Pages

Jejalur

Seek knowledge from the cradle to the grave.

Jejalur

Seek knowledge from the cradle to the grave.

Jejalur

Seek knowledge from the cradle to the grave.

Jejalur

Seek knowledge from the cradle to the grave.

Jejalur

Seek knowledge from the cradle to the grave.

Saturday, October 27, 2012

Niat dalam shalat

Definisi
Niat adalah maksud atau keinginan kuat dalam hati untuk melakukan sesuatu. Dalam terminologi syar’i niat berarti keinginan melakukan ketaatan kepada Allah dengan melaksanakan perbuatan atau meninggalkannya.
Niat dalam shalat
Imam an-Nawawi dalam al-Majmu’ berkata, “Niat adalah fardhu, shalat tidak sah tanpanya, Ibnul Mundzir dalam kitabnya al-Asyraf dan kitab al-Ijma’, Syaikh Abu Hamid al-Isfirayini, Qadhi Abu ath-Thayyib, penulis asy-Syamil, Muhammad bin Yahya dan lain-lainnya menukil ijma’ ulama bahwa shalat tidak sah tanpa niat.”
Jadi para ulama telah berijma’ bahwa shalat tanpa niat tidak sah, ijma’ ini berdasar kepada hadits Umar bin al-Khatthab yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim bahwa Nabi saw bersabda,
“Sesungguhnya amal-amal itu dengan niat dan sesungguhnya masing-masing orang mendapatkan apa yang dia niatkan.”
Apakah niat termasuk rukun ataukah syarat?
Setelah para ulama bersepakat bahwa niat adalah wajib dan bahwa shalat tidak sah tanpanya, mereka berselisih pendapat tentang apakah niat itu rukun shalat ataukah syarat sahnya shalat? Ada yang berkata yang pertama dan ada yang berkata yang kedua, Imam an-Nawawi dalam al-Majmu’ 3/276 berkata, “Yang shahih lagi masyhur adalah bahwa ia syarat bukan rukun.” Pilihan Imam an-Nawawi inilah yang shahih karena niat dilakukan di luar atau sebelum shalat, sesuatu yang harus dipenuhi sebelum sesuatu lebih dekat dinamai syarat daripada rukun, karena rukun lazim ada di dalam sesuatu. Penulis sendiri tidak melihat faidah khilaf yang berarti karena pihak yang mengatakan bahwa niat merupakan rukun dan pihak yang mengatakan bahwa niat merupakan syarat menyepakati bahwa ia wajib dan shalat tidak sah tanpanya.
Tempat niat
Niat termasuk perbuatan hati maka tempatnya adalah di dalam hati, bahkan semua perbuatan yang hendak dilakukan oleh manusia, niatnya secara otomatis tertanam di dalam hatinya, bagaimanan dia akan melakukan kalau tidak ada niat di dalam hatinya?
Dari sini maka niat dalam shalat cukup di dalam hati tidak perlu dan tidak dianjurkan untuk dilafazhkan dengan lisan, tidak perlu ada lafzah, ushalli fardha al-maghribi dan sepertinya. Dalam matan al-Muhadzdzab (fikih madzhab asy-Syafi’i) dikatakan, “Tempat niat adalah hati, jika dia berniat dengan hatinya tanpa lisannya maka itu sudah cukup, dan di antara kawan-kawan kami ada yang berkata, ‘berniat dengan hati dan berlafazh dengan lisan’. Dan ini bukan apa-apa, karena niat adalah maksud dengan hati.”
Kita melihat penulis al-Muhadzdzab mengomentari pendapat sebagian kawannya yang mengatakan, ‘Berniat dalam hati dan melafazhkan dengan lisan.’ Ini berarti dia menggabungkan antara niat hati dan lafazh dengan lisan, ini berarti ada talaffuzh dengan niat, penulis al-Muhadzdzab berkata tentangnya, “Bukan apa-apa.”
Asal usul talaffuzh dengan niat adalah kekeliruan dalam memahami ucapan Imam asy-Syafi’i -semoga Allah merahmatinya- yang terjadi pada salah seorang ulama madzhab asy-Syafi’i Abu Abdullah az-Zubairi, orang ini -semoga Allah merahmatinya- berkata, “Tidak cukup baginya sehingga dia menggabungkan antara niat hati dan talaffuzh lisan, karena asy-Syafi’i -semoga Allah merahmatinya- berkata dalam haji, ‘Jika dia berniat haji atau umrah, maka sudah cukup baginya walaupun dia tidak bertalaffuzh, ia tidak seperti shalat, ia (shalat) tidak sah kecuali dengan an-nutqi(ucapan)’.”
Perkara ini telah diluruskan oleh Imam an-Nawawi dalam al-Majmu’ 3/277, dia berkata, kawan-kawan kami berkata, “Orang yang berkata ini keliru, maksud asy-Syafi’i dengan ucapan dalam shalat bukan itu, akan tetapi maksudnya adalah takbir. Seandainya dia bertalaffuzh dengan lisannya tetapi tidak berniat dengan hatinya maka shalatnya tidak sah dengan ijma’.”
Dari pelurusan Imam an-Nawawi ini kita mengetahui bahwa Imam asy-Syafi’i -semoga Allah merahmatinya- tidak menganjurkan talaffuzh bin niyyah (melafazhkan niat), dan bahwa perkara ini datang dari sebagian pengikut madzhab asy-Syafi’i yang keliru memahami ucapan sang Imam, dari sini sudah saatnya dan sudah sepantasnya para pengikut madzhab kembali kepada pendapat sang Imam karena ia adalah pendapat yang benar.
Dalil-dalil yang menetapkan tidak adanya talaffuzh dalam niat
Imam Muslim meriwayatkan dari Aisyah berkata, “Rasulullah saw membuka shalat dengan takbir.” Jadi sebelum takbir tidak ada talaffuzh dengan niat, karena jika ada maka Aisyah akan menyampaikannya.
Abdullah bin Umar berkata, “Aku melihat Rasulullah saw membuka shalat dengan takbir, beliau mengangkat…(HR. al-Bukhari dan Muslim). Jika sebelum takbir ada sesuatu ucapan, tentu Ibnu Umar akan menyampaikannya.
Demikian pula dengan pelajaran shalat Nabi saw kepada seorang laki-laki yang shalat dengan buruk, “Jika kamu shalat maka sempurnakanlah wudhu, kemudian menghadaplah kiblat, lalu bertakbirlah, kemudian bacalah al-Qur`an yang termudah bagimu…(HR. Al-Bukhari dan Muslim). Mana talaffuzh dengan niat? Adakah Nabi saw lupa mengajarkannya kepada laki-laki ini yang membutuhkan ilmu tentang shalat?
Imam Ibnul Qayyim dalam Zadul Ma’ad 1/201 berkata tentang masalah ini, “Jika Nabi saw berdiri shalat beliau berkata, ‘Allahu Akbar’ beliau tidak mengucapkan sesuatu sebelumnya, tidak bertalaffuzh dengan niat sekalipun, beliau tidak berkata, ‘Saya shalat karena Allah begini menghadap kiblat empat rakaat sebagai imam atau makmum’. Tidak pula beliau berucap, ‘Sebagai pelaksanaan atau qadha’ dan tidak pula, ‘kewajiban waktu’. Ini adalah sepuluh bid’ah, tidak seorang pun yang menukil satu lafazh pun darinya dari beliau, tidak dengan sanad shahih maupun dhaif, tidak dengan sanad maupun mursal, bahkan tidak dari seorang sahabat beliau, tidak seorang pun dari kalangan tabiin yang menyatakannya, begitu pula dengan para Imam yang empat, akan tetapi yang terjadi adalah kekeliruan sebagian kalangan mutaakhkhirin dalam memahami ucapan asy-Syafi’i dalam shalat, ‘Ia tidak seperti puasa, dan seseorang tidak masuk ke dalamnya kecuali dengan dzikir.’ Maka dia menduga bahwa dzikir di sini adalah bertalaffuzh dengan niat, padahal maksud asy-Syafi’i dengan dzikir adalah ucapan Allahu Akbar, bukan lainnya, bagaimana mungkin asy-Syafi’i menganjurkan sesuatu yang tidak dilakukan oleh Nabi saw dalam satu shalat pun, tidak pula dilakukan oleh para khulafa` Nabi saw dan para sahabat beliau, ini adalah petunjuk dan sirah mereka, jika ada orang yang bisa menghadirkan satu huruf dari mereka maka kami menerimanya, dan tidak ada petunjuk yang lebih sempurna daripada petunjuk mereka, dan tidak ada sunnah selain apa yang mereka terima dari peletak syariat Muhammad saw.”

