Pages

Jejalur

Seek knowledge from the cradle to the grave.

Jejalur

Seek knowledge from the cradle to the grave.

Jejalur

Seek knowledge from the cradle to the grave.

Jejalur

Seek knowledge from the cradle to the grave.

Jejalur

Seek knowledge from the cradle to the grave.

Sunday, June 29, 2014

Salman AL Farisi - Pencari kebenaran

Ia datang dari tanah Persia, tempat di mana Islam dianut oleh orang-orang Mukmin yang tidak sedikit jumlahnya sepeninggalnya. Dari kalangan mereka muncul pribadi-pribadi istimewa yang tiada taranya, baik dalam bidang ilmu pengetahuan keagamaan, maupun keduniaan.
 Dan memang, salah satu dari keistimewaan dan kebesaran Islam ialah, setiap ia memasuki suatu negeri dari negeri-negeri Allah, maka dengan keajaiban luar biasa dibangkitkannya setiap keahlian, digerakkannya segala kemampuan.
 Salman RA sendiri turut menyaksikan hal tersebut, karena ia memang terlibat dan mempunyai hubungan erat dengan kejadian itu. Peristiwa itu terjadi waktu Perang Khandaq, yaitu pada tahun ke-5 Hijrah. Beberapa orang pemuka Yahudi pergi ke Makkah.
 Mereka bertujuan menghasut orang-orang musyrik dan golongan-golongan kuffar agar bersekutu menghadapi Rasulullah SAW dan kaum Muslimin. Mereka juga berjanji akan memberikan bantuan dalam perang penentuan yang akan menumbangkan serta mencabut urat akar agama baru ini.
 Siasat dan taktik perang pun diaturlah secara licik, bahwa tentara Quraisy dan Ghatafan akan menyerang Kota Madinah dari luar, sementara Bani Quraidzah (Yahudi) akan menyerangnya dari dalam, yaitu dari belakang barisan kaum Muslimim. Sehingga mereka akan terjepit dari dua arah, karenanya mereka akan hancur lumat dan hanya tinggal nama belaka.
 Demikianlah pada suatu hari, kaum Muslimin tiba-tiba melihat datangnya pasukan tentara yang besar mendekati Kota Madinah, membawa perbekalan banyak dan persenjataan lengkap untuk menghancurkan. Kaum Muslimin panik dan mereka bagaikan kehilangan akal melihat hal yang tidak diduga-duga itu.
 Sebanyak 24.000 orang prajurit di bawah pimpinan Abu Sufyan dan Uyainah bin Hisyam menghampiri Kota Madinah dengan maksud hendak mengepung dan melepaskan pukulan menentukan yang akan menghabisi Nabi Muhammad SAW serta para sahabatnya.
 Kaum Muslimin menginsafi keadaan mereka yang gawat ini, Rasulullah SAW pun mengumpulkan para sahabatnya untuk bermusyawarah. Dan tentu saja mereka semua setuju untuk bertahan dan mengangkat senjata, tetapi apa yang harus mereka lakukan untuk bertahan itu?
 Ketika itulah tampil seorang yang tinggi jangkung dan berambut lebat, seorang yang disayangi dan amat dihormati oleh Rasulullah SAW. Itulah dia Salman Al-Farisi RA. Dari tempat ketinggian ia melayangkan pandang meninjau sekitar Madinah.
 Dan sebagai telah dikenalnya juga didapatinya kota itu dilingkupi gunung dan bukit-bukit batu yang tak ubahnya benteng juga. Hanya saja, di sana terdapat pula daerah terbuka, luas dan terbentang panjang. Hingga dengan mudah akan dapat diserbu musuh untuk memasuki benteng pertahanan.
Di negeri Persi, Salman RA telah mempunyai pengalaman luas tentang teknik dan sarana perang, begitu pun tentang siasat dan liku-likunya.
 Maka tampillah ia mengajukan usul kepada Rasulullah SAW, yaitu suatu rencana yang belum pernah dikenal oleh orang-orang Arab dalam peperangan mereka selama ini.
 Rencana itu berupa penggalian khandaq atau parit perlindungan sepanjang daerah terbuka keliling kota. Dan hanya Allah yang lebih mengetahui apa yang akan dialami Kaum Muslimin dalam peperangan itu seandainya mereka tidak menggali parit atau usul Salman tersebut.
 Begitu Quraisy menyaksikan parit terbentang di hadapan, mereka merasa terpukul melihat hal yang tidak disangka-sangka itu. Hingga tidak kurang sebulan lamanya kekuatan mereka bagai terpaku di kemah-kemah karena tidak berdaya menerobos kota.
 Pada suatu malam, Allah SWT mengirim angin topan yang menerbangkan kemah-kemah dan memporak-porandakan tentara mereka. Abu Sufyan pun menyerukan kepada anak buahnya agar kembali pulang ke kampung mereka dalam keadaan kecewa dan berputus asa serta menderita kekalahan pahit.
 Sewaktu menggali parit, Salman tidak ketinggalan bekerja bersama kaum Muslimin yang sibuk menggali tanah. Juga Rasulullah SAW ikut membawa tembilang dan membelah batu. Kebetulan di tempat penggalian Salman bersama kawan-kawannya, tembilang mereka terbentur pada sebuah batu besar.
 Salman, seorang yang berperawakan kukuh dan bertenaga besar. Sekali ayun dari lengannya yang kuat akan dapat membelah batu dan memecahnya menjadi pecahan-pecahan kecil. Tetapi menghadapi batu besar ini ia tak berdaya, sedang bantuan dari teman-temannya hanya menghasilkan kegagalan belaka.
 Salman pergi mendapatkan Rasulullah SAW dan minta izin mengalihkan jalur parit dari garis semula, untuk menghindari batu besar yang tak tergoyahkan itu. Rasulullah pun pergi bersama Salman untuk melihat sendiri keadaan tempat dan batu besar tadi.
 Setelah menyaksikannya, Rasulullah SAW meminta sebuah tembilang dan menyuruh para sahabat mundur dan menghindarkan diri dari pecahan-pecahan batu itu nanti. Rasulullah lalu membaca basmalah dan mengangkat kedua tangannya yang sedang memegang erat tembilang itu, dan dengan sekuat tenaga dihunjamkannya ke batu besar itu. Kiranya batu itu terbelah dan dari celah belahannya yang besar keluar lambaian api yang tinggi dan menerangi.
Salman sedang duduk di bawah naungan sebatang pohon yang rindang berdaun rimbun, di muka rumahnya di Kota Madain, sedang menceriterakan kepada sahabat-sahabatnya perjuangan berat yang dialaminya demi mencari kebenaran.

