang Isa putra Maryam, “Dan Dia menjadikan aku seorang yang diberkahi di mana saja aku berada, dan dia mewasiatkan kepadaku (mendirikan) shalat dan (menunaikan) zakat selama aku hidup.” (Maryam: 31).
Allah berfirman tentang Musa, “Dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku.” (Thaha: 14).
Allah berfirman tentang Ismail, “Dan ia menyuruh ahlinya untuk shalat dan menunaikan zakat, dan ia adalah seorang yang diridhai di sisi Tuhannya.” (Maryam: 55).
Allah berfirman tentang Ibrahim, “Ya Tuhanku, jadikanlah aku dan anak cucuku orang-orang yang tetap mendirikan shalat, Ya Tuhan kami, perkenankanlah doaku.” (Ibrahim: 40).
Allah berfirman tentang Nabi Muhammad, “Dan perintahkanlah kepada keluargamu mendirikan shalat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya.” (Thaha: 132).

Menyentuh wanita membatalkan wudhu ?

Ini adalah masalah fikih yang diperbincangkan oleh para ulama bahkan perbincangan tentang hal ini telah terjadi di kalangan para sahabat, karena masalah ini telah menjadi perbincangan dan yang memperbincangkan dari kalangan sahabat tidak mencapai kata sepakat, maka tidak tercapainya kata sepakat dalam hal ini menjadi warisan generasi sesudah mereka sampai kepada kita. Masalah ini di sebagian kalangan orang awam terkadang memicu konflik. Ini kembali kepada ketidakmengertian mereka terhadap duduk persoalan yang sebenarnya. Inilah tujuan penulis menurunkan masalah ini yaitu agar masalah ini dipahami dan didudukkan pada posisi yang sesuai dengan kadarnya.
Terdapat beberapa pendapat di kalangan ulama tentang masalah ini. Penulis hanya akan menurunkan tiga pendapat saja karena dalil-dalil yang ada memungkinkan sebagai pendukung ketiga pendapat tersebut.
Pendapat pertama: Tidak membatalkan secara mutlak. Ini pendapat Abu Hanifah.
Pendapat kedua: Membatalkan secara mutlak jika terjadi di antara non mahram. Adapun antara mahram maka yang shahih tidak. Ini adalah pendapat asy-Syafi’i.
Pendapat ketiga: Membatalkan jika dengan syahwat dan tidak jika tidak dengan syahwat. Ini adalah pendapat Malik dan ini yang zhahir dalam madzhab Hanbali.
Dalil dari masing-masing pendapat:
Dalil pendapat pertama:
1.
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا أَنَّ النَّبِيَ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّم : قَبَّلَ بَعْضَ نِسَائِهِ ثُمَّ خَرَجَ إِلىَ الصَّلاَةِ وَلَمْ يَتَوَضَّأ. أَخْرَجَهُ أَحْمَد .
Dari Aisyah dari Nabi saw mencium sebagian istrinya lalu beliau pergi shalat tanpa berwudhu. (HR. Ahmad. Hadits ini diperselsihkan keshahihahnnya. Ada yang mendhaifkan dan ada yang menshahihkan. Di antara yang menshahihkan adalah al-Albani dan Ahmad Syakir).
2. Hadits riwayat Muslim dari Aisyah berkata, “Suatu malam aku kehilangan Rasulullah saw di tempat tidur, aku mencari-cari maka tanganku memegang telapak kaki beliau yang sedang shalat.”
3. Hadits Aisyah di ash-Shahihain bahwa Nabi saw shalat sementara Aisyah tidur melintang di arah kiblat Rasulullah saw. Jika beliau hendak sujud beliau mencolek kaki Aisyah maka dia menarik kakinya.
Dalil pendapat kedua:
Firman Allah, “Atau menyentuh perempuan.” (Al-Maidah: 6).
الَلمْسُ Secara hakiki adalah menyentuh kulit dengan dalil firman Allah, فَلَمَسُوْهُ بِأَيْدِيْهِمْ “Lalu mereka dapat menyentuhnya dengan tangan mereka sendiri.” (Al-An’am: 7).