Shalat dan kedudukannya

Definisi Shalat.
Shalat dari segi bahasa berarti doa kebaikan, penggunaan kata ini dikenal dalam bahasa Arab sebelum ia ditransfer kepada makna syar’i.
Firman Allah Taala,
وَصَلِّ عَلَيْهِمْ إِنَّ صَلاَتَكَ سَكَنٌ لَهُمْ .
“Dan mendoalah untuk mereka, sesungguhnya doa kamu itu menjadi ketentraman jiwa bagi mereka.” (At-Taubah: 103)
Shalat dari segi istilah syar’i adalah perkataan-perkataan dan perbuatan-perbuatan khusus yang diawali dengan takbir dan ditutup dengan salam.
Shalat dinamakan shalat karena ia mengandung makna dari segi bahasa yaitu doa kebaikan. Dalam Kitab al-Inshaf dikatakan, “Inilah yang shahih yang dipegang oleh jumhur fuqaha’ dan ahli bahasa Arab.”
Kedudukan shalat.
Shalat adalah salah satu rukun Islam yang lima, ia hadir setelah syahadatain sebagai bukti pertama dan utama atas kebenarannya, Allah Taala mewajibkannya kepada Rasulullah saw pada malam Mi’raj tiga tahun sebelum hijrah di langit secara langsung tanpa perantara malaikat.
Anas bin Malik berkata, “Shalat diwajibkan atas Nabi saw pada malam beliau diisra’kan sebanyak lima puluh shalat, kemudian dikurangi sehingga ia menjadi lima, kemudian diserukan, ‘Wahai Muhammad, perkataan padaKu tidak dirubah dan dengan lima itu kamu mendapatkan lima puluh.” (HR. Ahmad, at-Tirmidzi dan an-Nasa`i).
Shalat merupakan had (pembatas) antara seseorang dengan kekufuran dan kesyirikan.
Nabi saw bersabda,
إِنَّ بَيْنَ الرَّجُلِ وَبَيْنَ الشِّرْكِ وَالكُفْرِ تَرْكُ الصَّلاَةِ .
“Sesungguhnya antara seseorang dengan kesyirikan dan kekufuran adalah meninggalkan shalat.” (HR. Muslim dari Jabir bin Abdullah).
عن بريدة بن الحصيب رضي الله عنه قال : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلّم : اَلعَهْدُ الّذِي بَيْنَنَا وَبَيْنَهُمْ الصَّلاَة فَمَنْ تَرَكَهَا فَقَدْ كَفَرَ.
Dari Buraidah bin al-Hushaib berkata, Rasulullah saw bersabda, “Perjanjian antara kami dengan mereka adalah shalat, barangsiapa meninggalkannya maka dia kafir.” (HR. Ahmad, at-Tirmidzi, dia berkata, “Hadits hasan shahih gharib.” An-Nasa`i dan dishahihkan oleh al-Albani dalam Shahih at-Targhib wa at-Tarhib, 1/226).
Shalat merupakan tiang bagi segala perkara dalam agama,
Sebagaimana dalam hadits Muadz bin Jabal yang panjang, Nabi saw bersabda,
رَأْسُ الأَمْرِ الإِسْلاَمُ، وَعَمُوْدُهُ الصَّلاَةُ، وَذِرْوَةُ سَنَامِهِ الجِهَادُ.
“Kepala bagi perkara adalah Islam, tiangnya adalah shalat dan puncak punuknya adalah jihad.” (HR. Ahmad, at-Tirmidzi, dia berkata, “Hasan shahih.” Dishahihkan oleh al-Albani dalam takhrij kitab al-Iman, Ibnu Abi Syaibah no. 1).
Shalat adalah amal hamba yang pertama kali dihisab oleh Allah Taala pada Hari Kiamat.
Nabi saw bersabda,
إِنَّ أَوَّلَ مَا يُحَاسَبُ بِهِ العَبْدُ الصَّلاَةُ.
“Perkara pertama dimana seorang hamba dihisab atasnya adalah shalat.” (HR. an-Nasa`i dishahihkan oleh al-Albani dalam ash-Shahihah no. 1748).
Dalam hadits Abu Hurairah berkata, Aku mendengar Rasulullah saw bersabda,
إِنَّ أَوَّلَ مَا يُحَاسَبُ بِهِ العَبْدُ صَلاَتُهُ، فَإِنْ أَتَمَّهَا، وَإِلاَّ نُظِرَ هَلْ لَهُ مِنْ تَطَوُّعٍ، فَإِنْ كَانَ لَهُ تَطَوُّعٌ، أُكْمِلَتْ الفَرِيْضَةُ مِنْ تَطَوُّعِهِ، ثُمَّ تُرْفَعُ سَائِرُ الأَعْمَالِ عَلىَ ذَلِكَ.
“Sesungguhnya perkara pertama yang dihisab atas seorang hamba adalah shalatnya, jika dia menyempurnakannya, dan jika tidak maka dilihat apakah dia mempunyai shalat sunnah, jika dia memiliki shalat sunnah maka shalat wajibnya disempurnakan dari shalat sunnahnya kemudian amal-amal lainnya diangkat di atas itu.” (HR. Ahmad, Ibnu Majah dan dishahihkan oleh al-Albani dalam ash-Shahihah no. 1358).
Shalat merupakan ibadah yang tidak mengenal kata, ‘Saya tidak mampu.’