Ia mengisahkan kepada mereka bagaimana ia meninggalkan agama nenek moyangnya bangsa Parsi masuk ke dalam agama Nasrani dan dari sana pindah ke dalam agama Islam.
 Betapa ia telah meninggalkan kekayaan berlimpah dari orang tuanya dan menjatuhkan dirinya ke dalam lembah kemiskinan demi kebebasan pikiran dan jiwanya.
 Betapa ia dijual di pasar budak dalam mencari kebenaran itu, bagaimana ia berjumpa dengan Rasulullah SAW dan iman kepadanya. Marilah kita dekati majlisnya yang mulia dan kita dengarkan kisah menakjubkan yang diceriterakannya.
 “Aku berasal dari Isfahan, warga suatu desa yang bernama “Ji”. Bapakku seorang bupati di daerah itu, dan aku merupakan makhluk Allah yang paling disayanginya. Aku membaktikan diri dalam agama Majusi, hingga diserahi tugas sebagai penjaga api yang bertanggung jawab atas nyalanya dan tidak membiarkannya padam.
 Bapakku memiliki sebidang tanah, dan pada suatu hari aku disuruh­nya ke sana. Dalam perjalanan ke tempat tujuan, aku lewat di sebuah gereja milik kaum Nasrani. Kudengar mereka sedang sembahyang, maka aku masuk ke dalam untuk melihat apa yang mereka lakukan.
 Aku kagum melihat cara mereka sembahyang, dan kataku dalam hati, ‘Ini lebih baik dari apa yang aku anut selama ini!’ Aku tidak beranjak dari tempat itu sampai matahari terbenam, dan tidak jadi pergi ke tanah milik bapakku serta tidak pula kembali pulang. Hingga bapak mengirim orang untuk menyusulku.
 Karena agama mereka menarik perhatianku, kutanyakan kepada orang-orang Nasrani dari mana asal-usul agama mereka. ‘Dari Syria,’ ujar Mereka.
 Ketika telah berada di hadapan bapakku, kukatakan kepadanya, ‘Aku lewat pada suatu kaum yang sedang melakukan upacara sembahyang di gereja. Upacara mereka amat mengagumkanku. Kulihat pula agama mereka lebih baik dari agama kita.’ Aku pun berdiskusi dengan bapakku dan berakhir dengan dirantainya kakiku dan dipenjarakannya diriku.