Juga dengan dalil sabda Nabi saw kepada Maiz, لَعَلَّكَ قَبَّلْتَ أَوْ لَمَسْتَ “Mungkin kamu menciumnya atau menyentuhnya.”
Penafsiran اللمس dengan menyentuh kulit ini didukung dengan hadits Malik dari Ibnu Syihab dari Salim bin Abdullah dari bapaknya berkata, “Ciuman suami kepada istri dan sentuhannya kepadanya dengan tangannya termasuk المُلاَمَسَه . Barangsiapa mencium istrinya atau menyentuhnya dengan tangannya maka dia harus berwudhu.”
An-Nawawi di al-Majmu’ berkata, “Ini adalah sanad yang sangat shahih.”
Dalil pendapat ketiga:
Pendapat ketiga ini menggabungkan dua pendapat sebelumnya. Kata pendapat ini, yang dimaksud dengan اللمس dalam ayat adalah اللمس dengan syahwat. Ini membatalkan. Adapun اللمس antara Nabi saw dengan Aisyah dan ciuman beliau kepadanya maka ia tanpa syahwat. Jadi ia tidak membatalkan. Di samping itu –menurut pendapat ini- pada dasarnya, اللمس tidak membatalkan, hanya saja ia mungkin menjadi sebab keluarnya sesuatu yang membatalkan dan itu terjadi jika اللمس dengan syahwat. Adapun اللمس tanpa syahwat maka ia sejalan dengan prinsip tidak membatalkan.
Dari uraian pendapat berikut dalil-dalilnya maka penulis bisa katakan bahwa masalah ini termasuk masalah-masalah di mana dalil-dalil yang ada memungkinkan terjadinya perbedaan pendapat dan masing-masing pendapat memiliki sisi dalil yang bisa diterima, walaupun demikian bila kita masuk ke tarjih yang merupakan tuntutan dari perbedaan maka penulis melihat pendapat pertama lebih jelas dari segi dalil yang mendukungnya tanpa perlu penafsiran ini dan itu, dalilnya jelas dan langsung kepada tema masalah.
Ibnu Taimiyah berkata (Majmu’atul Fatawa 18/210), “Tidak seorang pun menukil dari Nabi saw bahwa beliau menyuruh kaum muslimin berwudhu karena menyentuh wanita tidak pula dinukil bahwa beliau berwudhu karenanya. Tidak ada perbedaan dalam hal ini.”
Tentang dalil pendapat kedua. Dikatakan اللمس berarti persentuhan kulit. Ini benar dan pada dasarnya memang demikian, akan tetapi dalam ayat ia lebih layak ditafsirkan dengan hubungan sumi istri –dan ini adalah tafsir Ibnu Abbas- karena jika kita menafsirkannya dengan persentuhan maka terjadi pengulangan pada ayat karena sebelumnya disebutkan, “Atau kembali dari buang hajat.” Ini hadas kecil lalu menyentuh juga hadas kecil padahal konteks ayat menyebutkan thaharah dari hadas kecil dengan wudhu dan thaharah dari hadas besar dengan mandi, ini tidak sejalan dengan balaghah al-Qur`an. Berbeda jika ia ditafsirkan dengan hubungan sumi istri, maka ayat tersebut mencakup dua thaharah sekaligus sebab dari masing-masing thaharah.
Tentang dalil pendapat ketiga, dikatakan, pada dasarnya menyentuh tidak membatalkan. Ini adalah kaidah dasar dan tidak semua menyentuh dengan syahwat mengeluarkan sesuatu yang membatalkan. Ada menyentuh dengan syahwat tetapi tidak keluar apapun. Di samping itu dalil yang menetapkan persentuhan Nabi saw dengan sebagian istrinya bersifat mutlak tanpa membedakan. Wallahu a’lam.
(Rujukan : asy-Syarhul Mumti’ Ibnu Utsaimin, Fiqhus Sunnah Sayid Sabiq, Taudhih al-Ahkam Ibnu Bassam dan al-Majmu’ an-Nawawi dan lain-lain).