Karena ia wajib dalam segala kondisi tanpa memberi peluang kepada seorang muslim untuk berkata, ‘Saya sakit atau saya bepergian atau saya sibuk’ dan alasan-alasan lainnya, selama seorang muslim berakal dan nyawanya masih dikandung badan maka tidak ada alasan untuk tidak shalat, sampai dalam kondisi takutpun Allah Taala tetap memerintahkan kaum muslimin untuk tetap mendirikan shalat meskipun dengan merubah sebagian tatanannya, hal ini merupakan bukti yang berbicara tentang kedudukan shalat.
Firman Allah, “Peliharalah segala shalatmu dan peliharalah shalat wustha. Berdirilah karena Allah dalam shalatmu dengan khusu’. Jika kamu dalam keadaan takut (bahaya) maka shalatlah sambil berjalan atau berkendaraan.” (Al-Baqarah: 238-239).
Melihat kepada kedudukan shalat yang agung dalam agama Islam maka Allah Taala menamakan shalat dengan iman
FirmanNya, “Dan Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu.” (Al-Baqarah: 143).
Ibnu Katsir berkata tentang ayat ini, “Firman Allah, ‘Dan Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu’, yakni shalatmu ke Baitul Maqdis sebelum itu, pahalanya tidak akan sia-sia di sisi Allah.”
Ibnul Qayyim dalam kitab ash-Shalah menjelaskan tentang kedudukan shalat, beliau berkata, “Shalat memiliki keistimewaan-keistimewaan yang tidak dimiliki oleh ibadah selainnya, ia adalah kewajiban Islam pertama yang ditetapkan oleh Allah. Oleh karena itu Nabi saw berpesan kepada utusan-utusan dan delegasi-delegasinya agar memulai berdakwah kepadanya setelah syahadatain. Beliau bersabda kepada Muadz,
‘Kamu akan mendatangi suatu kaum ahli kitab, hendaknya perkara pertama yang kamu dakwahkan kepada mereka adalah syahadat la ilaha illallah dan bahwa Muhammad adalah Rasulullah dan bahwa Allah telah mewajibkan shalat lima waktu sehari semalam.’ (HR. al-Bukhari dan Muslim),
dan karena ia adalah ibadah hamba yang pertama kali dihisab, Allah mewajibkannya di langit pada malam Mi’raj, itu adalah ibadah yang paling banyak disebut di dalam al-Qur`an. Peduduk neraka ketika ditanya,
‘Apakah yang memasukkan kamu ke dalam Saqar (neraka)?’ (Al-Muddatstsir: 42),
mereka tidak memulai menjawab dengan sesuatu selain meninggalkan shalat, kewajiban shalat tidak gugur dari seorang hamba dalam kondisi apapun selama dia berakal, berbeda dengan kewajiban-kewajibna lainnya yang wajib dalam kondisi dan tidak dalam kondisi lainnya, ia adalah tonggak bangunan Islam, jika tonggak sebuah bangunan runtuh maka runtuhlah bangunan, ia adalah bagian dari agama yang hilang paling kafir, ia wajib atas orang merdeka dan hamba sahaya, laki-laki dan perempuan, orang mukim dan musafir, orang sehat dan sakit, orang kaya dan orang miskin.”
Muhammad bin Nashr al-Marwazhi dalam kitabnya Ta’zhim Qadr ash-Shalah menjelaskan tentang kedudukan shalat, beliau berkata, “Di antara dalil yang dengannya Allah menetapkan keagungan kedudukan shalat dan bahwa ia berbeda dengan amal-amal yang lain adalah pewajibanNya terhadapnya atas nabi-nabi dan rasul-rasulNya dan pemberitahuanNya tentang pengagungan mereka terhadapnya, di antara hal tersebut adalah bahwa Allah azj mendekatkan Musa kepadaNya pada saat dia bermunajat dan Dia berbicara kepadanya. Perkara pertama yang Allah wajibkan atasnya setelah Dia mewajibkan beribadah kepadaNya adalah mendirikan shalat, Allah tidak menetapkan kewajiban selainnya atasnya. Allah berfirman berbicara kepada Musa dengan kalimat-kalimatNya tanpa penerjemah.
‘Maka dengarkanlah apa yang akan diwahyukan (kepadamu). Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang hak) selain Aku, maka sembahlah Aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku.’ (Thaha: 13).
Hal tersebut membuktikan keagungan kedudukan shalat dan keutamaannya atas amal-amal yang lain di mana Dia tidak memulai Musa yang bermunajat kepadanya dan Dia berbicara kepadanya dengan suatu kewajiban yang mendahuluinya.”