Kepada orang-orang Nasrani kukirim berita bahwa aku telah menganut agama mereka. Kuminta pula agar bila datang rombongan dari Syiria, supaya aku diberi tahu sebelum mereka kembali, karena aku akan ikut bersama mereka ke sana.
 Permintaanku itu mereka kabulkan, maka kuputuskan rantai, lalu meloloskan diri dari penjara dan menggabungkan diri kepada rombongan itu menuju Syria (Suriah).”
“Lalu tatkala ia wafat, aku pun berangkat ke Mosul dan menghubungi pendeta yang disebutkannya itu. Kuceriterakan kepadanya pesan dari uskup tadi dan aku tinggal bersamanya selama waktu yang dikehendaki Allah.
 Kemudian tatkala ajalnya telah dekat pula, kutanyakan kepadanya siapa yang harus kuturuti. Ditunjukkannyalah orang saleh yang tinggal di Nasibin. Aku datang kepadanya dan kuceriterakan perihalku, lalu tinggal bersamanya selama waktu yang dikehendaki Allah pula.
 Tatkala ia hendak meninggal, kubertanya pula kepadanya. Maka disuruhnya aku menghubungi seorang pemimpin yang tinggal di Amuria, suatu kota yang termasuk wilayah Romawi.
 Aku berangkat ke sana dan tinggal bersamanya, sedang sebagai bekal hidup aku berternak sapi dan kambing beberapa ekor banyaknya.
 Tak lama kemudian dekatlah pula ajalnya dan kutanyakan padanya kepada siapa aku dipercayakannya. Katanya, ‘Anakku, tak seorang pun yang kukenal serupa dengan kita keadaannya dan dapat kupercayakan engkau padanya.
 Tetapi sekarang telah dekat datangnya masa kebangkitan seorang Nabi yang mengikuti agama Ibrahim secara murni. Ia nanti akan hijrah he suatu tempat yang ditumbuhi kurma dan terletak di antara dua bidang tanah berbatu-batu kitam.
 Seandainya kamu dapat pergi ke sana, temuilah dia. Ia mempunyai tanda-tanda yang jelas dan gamblang: ia tidak mau makan sedekah, sebaliknya bersedia menerima hadiah dan di pundaknya ada cap kenabian yang bila kau melihatnya, segeralah kau mengenalinya.’
 Kebetulan pada suatu hari lewatlah suatu rombongan berkendaraan, lalu kutanyakan dari mana mereka datang. Tahulah aku bahwa mereka dari jazirah Arab, maka kataku kepada mereka, ‘Maukah kalian membawaku ke negeri kalian, dan sebagai imbalannya kuberikan kepada kalian sapi-sapi dan kambing-kambingku ini?’
 ‘Baiklah,’ ujar Mereka.

Demikianlah, mereka membawaku serta dalam perjalanan hingga sampai di suatu negeri yang bernama Wadil Qura. Di sana aku mengalami penganiayaan, mereka menjualku kepada seorang Yahudi.
 Ketika tampak olehku banyak pohon kurma, aku berharap kiranya negeri ini yang disebutkan pendeta kepadaku dulu, yakni yang akan menjadi tempat hijrah Nabi yang ditunggu. Ternyata dugaanku meleset.
 Mulai saat itu, aku tinggal bersama orang yang membeliku, hingga pada suatu hari datang seorang Yahudi Bani Quraizhah yang membeliku pula daripadanya. Aku dibawanya ke Madinah. Dan demi Allah, baru saja kulihat negeri itu, aku pun yakin itulah negeri yang disebutkan dulu.
 Aku tinggal bersama Yahudi itu dan bekerja di perkebunan kurma milik Bani Quraizhah, hingga datang saat dibangkitkannya Rasulullah SAW yang datang ke Madinah dan singgah pada Bani Amr bin Auf di Quba.”
“Aku tinggal bersama Yahudi itu dan bekerja di perkebunan kurma milik Bani Quraizhah, hingga datang saat dibangkitkannya Rasulullah SAW yang datang ke Madinah dan singgah pada Bani Amr bin Auf di Quba.
 Pada suatu hari, ketika aku berada di puncak pohon kurma sedang majikanku sedang duduk dibawahnya, tiba-tiba datang seorang Yahudi seudara sepupunya yang mengatakan kepadanya, ‘Bani Qilah celaka!’
 Mereka berkerumun mengelilingi seorang laki-laki di Quba yang datang dari Makkah dan mengaku sebagai Nabi. Demi Allah, baru saja ia mengucapkan kata-kata itu, tubuhku pun bergetar keras hingga pohon kurma itu bagai bergoncang dan hampir saja aku jatuh menimpa majikanku.
 Aku segera turun dan kataku kepada orang tadi, ‘Apa kata Anda? Ada berita apakah?’
 Majikanku mengangkat tangan lalu meninjuku sekuatnya, serta bentaknya, ‘Apa urusanmu dengan ini, ayo kembali ke pekerjaanmu!’ Maka aku pun kembalilah bekerja.
 Setelah hari petang, kukumpulkan segala yang ada padaku, lalu keluar dan pergi menemui Rasulullah SAW di Quba. Aku mendatanginya ketika beliau sedang duduk bersama beberapa orang anggota rombongan.
 Kukatakan kepadanya, ‘Tuan-tuan adalah perantau yang sedang dalam kebutuhan. Kebetulan aku mempunyai persediaan makanan yang telah kujanjikan untuk sedekah. Dan setelah mendengar keadaan Tuan-tuan, maka menurut hematku, Tuan-tuanlah yang lebih layak menerimanya, dan makanan itu kubawa ke sini.’ Lalu makanan itu kutaruh di hadapannya.
 ‘Makanlah dengan nama Allah!’ sabda Rasulullah SAW kepada para sahabatnya, tetapi beliau tak sedikit pun mengulurkan tangannya menjamah makanan itu. ‘Nah, demi Allah!’kataku dalam hati, ‘Inilah satu dari tanda-tandanya, bahwa ia tak mau memakan harta sedekah.’
 Aku kembali pulang, tetapi pagi-pagi keesokan harinya aku kembali menemui Rasulullah SAW  sambil membawa makanan, serta kataku kepadanya, ‘Kulihat Tuan tidak ingin makan sedekah, tetapi aku mempunyai sesuatu yang ingin kuserahkan kepada Tuan sebagai hadiah.’
 Lalu kutaruh makanan di hadapannya. Maka sabdanya kepada sahabatnya, ‘Makanlah dengan menyebut nama Allah!’ Dan beliau pun turut makan bersama mereka. ‘Demi Allah, kataku dalam hati, inilah tanda yang kedua, bahwa ia bersedia menerima hadiah.’
 Aku kembali pulang dan tinggal di tempatku beberapa lama. Kemudian kupergi mencari Rasulullah SAW dan kutemui beliau di Baqi sedang mengiringkan jenazah dan dikelilingi oleh sahabat- sahabatnya. Ia memakai dua lembar kain lebar, yang satu dipakainya untuk sarung dan yang satu lagi sebagai baju.
 Kuucapkan salam kepadanya dan kutolehkan pandangan hendak melihatnya. Rupanya ia mengerti akan maksudku, maka disingkapkannya kain burdah dari lehernya hingga nampak pada pundaknya tanda yang kucari, yaitu cap kenabian sebagai disebutkan oleh pendeta dulu.
 Melihat itu aku meratap dan menciuminya sambil menangis. Lalu aku dipanggil menghadap oleh Rasulullah. Aku duduk di hadapannya, lalu kuceriterakan kisahku kepadanya sebagai yang telah kuceriterakan tadi.
 Kemudian aku masuk Islam, dan perbudakan menjadi penghalang bagiku untuk menyertai Perang Badar dan Uhud. Lalu pada suatu hari Rasulullah menitahkan padaku, ‘Mintalah pada majikanmu agar ia bersedia membebaskanmu dengan menerima uang tebusan.’
 Maka kumintalah kepada majikanku sebagaimana dititahkan Rasulullah, sementara Rasulullah menyuruh para sahabat untuk membantuku dalam soal keuangan. Demikianlah, aku dimerdekakan oleh Allah, dan hidup sebagai seorang Muslim yang bebas merdeka, serta mengambil bagian bersama Rasulullah dalam Perang Khandaq dan peperangan lainnya."
Sungguh, keislaman Salman Al-Farisi RA adalah keislaman orang-orang utama dan takwa. Dan dalam kecerdasan, kesahajaan dan kebebasan dari pengaruh dunia, maka keadaannya mirip sekali dengan Umar bin Khathab.
 Ia pernah tinggal bersama Abu Darda di sebuah rumah beberapa hari lamanya. Sedang kebiasaan Abu Darda beribadah di waktu malam dan shaum di waktu siang. Salman melarangnya berlebih-lebihan dalam beribadah seperti itu.
 Pada suatu hari, Salman bermaksud hendak mematahkan niat Abu Darda untuk shaum sunah esok hari. Dia menyalahkannya, “Apakah engkau hendak melarangku shaum dan shalat karena Allah?” kata Abu Darda.
 Salman menjawab, “Sesungguhnya kedua matamu mempunyai hak atas dirimu, demikian pula keluargamu mempunyai hak atas dirimu. Di samping engkau shaum, berbukalah dan di samping melakukan shalat, tidurlah!”
 Peristiwa itu sampai ke telinga Rasulullah SAW. Beliau bersabda, “Sungguh Salman telah dipenuhi dengan ilmu.”
 Rasulullah SAW sendiri sering memuji kecerdasan Salman serta ketinggian ilmunya, sebagaimana beliau memuji agama dan budi pekertinya yang luhur. Di waktu Perang Khandaq, kaum Anshar sama-sama berdiri dan berkata, “Salman dari golongan kami.”