Hikmah Shalat

Allah adalah al-Hakim, pemilik hikmah, tidak ada sesuatu yang Dia syariatkan kecuali ia pasti mengandung hikmah, tidak ada sesuatu dari Allah yang sia-sia dan tidak berguna karena hal itu bertentangan dengan hikmahNya, dan kita sebagai manusia dengan keterbatasan tidak mungkin mengetahui dan mengungkap seluruh hikmah yang terkandung dalam apa yang Allah syariatkan dan tetapkan, apa yang kita ketahui dari hikmah Allah hanyalah sebagian kecil, dan yang tidak kita ketahui jauh lebih besar, “Dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit.” (Al-Isra`: 85). Sekecil apapun dari hikmah Allah dalam sesuatu yang bisa kita ketahui, hal itu sudah lebih dari cukup untuk mendorong dan memacu kita untuk melakukan sesuatu tersebut karena pengetahuan tentang kebaikan sesuatu melecut orang untuk melakukannya.
Ibadah shalat yang merupakan ibadah teragung dalam Islam termasuk ibadah yang kaya dengan kandungan hikmah kebaikan bagi orang yang melaksanakannya. Siapaun yang mengetahui dan pernah merasakannya mengakui hak itu, oleh karena itu dia tidak akan rela meninggalkannya, sebaliknya orang yang tidak pernah mengetahui akan berkata, untuk apa shalat? Dengan nada pengingkaran.
Pertama: Manusia memiliki dorongan nafsu kepada kebaikan dan keburukan, yang pertama ditumbuhkan dan yang kedua direm dan dikendalikan, dan sarana pengendali terbaik adalah ibadah shalat. Kenyataan membuktikan bahwa orang yang menegakkan shalat adalah orang yang paling minim melakukan tindak kemaksiatan dan kriminal, sebaliknya semakin jauh seseorang dari shalat, semakin terbuka peluang kemaksiatan dan kriminalnya.
Firman Allah, “Dan dirikanlah shalat, sesungguhnya shalat itu mencegah dari perbuatan-perbuatan keji dan mungkar.” (Al-Ankabut: 45).
Dari sini kita memahami makna dari penyandingan Allah antara menyia-nyiakan shalat dengan mengikuti syahwat yang berujung kepada kesesatan.
Firman Allah, “Maka datanglah sesudah mereka, pengganti (yang jelek) yang menyia-nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsunya, maka mereka kelak akan menemui kesesatan.” (Maryam: 59).
Kedua: Seandainya seseorang telah terlanjur terjatuh kedalam kemaksiatan dan hal ini pasti terjadi karena tidak ada menusia yang ma’shum (terjaga dari dosa) selain para nabi dan rasul, maka shalat merupakan pembersih dan kaffarat terbaik untuk itu.
Rasulullah saw mengumpamakan shalat lima waktu dengan sebuah sungai yang mengalir di depan pintu rumah salah seorang dari kita, lalu dia mandi di sungai itu lima kali dalam sehari semalam, adakah kotoran ditubuhnya yang masih tersisa?
Dari Abu Hurairah berkata, aku mendengar Rasulullah saw bersabda,
أَرَأَيْتُمْ لَوْ أَنَّ نَهْرَاً بِبَابِ أَحَدِكُمْ يَغْتَسِلُ مِنْهُ كُلَّ يَوْمٍ خَمْسَ مَرَّاتٍ هَلْ يَبْقَى مِنْ دَرَنِهِ شَيْءٌ؟ قَالُوا: لاَ يَبْقَى مِنْ دَرَنِهِ شَيْءٌ، قَالَ: فَذَلِكَ مَثَلُ الصَّلَوَاتِ الخَمْسِ يَمْحُو الله بِهِنَّ الخَطَايَا.
“Menurut kalian seandainya ada sungai di depan pintu rumah salah seorang dari kalian di mana dia mandi di dalamnya setiap hari lima kali, apakah masih ada kotorannya yang tersisa sedikit pun?” Mereka menjawab,”Tidak ada kotoran yang tersisa sedikit pun.” Rasulullah saw bersabda, “Begitulah perumpamaan shalat lima waktu, dengannya Allah menghapus kesalahan-kesalahan.” (HR. al-Bukhari dan Muslim).
Dari Ibnu Mas’ud bahwa seorang laki-laki mendaratkan sebuah ciuman kepada seorang wanita, lalu dia datang kepada Nabi saw dan menyampaikan hal itu kepada beliau, maka Allah menurunkan, “Dan dirikanlah shalat itu pada kedua tepi siang (pagi dan petang) dan pada bahagian permulaan daripada malam. Sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang baik itu menghapuskan (dosa) perbuatan-perbuatan yang buruk.” (Hud: 114) Laki-laki itu berkata, “Ini untukku?” Nabi saw menjawab, “Untuk seluruh umatku.” (Muttafaq Alaihi).