Bangkitlah pula kaum Muhajirin, kata mereka, “Tidak, ia dari golongan kami!”
 Mereka pun dipanggil oleh Rasulullah SAW, dan sabdanya, “Salman adalah golongan kami, Ahlul Bait.”
 Dan memang selayaknyalah jika Salman RA mendapat kehormatan seperti itu. Ali bin Abi Thalib RA menggelari Salman dengan “Luqmanul Hakim”. Dan sewaktu ditanya mengenai Salman, yang ketika itu telah wafat, maka jawabnya, “Ia adalah seorang yang datang dari kami dan kembali kepada kami, Ahlul Bait.”
 “Siapa pula di antara kalian yang akan dapat menyamai Luqmanul Hakim. Ia telah beroleh ilmu yang pertama begitu pula ilmu yang terakhir. Dan telah dibacanya kitab yang pertama dan juga kitab yang terakhir. Tak ubahnya ia bagai lautan yang airnya tak pernah kering,” lanjut Ali.
 Dalam kalbu para sahabat umumnya, pribadi Salman Al-Farisi telah mendapat kedudukan mulia dan derajat utama. Di masa pemerintahan Khalifah Umar RA, ia datang berkunjung ke Madinah. Maka Umar melakukan penyambutan yang setahu kita belum pernah dilakukannya kepada siapa pun juga.
 Dikumpulkannya para sahabat dan mengajak mereka, “Marilah kita pergi menyambut Salman!” Lalu Umar keluar bersama mereka menuju pinggiran Kota Madinah untuk menyambutnya.
Ketika Salman RA berada di atas pembaringan menjelang ajalnya, Sa’ad bin Abi Waqqash datang menjenguknya. Lalu Salman menangis.
 “Apa yang Anda tangiskan, Wahai Abu Abdillah?” tanya Sa’ad. “Padahal, Rasulullah SAW wafat dalam keadaan ridha kepada anda?”
 "Demi Allah, aku menangis bukanlah karena takut mati ataupun mengharap kemewahan dunia, hanya Rasulullah telah menyampaikan suatu pesan kepada kita. Beliau bersabda, ‘Hendaklah bagian masing-masingmu dari kekayaan dunia ini seperti bekal seorang pengendara.’ Padahal, harta milikku begini banyaknya,” ujar Salman.

“Saya perhatikan tak ada yang tampak di sekelilingku kecuali satu piring dan sebuah baskom,” kata Sa’ad.

Lalu kata Sa’ad lagi, "Wahai Abu Abdillah, berilah kami suatu pesan yang akan kami ingat selalu darimu!”
 “Wahai Sa’ad, ingatlah Allah di kala dukamu, sedang kau menderita. Dan pada putusanmu jika kamu menghukumi. Dan pada saat tanganmu melakukan pembagian.”
 Rupanya inilah yang telah mengisi kalbu Salman mengenai kekayaan dan kepuasan. Ia telah memenuhinya dengan zuhud terhadap dunia dan segala harta, pangkat dengan pengaruhnya, yaitu pesan Rasulullah SAW kepadanya dan kepada semua sahabatnya, agar mereka tidak dikuasai oleh dunia dan tidak mengambil bagian daripadanya, kecuali sekedar bekal seorang pengendara.
 Salman telah memenuhi pesan itu sebaik-baiknya, namun air matanya masih jatuh berderai ketika rohnya telah siap untuk berangkat, khawatir kalau-kalau ia telah melampaui batas yang ditetapkan. Tak terdapat di ruangannya kecuali sebuah piring wadah makannya dan sebuah baskom untuk tempat minum dan wudhu, tetapi walau demikian ia menganggap dirinya telah berlaku boros.
 Tak satu pun barang berharga dalam kehidupan dunia ini yang digemari atau diutamakan oleh Salman sedikit pun, kecuali suatu barang yang memang amat diharapkan dan dipentingkannya, bahkan telah dititipkan kepada istrinya untuk disimpan di tempat yang tersembunyi dan aman.
 Ketika dalam sakit yang membawa ajalnya, yaitu pada pagi hari kepergiannya, dipanggillah sang istri untuk mengambil titipannya dahulu. Kiranya hanyalah seikat kesturi yang diperolehnya waktu pembebasan Jalula dahulu. Barang itu sengaja disimpan untuk wangi-wangian di hari wafatnya.

Kemudian sang istri disuruhnya mengambil secangkir air, ditaburinya dengan kesturi yang dikocok dengan tangannya, lalu kata Salman kepada istrinya, “Percikkanlah air ini ke sekelilingku. Sekarang telah hadir di hadapanku makhluk Allah yang tiada dapat makan, hanyalah gemar wangi-wangian.”
 Setelah selesai, ia berkata kepada istrinya, “Tutupkanlah pintu dan turunlah!” Perintah itu pun diturut oleh istrinya.
 Dan tak lama antaranya istrinya kembali masuk, didapatinya roh yang beroleh berkah telah meninggalkan dunia dan berpisah dari jasadnya. Ia telah mencapai alam tinggi, dibawa terbang oleh sayap kerinduan, rindu memenuhi janjinya untuk bertemu lagi dengan Rasulullah Muhammad SAW dan kedua sahabatnya, Abu Bakar dan Umar, dan para syuhada lainnya.

Mush'ab bin Umair - Duta Islam yang pertama

Mush'ab bin Umair salah seorang di antara sahabat Nabi. Alangkah baiknya jika kita memulai kisah dengan pribadinya. Seorang remaja Quraisy terkemuka, seorang yang paling tampan, penuh dengan jiwa dan semangat kemudaan.
Para Muarrikh dan ahli riwayat melukiskan semangat kemudaanya dengan kalimat "Seorang warga kota mekah yang mempunyai nama paling harum".
Ia lahir dan di besarkan dalam kesenangan, dan tumbuh dalam lingkungannya. Mungkin tak seorangpun diantara anak-anak muda mekah yang beruntung dimanjakan oleh kedua orangtuanya demikian rupa sebagai yang di alami oleh Mush'ab Bin Umair.
Sungguh, kisah hidupnya menjadi kebanggaan bagi kemanusiaan umumnya. Suatu hari anak muda ini mendengar berita yang telah tersebar luas dilalangan warga Mekah mengenai Muhammad Al Amin. Muhammad Saw., yang mengatakan bahwa dirinya telah di utus Allah sebagai pembawa berita suka maupun duka, sebagai da'i yang mengajak beribadat kepada Allah Tuhan Yang Maha Esa.
Sementara perhatian warga mekah terpusat pada berita itu, dan tiada yang menjadi buah pembicaraan mereka kecuali tentang Rasulullah. serta agama yang dibawanya, maka anak muda yang manja ini paling banyak mendengar berita itu. Karena walaupun usianya masih belia, tetapi ia menjadi bunga majelis tempat-tempat pertemuan yang selalu di harapkan kehadirannya oleh para anggota dan teman-temannya.
Di antara berita yang didengarnya ialah bahwa Rasulullah bersama pengikutnya biasa mengadakan pertemuan di suatu tempat yang terhindar jauh dari gangguan gerombolan Quraisy dan ancaman-ancamannya, yaitu di bukit Shafa di rumah Arqam bin Abil Arqam.
Maka pada suatu senja, didorong oleh kerinduannya, pergilah ia ke rumah Arqam menyertai rombongan itu. Di tempat itu Rasulullah SAW sering berkumpul dengan para sahabatnya, mengajarkan mereka ayat-ayat Alquran dan mengajak mereka beribadah kepada Allah Yang Maha Akbar.
Baru saja Mush'ab mengambil tempat duduknya, ayat-ayat Alqur'an mulai mengalir dari kalbu Rasulullah bergema melalui kedua bibirnya dan sampai ke telinga, meresap di hati para pendengar. Di senja itu Mush'ab pun terpesona oleh untaian kalimat Rasulullah yang tepat menemui sasaran di kalbunya.
Khunas binti Malik yakni ibunda Mush'ab, adalah seorang yang berkepribadian kuat dan pendiriannya tak dapat ditawar atau diganggu gugat, Ia wanita yang disegani bahkan ditakuti. Ketika Mush'ab memeluk Islam, tiada satu kekuatan pun yang ditakuti dan dikhawatirkannya selain ibunya sendiri.
Bahkan walau seluruh penduduk Makkah beserta berhala-berhala para pembesar dan padang pasirnya berubah rupa menjadi suatu kekuatan yang menakutkan yang hendak menyerang dan menghancurkannya, tentulah Mush'ab akan menganggapnya enteng. Tapi tantangan dari ibunya, bagi Mush'ab tidak dapat dianggap kecil. Ia pun segera berpikir keras dan mengambil keputusan untuk menyembunyikan keislamannya sampai terjadi sesuatu yang dikehendaki Allah.