Ketiga: Hidup manusia tidak terbebas dari ujian dan cobaan, kesulitan dan kesempitan dan dalam semua itu manusia memerlukan pegangan dan pijakan kokoh, jika tidak maka dia akan terseret dan tidak mampu mengatasinya untuk bisa keluar darinya dengan selamat seperti yang diharapkan, pijakan dan pegangan kokoh terbaik adalah shalat, dengannya seseorang menjadi kuat ibarat batu karang yang tidak bergeming di hantam ombak bertubu-tubi.
Firman Allah, “Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu, dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu’.” (Al-Baqarah: 45).
Ibnu Katsir berkata, “Adapun firman Allah, ‘Dan shalat’, maka shalat termasuk penolong terbesar dalam keteguhan dalam suatu perkara.”
Firman Allah, “Hai orang-orang yang beriman, jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.” (Al-Baqarah: 153).
Ibnu Katsir berkata, “Allah Taala menjelaskan bahwa sarana terbaik sebagai penolong dalam memikul musibah adalah kesabaran dan shalat.”
Imam Abu Dawud meriwayatkan dari Hudzaefah bahwa jika Rasulullah saw tertimpa suatu perkara yang berat maka beliau melakukan shalat. (HR. Abu Dawud nomor 1319).
Keempat: Hidup memiliki dua sisi, nikmat atau musibah, kebahagiaan atau kesedihan. Dua sisi yang menuntut sikap berbeda, syukur atau sabar. Akan tetapi persoalannya tidak mudah, karena manusia memiliki kecenderungan kufur pada saat meraih nikmat dan berkeluh kesah pada saat meraih musibah, dan inilah yang terjadi pada manusia secara umum, kecuali orang-orang yang shalat. Orang yang shalat akan mampu menyeimbangkan sikap pada kedua keadaan hidup tersebut.
Firman Allah, “Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir. Apabila ia ditimpa kesusahan ia berkeluh kesah. Dan apabila ia mendapat kebaikan ia amat kikir, kecuali orang-orang yang mengerjakan shalat, yang mereka itu tetap mengerjakan shalatnya.” (Al-Ma’arij: 19-23).
Ibnu Katsir berkata, “Kemudian Allah berfirman, ‘Kecuali orang-orang yang shalat’ yakni manusia dari sisi bahwa dia memiliki sifat-sifat tercela kecuali orang yang dijaga, diberi taufik dan ditunjukkan oleh Allah kepada kebaikan yang dimudahkan sebab-sebabnya olehNya dan mereka adalah orang-orang shalat.”
Sebagian dari hikmah yang penulis sebutkan di atas cukup untuk membuktikan bahwa shalat adalah ibadah mulia lagi agung di mana kita membutuhkannya dan bukan ia yang membutuhkan kita, dari sini kita mendapatkan ayat-ayat al-Qur`an menetapkan bahwa perkara shalat ini merupakan salah satu wasiat Allah kepada nabi-nabi dan wasiat nabi-nabi kepada umatnya.
Allah berfirman tentang Isa putra Maryam, “Dan Dia menjadikan aku seorang yang diberkahi di mana saja aku berada, dan dia mewasiatkan kepadaku (mendirikan) shalat dan (menunaikan) zakat selama aku hidup.” (Maryam: 31).
Allah berfirman tentang Musa, “Dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku.” (Thaha: 14).
Allah berfirman tentang Ismail, “Dan ia menyuruh ahlinya untuk shalat dan menunaikan zakat, dan ia adalah seorang yang diridhai di sisi Tuhannya.” (Maryam: 55).
Allah berfirman tentang Ibrahim, “Ya Tuhanku, jadikanlah aku dan anak cucuku orang-orang yang tetap mendirikan shalat, Ya Tuhan kami, perkenankanlah doaku.” (Ibrahim: 40).
Allah berfirman tentang Nabi Muhammad, “Dan perintahkanlah kepada keluargamu mendirikan shalat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya.” (Thaha: 132).

Menyentuh wanita membatalkan wudhu ?

Ini adalah masalah fikih yang diperbincangkan oleh para ulama bahkan perbincangan tentang hal ini telah terjadi di kalangan para sahabat, karena masalah ini telah menjadi perbincangan dan yang memperbincangkan dari kalangan sahabat tidak mencapai kata sepakat, maka tidak tercapainya kata sepakat dalam hal ini menjadi warisan generasi sesudah mereka sampai kepada kita. Masalah ini di sebagian kalangan orang awam terkadang memicu konflik. Ini kembali kepada ketidakmengertian mereka terhadap duduk persoalan yang sebenarnya. Inilah tujuan penulis menurunkan masalah ini yaitu agar masalah ini dipahami dan didudukkan pada posisi yang sesuai dengan kadarnya.
Terdapat beberapa pendapat di kalangan ulama tentang masalah ini. Penulis hanya akan menurunkan tiga pendapat saja karena dalil-dalil yang ada memungkinkan sebagai pendukung ketiga pendapat tersebut.
Pendapat pertama: Tidak membatalkan secara mutlak. Ini pendapat Abu Hanifah.
Pendapat kedua: Membatalkan secara mutlak jika terjadi di antara non mahram. Adapun antara mahram maka yang shahih tidak. Ini adalah pendapat asy-Syafi’i.
Pendapat ketiga: Membatalkan jika dengan syahwat dan tidak jika tidak dengan syahwat. Ini adalah pendapat Malik dan ini yang zhahir dalam madzhab Hanbali.
Dalil dari masing-masing pendapat:
Dalil pendapat pertama:
1.
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا أَنَّ النَّبِيَ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّم : قَبَّلَ بَعْضَ نِسَائِهِ ثُمَّ خَرَجَ إِلىَ الصَّلاَةِ وَلَمْ يَتَوَضَّأ. أَخْرَجَهُ أَحْمَد .
Dari Aisyah dari Nabi saw mencium sebagian istrinya lalu beliau pergi shalat tanpa berwudhu. (HR. Ahmad. Hadits ini diperselsihkan keshahihahnnya. Ada yang mendhaifkan dan ada yang menshahihkan. Di antara yang menshahihkan adalah al-Albani dan Ahmad Syakir).
2. Hadits riwayat Muslim dari Aisyah berkata, “Suatu malam aku kehilangan Rasulullah saw di tempat tidur, aku mencari-cari maka tanganku memegang telapak kaki beliau yang sedang shalat.”
3. Hadits Aisyah di ash-Shahihain bahwa Nabi saw shalat sementara Aisyah tidur melintang di arah kiblat Rasulullah saw. Jika beliau hendak sujud beliau mencolek kaki Aisyah maka dia menarik kakinya.
Dalil pendapat kedua:
Firman Allah, “Atau menyentuh perempuan.” (Al-Maidah: 6).
الَلمْسُ Secara hakiki adalah menyentuh kulit dengan dalil firman Allah, فَلَمَسُوْهُ بِأَيْدِيْهِمْ “Lalu mereka dapat menyentuhnya dengan tangan mereka sendiri.” (Al-An’am: 7).
Juga dengan dalil sabda Nabi saw kepada Maiz, لَعَلَّكَ قَبَّلْتَ أَوْ لَمَسْتَ “Mungkin kamu menciumnya atau menyentuhnya.”
Penafsiran اللمس dengan menyentuh kulit ini didukung dengan hadits Malik dari Ibnu Syihab dari Salim bin Abdullah dari bapaknya berkata, “Ciuman suami kepada istri dan sentuhannya kepadanya dengan tangannya termasuk المُلاَمَسَه . Barangsiapa mencium istrinya atau menyentuhnya dengan tangannya maka dia harus berwudhu.”
An-Nawawi di al-Majmu’ berkata, “Ini adalah sanad yang sangat shahih.”
Dalil pendapat ketiga:
Pendapat ketiga ini menggabungkan dua pendapat sebelumnya. Kata pendapat ini, yang dimaksud dengan اللمس dalam ayat adalah اللمس dengan syahwat. Ini membatalkan. Adapun اللمس antara Nabi saw dengan Aisyah dan ciuman beliau kepadanya maka ia tanpa syahwat. Jadi ia tidak membatalkan. Di samping itu –menurut pendapat ini- pada dasarnya, اللمس tidak membatalkan, hanya saja ia mungkin menjadi sebab keluarnya sesuatu yang membatalkan dan itu terjadi jika اللمس dengan syahwat. Adapun اللمس tanpa syahwat maka ia sejalan dengan prinsip tidak membatalkan.
Dari uraian pendapat berikut dalil-dalilnya maka penulis bisa katakan bahwa masalah ini termasuk masalah-masalah di mana dalil-dalil yang ada memungkinkan terjadinya perbedaan pendapat dan masing-masing pendapat memiliki sisi dalil yang bisa diterima, walaupun demikian bila kita masuk ke tarjih yang merupakan tuntutan dari perbedaan maka penulis melihat pendapat pertama lebih jelas dari segi dalil yang mendukungnya tanpa perlu penafsiran ini dan itu, dalilnya jelas dan langsung kepada tema masalah.
Ibnu Taimiyah berkata (Majmu’atul Fatawa 18/210), “Tidak seorang pun menukil dari Nabi saw bahwa beliau menyuruh kaum muslimin berwudhu karena menyentuh wanita tidak pula dinukil bahwa beliau berwudhu karenanya. Tidak ada perbedaan dalam hal ini.”
Tentang dalil pendapat kedua. Dikatakan اللمس berarti persentuhan kulit. Ini benar dan pada dasarnya memang demikian, akan tetapi dalam ayat ia lebih layak ditafsirkan dengan hubungan sumi istri –dan ini adalah tafsir Ibnu Abbas- karena jika kita menafsirkannya dengan persentuhan maka terjadi pengulangan pada ayat karena sebelumnya disebutkan, “Atau kembali dari buang hajat.” Ini hadas kecil lalu menyentuh juga hadas kecil padahal konteks ayat menyebutkan thaharah dari hadas kecil dengan wudhu dan thaharah dari hadas besar dengan mandi, ini tidak sejalan dengan balaghah al-Qur`an. Berbeda jika ia ditafsirkan dengan hubungan sumi istri, maka ayat tersebut mencakup dua thaharah sekaligus sebab dari masing-masing thaharah.
Tentang dalil pendapat ketiga, dikatakan, pada dasarnya menyentuh tidak membatalkan. Ini adalah kaidah dasar dan tidak semua menyentuh dengan syahwat mengeluarkan sesuatu yang membatalkan. Ada menyentuh dengan syahwat tetapi tidak keluar apapun. Di samping itu dalil yang menetapkan persentuhan Nabi saw dengan sebagian istrinya bersifat mutlak tanpa membedakan. Wallahu a’lam.
(Rujukan : asy-Syarhul Mumti’ Ibnu Utsaimin, Fiqhus Sunnah Sayid Sabiq, Taudhih al-Ahkam Ibnu Bassam dan al-Majmu’ an-Nawawi dan lain-lain).