Demikianlah ia senantiasa bolak-balik ke rumah Arqam menghadiri majelis Rasulullah, sedang hatinya merasa bahagia dengan keimanan dan sedia menebusnya dengan amarah murka ibunya yang belum mengetahui berita keislamannya.
Tetapi di kota Makkah tiada rahasia yang tersembunyi, apalagi dalam suasana seperti itu. Mata kaum Quraisy berkeliaran di mana-mana mengikuti setiap langkah dan menyelusuri setiap jejak. Kebetulan seorang yang bernama Utsman bin Thalhah melihat Mush'ab memasuki rumah Arqam secara sembunyi. Kemudian pada hari yang lain dilihatnya pula ia shalat seperti Muhammad SAW. Secepat kilat ia mendapatkan ibu Mush'ab dan melaporkan berita yang dijamin kebenarannya.
Berdirilah Mush'ab di hadapan ibu dan keluarganya serta para pembesar Makkah yang berkumpul di rumahnya. Dengan hati yang yakin dan pasti dibacakannya ayat-ayat Alquran yang disampaikan Rasulullah untuk mencuci hati nurani mereka, mengisinya dengan hikmah dan kemuliaan, kejujuran dan ketakwaan.
Ketika sang ibu hendak membungkam mulut putranya dengan tamparan keras, tiba-tiba tangan yang terulur bagai anak panah itu surut dan jatuh terkulai, ketika melihat cahaya yang membuat wajah putranya berseri cemerlang itu kian berwibawa. Karena rasa keibuannya, ibunda Mush'ab tak jadi menyakiti putranya. Dibawalah puteranya itu ke suatu tempat terpencil di rumahnya, lalu dikurung dan dipenjarakannya dengan rapat.
Demikianlah beberapa lama Mush'ab tinggal dalam kurungan sampai saat beberapa orang Muslimin hijrah ke Habasyah. Mendengar berita hijrah ini Mush'ab pun mencari muslihat, dan berhasil mengelabui ibu dan penjaga-penjaganya, lalu pergi ke Habasyah melindungkan diri. Ia tinggal di sana bersama saudara-saudaranya kaum Muslimin, lalu pulang ke Makkah. Kemudian ia pergi lagi hijrah kedua kalinya bersama para sahabat atas titah Rasulullah dan karena taat kepadanya.
Pada Suatu hari ia tampil di hadapan beberapa orang Muslimin yang sedang duduk sekeliling Rasulullah SAW. Demi memandang Mush'ab, mereka menundukkan kepala dan memejamkan mata, sementara beberapa orang matanya basah karena duka. Mereka melihat Mush'ab memakai jubah usang yang bertambal-tambal, padahal belum lagi hilang dari ingatan mereka—pakaiannya sebelum masuk Islam—tak ubahnya bagaikan kembang di taman, berwarna-warni dan menghamburkan bau yang wangi.
Adapun Rasulullah, menatapnya dengan pandangan penuh arti, disertai cinta kasih dan syukur dalam hati. Pada kedua bibirnya tersungging senyuman mulia, seraya berkata, "Dahulu aku lihat Mush'ab ini tak ada yang mengimbangi dalam memperoleh kesenangan dari orang tuanya, kemudian ditinggalkannya semua itu demi cintanya kepada Allah dan Rasul-Nya."
Suatu saat Mush'ab dipilih Rasulullah untuk melakukan suatu tugas maha penting saat itu. Ia menjadi duta atau utusan Rasul ke Madinah untuk mengajarkan agama Islam kepada orang-orang Anshar yang telah beriman dan berbaiat kepada Rasulullah di bukit Aqabah. Di samping itu, ia juga mempersiapkan kota Madinah untuk menyambut hijrah Rasulullah sebagai peristiwa besar.
Sebenarnya, di kalangan sahabat ketika itu masih banyak yang lebih tua, lebih berpengaruh dan lebih dekat hubungan kekeluargaannya dengan Rasulullah daripada Mush'ab. Tetapi Rasulullah menjatuhkan pilihannya kepada Mush'ab. Dan bukan tidak menyadari sepenuhnya bahwa beliau telah memikulkan tugas amat penting ke atas pundak pemuda itu dan menyerahkan kepadanya tanggung jawab nasib Agama Islam di kota Madinah.