Kesalahan dalam wudhu

1. Tidak membasuh kedua telapak tangan sebelum berwudhu lebih-lebih sehabis bangun dari tidur. Sabda Nabi saw:
إِذَا سْـتَيْقَظَ أَحَدُكُمْ مِنْ مَنَامِهِ فَلاَ يَغْـمِسْ يَدَهُ فِي الإِنَاءِ حَتىَّ يَغْـسِلَهَا فَإِنَّهُ لاَيَدْرِي أَيْنَ بَاتَتْ يَدُهُ .
“Jika salah seorang dari kalian bangun dari tidurnya maka janganlah dia mencelupkan tangannya ke dalam bejana sehingga dia membasuhnya karena dia tidak mengetahui di mana tangannya bermalam.” (HR. al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah).
2. Mengusap kepala hanya dengan mengusap beberapa helai rambut saja.
Yang wajib adalah mengusap kepala bukan rambut. Jadi kalau dengan beberapa -bahkan sebagian orang hanya dengan satu dan tiga helai saja- rambut dianggap cukup dalam mengusap kepala maka ia keliru. Katakanlah ada sebagaimana ulama yang mengatakan dalam mengusap kepala cukup dengan sebagian kepala, akan tetapi tidak berarti sebagian di sini bisa diwakili dengan beberapa helai rambut semata dan penulis yakin bahwa bukan itu yang mereka maksud. Lebih-lebih yang shahih dari Nabi saw tentang mengusap kepala dalam wudhu adalah mengusap seluruhnya. Dari Abdullah bin Zaid tentang wudhu Nabi saw,
بَدَأَ بِمُقَدَّمِ رَأْسِهِ حَتىَّ ذَهَبَ بِهِمَا إِلىَ قَفَاهُ ، ثُمَّ رَدَّهُمَا إِلىَ المَكَانِ الَّذِي بَدَأَ مِنْهُ .
“Beliau memulai dengan kepala bagian depan, lalu menggerakkan kedua tangannya ke tengkuknya kemudian mengembalikan kedua tangannya ke tempat di mana beliau memulai.” (HR. Al-Bukhari).
3. Boros air.
Boros atau israf tidak dicintai Allah, termasuk dalam berwudhu, Nabi saw sendiri mencontohkan pengiritan dalam bersuci, beliau mandi dengan satu sha`, jika mandi dengan satu sha` berarti wudhu kurang dari itu. Di samping itu boros air termasuk melampui batas dalam bersuci yang dilarang. Dari Abdullah bin Mughaffal berkata, aku mendengar Rasulullah saw bersabda,
إِنَّهُ سَيَكُوْنُ فِي هَذِهِ الأُمَةِ قَوْمٌ يَعْتَدُوْنَ فِي الطَّهُوْرِ وَالدُّعَاءِ .
“Akan ada orang-orang dari umat ini yang melampui batas dalam berwudhu dan berdoa.” (HR. Abu Dawud dengan sanad –menurut al-Arnauth- yang kuat).
4. Berlebih-lebihan dengan membasuh anggota wudhu lebih dari tiga kali dan melampui batas seperti membasuh kedua tangan sampai ke bahu atau kedua kaki sampai betis bahkan lutut.
Dari Amru bin Syuaib dari bapaknya dari kakeknya bahwa seorang Arab pedalaman datang bertanya kepada Nabi saw tentang wudhu. Nabi saw menunjukkan wudhu tiga kali-tiga kali, kemudian bersabda,
“Begitulah wudhu, barangsiapa menambah dari itu maka dia telah berbuat buruk dan melampui batas.”
Hadits ini menetapkan bahwa membasuh anggota wudhu lebih dari tiga adalah buruk dan melampui batas. Begitu pula membasuh melebihi batasan yang telah ditentukan seperti membasuh tangan sampai bahu bahkan mungkin sampai pundak. Firman Allah,
“Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kamu melanggarnya. Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka itulah orang-orang yang zhalim.”(Al-Baqarah: 229).
5. Tidak menyampaikan air ke siku atau tumit.
Siku dan tumit termasuk anggota wudhu. Jadi ketika air tidak menjangkau keduanya berarti wudhu tidak sempurna karena ada anggota wudhu yang tertinggal. Firman Allah,
“Dan tanganmu sampai dengan siku.” (Al-Maidah: 6). Sampai di sini berarti bersama, jadi siku wajib dibasuh.
Jabir berkata, “Apabila Nabi saw berwudhu beliau melewatkan air ke kedua sikunya.” (HR. Al-Baihaqi dan ad-Daraquthni).
Demikianlah pula dengan tumit. Mungkin karena terburu-buru orang yang berwudhu melupakannya padahal ia termasuk kaki yang wajib dibasuh. Dari Ibnu Amru berkata, “Dalam sebuah perjalanan yang kami lakukan beliau berjalan di belakang kami. Ketika kami mendapatkan shalat kami terburu-buru, kami berwudhu dan mengusap kaki-kaki kami, maka Nabi saw memanggil dengan suara keras dua atau tiga kali.
وَيْلٌ للأَعْقَابِ مِنَ النَّارِ .
“Celaka bagi tumit-tumit itu, ia akan dijilat api neraka.” (HR. Al-Bukhari).
6. Menganggap mengusap leher dianjurkan, padahal sebenarnya tidak demikian, ia tidak dianjurkan dan tidak termasuk ibadah wudhu. Orang yang menganggap mengusap leher dianjurkan berdalil kepada hadits,
مَسْحُ الرَقَبَة أَمَانٌ مِنَ الغِلّ .
“Mengusap leher adalah keamanan dari kedengkian”. Imam an-Nawawi di al-Majmu’ berkata, “Hadits ini maudhu’,dalam hal ini tidak ada hadits yang shahih, oleh karena itu asy-Syafi’i tidak menyebutkannya tidak pula kawan-kawan kami yang mendahului kami”.
Dalam fatwa Lajnah Daimah no. 9233 dikatakan, “Tidak ada dalam kitab Allah dan Sunnah Rasulullah saw bahwa mengusap leher termasuk snnah-sunnah wudhu. Jadi mengusapnya tidak disyariatkan.”
7. Doa pada saat membasuh anggota wudhu.
Imam an-Nawawi berkata, “Doa-doa ini –yakni doa-doa pada saat membasuh anggota wudhu- tidak memiliki dasar.”
Dalam fatwa Lajnah Daimah no. 2588 dikatakan, “Tidak ada doa dari Nabi saw pada saat membasuh dan mengusap anggota wudhu dan doa yang disebutkan dalam hal ini adalah bikinan orang tidak berdasar, yang dikatahui secara syar’i adalah basmalah di awal wudhu, mengucap dua kalimat syahadat di akhir wudhu ditambah dengan,
اللَهُمَّ اجْعَلْنِيْ مِنَ التَّوَّابِيْنَ وَاجْعَلْنِيْ مِنَ المُتَطَهِّرِيْنَ .
“Ya Allah jadikanlah aku termasuk orang-orang yang bertaubat dan jadikanlah aku termasuk orang-orang yang bersuci.”
8. Menganggap berbicara pada saat wudhu tidak boleh atau makruh.
Tidak ada hadits yang melarang, dan wudhu bukanlah shalat yang dilarang berbicara di dalamnya dan tidak bisa dikiyaskan kepadanya, menganggap sesuatu tidak boleh atau makruh berarti menetapkan hukum, ia harus berdasarkan kepada dalil.
9. Menganggap berwudhu di kamar mandu dengan WC makruh. Keterangan sama dengan sebelumnya.
(Rujukan: Al-Majmu’ Imam an-Nawawi, Kifayatul Akhyar Abu Bakar al-Khusaini, Zadul Maad Ibnul Qayyim, Fatawa Lajnah Daimah).