Mush'ab memikul amant itu dengan bekal karunia Allah kepadanya, berupa pikiran yang cerdas dan budi yang luhur. Dengan sifat zuhud, kejujuran dan kesungguhan hati, ia berhasil melunakkan dan menawan hati penduduk Madinah hingga mereka berduyun-duyun masuk Islam. Ketika tiba di Madinah pertama kali, ia mendapati kaum Muslimin tidak lebih dari dua belas orang, yakni hanya orang-orang yang telah baiat di bukit Aqabah. Namun beberapa bulan kemudian, meningkatlah jumlah orang-orang yang memenuhi panggilan Allah dan Rasul-Nya.
Mush'ab memahami tugas dengan sepenuhnya, hingga tak terlanjur melampaui batas yang telah diterapkan. Ia sadar bahwa tugasnya adalah menyeru kepada Allah, menyampaikan berita gembira lahirnya suatu agama yang mengajak manusia mencapai hidayah Allah, membimbing mereka ke jalan yang lurus. Akhlaknya mengikuti pola hidup Rasulullah SAW yang diimaninya yang mengemban kewajiban hanya menyampaikan belaka. Demikianlah duta Rasulullah yang pertama itu telah mencapai hasil gemilang yang tiada taranya, suatu keberhasilan yang memang wajar dan layak diperolehnya.
Dalam Perang Uhud, Mush'ab bin Umair adalah salah seorang pahlawan dan pembawa bendera perang. Ketika situasi mulai gawat karena kaum Muslimin melupakan perintah Nabi, maka ia mengacungkan bendera setinggi-tingginya dan bertakbir sekeras-kerasnya, lalu maju menyerang musuh. Targetnya, untuk menarik perhatian musuh kepadanya dan melupakan Rasulullah SAW. Dengan demikian ia membentuk barisan tentara dengan dirinya sendiri.
Tiba-tiba datang musuh bernama Ibnu Qumaiah dengan menunggang kuda, lalu menebas tangan Mush'ab hingga putus, sementara Mush'ab meneriakkan, "Muhammad itu tiada lain hanyalah seorang Rasul, yang sebelumnya telah didahului oleh beberapa Rasul."
Maka Mush'ab memegang bendera dengan tangan kirinya sambil membungkuk melindunginya. Musuh pun menebas tangan kirinya itu hingga putus pula. Mush'ab membungkuk ke arah bendera, lalu dengan kedua pangkal lengan meraihnya ke dada sambil berucap, "Muhammad itu tiada lain hanyalah seorang Rasul, dan sebelumnya telah didahului oleh beberapa Rasul."
Lalu orang berkuda itu menyerangnya ketiga kali dengan tombak, dan menusukkannya hingga tombak itu pun patah. Mush'ab pun gugur, dan bendera jatuh. Ia gugur sebagai bintang dan mahkota para syuhada.
Rasulullah bersama para sahabat datang meninjau medan pertempuran untuk menyampaikan perpisahan kepada para syuhada. Ketika sampai di tempat terbaringnya jasad Mush'ab, bercucuranlah dengan deras air matanya.
Tak sehelai pun kain untuk menutupi jasadnya selain sehelai burdah. Andai ditaruh di atas kepalanya, terbukalah kedua belah kakinya. Sebaliknya bila ditutupkan di kakinya, terbukalah kepalanya. Maka Rasulullah SAW bersabda, "Tutupkanlah ke bagian kepalanya, dan kakinya tutuplah dengan rumput idzkhir!"
Kemudian sambil memandangi burdah yang digunakan untuk kain penutup itu, Rasulullah berkata, "Ketika di Makkah dulu, tak seorang pun aku lihat yang lebih halus pakaiannya dan lebih rapi rambutnya daripadanya. Tetapi sekarang ini, dengan rambutmu yang kusut masai, hanya dibalut sehelai burdah."
Setelah melayangkan pandang, ke arah medan laga serta para syuhada, kawan-kawan Mush'ab yang tergeletak di atasnya, Rasulullah berseru, "Sungguh, Rasulullah akan menjadi saksi nanti di hari kiamat, bahwa kalian semua adalah syuhada di sisi Allah!"
Kemudian sambil berpaling ke arah sahabat yang masih hidup, Rasulullah bersabda, "Hai manusia, berziarahlah dan berkunjunglah kepada mereka, serta ucapkanlah salam! Demi Allah yang menguasai nyawaku, tak seorang Muslim pun sampai hari kiamat yang memberi salam kepada mereka, pasti mereka akan membalasnya."