Syarat-syarat Sah Wudhu

Syarat-syarat Sah Wudhu’

1. Niat, berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alahi wasallam :
(( إنما الأعمال بالنيات ))
“Sesungguhnya setiap amal itu tergantung pada niatnya.” [Muttafaq ‘alaih].
Tidak disyari’atkan melafadzkan niat karena tidak adanya dalil yang tetap (shahih) dari Nabi Muhammad shallallahu ‘alahi wasallam yang menunjukkan hal tersebut.
2. at-Tasmiyah (menyebut nama Allah), berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alahi wasallam :
(( لا صلاة لمن لا وضوء له، ولا وضوء لمن لم يذكر اسم الله عليه ))
“Tidak ada (tidak sah) shalat bagi orang yang tidak berwudhu’, dan tidak ada (tidak sah) wudhu’ bagi orang yang tidak menyebut nama Allah.” [Hadits hasan riwayat Abu Dawud dan Ibnu Majah].
3. al-Muwaalaah (berturut-turut/bersambung), berdasarkan hadits Khalid bin Ma’dan, bahwa Nabi shallallahu ‘alahi wasallam melihat seseorang yang shalat, sedangkan di punggung kakinya ada bagian sebesar uang dirham yang tidak terbasuh air, maka Rasulullah shallallahu ‘alahi wasallam memerintahkannya untuk mengulang wudhu’ dan shalatnya. [Hadits shahih riwayat Abu Dawud]

Fardhu-fardhu Wudhu’
1. Membasuh muka, tercakup di dalamnya berkumur-kumur dan istinsyaaq (memasukkan air ke hidung).
2. Membasuh kedua tangan sampai kedua siku.
3. Mengusap kepala seluruhnya (termasuk kedua telinga), karena kedua telinga termasuk bagian dari kepala.
4. Membasuh kedua kaki sampai kedua mata kaki.

Hal ini berdasarkan firman Allah subhanahu wata’aala :
{ ياأيها الذين ءَامَنُواْ إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصلاة فاغسلوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى المرافق وامسحوا بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الكعبين }
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki.” [Surat al-Maaidah : 6]
Adapun dalil yang menunjukkan bahwa berkumur-kumur dan istinsyaaq (memasukkan air ke hidung) termasuk bagian dari membasuh muka sehingga wajib dilakukan adalah perintah Allah subhanahu wata’aala di dalam kitab-Nya yang mulia untuk membasuh muka, dan telah tetap dari Rasulullah shallallahu ‘alahi wasallam bahwasannya beliau senantiasa berkumur-kumur dan istinsyaaq setiap kali berwudhu’, dan semua orang yang meriwayatkan hadits tentang tata cara wudhu’ Rasulullah shallallahu ‘alahi wasallam menyebutkan hal ini. Dari keterangan di atas dapat diambil kesimpulan bahwa membasuh muka yang diperintahkan dalam al-Qur’an mencakup berkumur-kumur dan istinsyaaq. [Sailul Jarrar]
Bahkan Rasulullah shallallahu ‘alahi wasallam sendiri telah memerintahkan hal tersebut dalam sabdanya,
(( إذا توضأ أحدكم فليجعل في أنفه ماء، ثم ليستنثر ))
“Apabila salah seorang diantara kalian berwudhu’, maka hendaklah ia memasukkan air ke hidungnya kemudian mengeluarkannya.” [Hadits shahih riwayat Abu Dawud dan an-Nasa’i],
dan juga sabdanya,
(( وبالغ في الاستنشاق، إلا أن تكون صائما ))
“Bersungguh-sungguhlah dalam ber-istinsyaaq, kecuali apabila kamu sedang berpuasa.” [Hadits shahih riwayat Abu Dawud]
Dan juga sabdanya,
(( إذا توضأت فمضمض ))
“Apabila kamu berwudhu’ maka berkumur-kumurlah.” [Hadits shahih riwayat Abu Dawud].
Adapun kewajiban mengusap seluruh kepala, dalilnya adalah bahwa perintah dalam al-Qur’an untuk mengusap kepala bersifat global, maka perinciannya harus dikembalikan kepada sunnah Rasulullah shallallahu ‘alahi wasallam, dan telah tetap dari Rasulullah shallallahu ‘alahi wasallam dalam hadist yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari, Imam Muslim dan lainnya bahwa Rasulullah shallallahu ‘alahi wasallam mengusap seluruh kepalanya, hal ini menunjukkan wajibnya mengusap kepala secara sempurna.
Apabila ada yang berkata : “Bukankah telah shahih dari hadits al-Mughirah bahwa Rasulullah shallallahu ‘alahi wasallam mengusap ubun-ubun dan sorbannya ?
Jawabannya : Rasulullah shallallahu ‘alahi wasallam mencukupkan dengan mengusap ubun-ubunnya, karena beliau menyempurnakan pengusapan bagian kepala yang lain dengan mengusap sorbannya, dan kami juga berpendapat bahwa hal tersebut boleh dilakukan, akan tetapi hadits al-Mughirah tidaklah menunjukkan kebolehan mencukupkan pengusapan ubun-ubun saja atau hanya sebagian kepala saja tanpa menyempurnakannya dengan mengusap sorban.
Kesimpulannya, mengusap seluruh kepala hukumnya wajib. Dan boleh bagi seseorang untuk mengusap kepalanya saja, atau mengusap sorbannya saja, atau mengusap keduanya, karena adanya dalil yang shahih yang menunjukkan hal tersebut.
Adapun dalil yang menunjukkan bahwa kedua telinga termasuk bagian dari kepala yang harus diusap adalah sabdanya :
(( الأذنان من الرأس ))
“Kedua telinga adalah bagian dari kepala.” [Hadits shahih riwayat Imam Ibnu Majah].
5. Menyela-nyela jenggot dengan air, berdasarkan hadits Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alahi wasallam apabila berwudhu’ beliau mengambil air dengan telapak tangannya, kemudian menyela-nyelai jenggotnya dengan air tersebut dan berkata :
(( هكذا أمرني ربي عز وجل ))
“Beginilah Allah memerintahkanku.” [Hadits shahih riwayat Abu Dawud dan al-Baihaqi]
6. Menyela-nyela jari-jemari kedua tangan dan kaki dengan air, berdasarkan sabdanya :
(( أسبغ الوضوء، وخلل بين الأصابع، وبالغ في الاستنشاق، إلا أن تكون صائما ))
“Sempurnakanlah wudhu’, sela-selailah jari-jemari dan bersungguh-sungguhlah dalam ber-istinsyaaq kecuali apabila kamu sedang berpuasa.” [Hadits shahih riwayat Abu Dawud]
(Sumber : Al-Wajiz fi Fiqhis Sunnah wal Kitabil ‘Aziz)

Mandi

Mandi adalah thaharah (penyucian) wajib dari hadats besar , seperti jinabat dan haidh.

Tata Cara Mandi
  • Niat mandi dengan hati tanpa diucapkan.
  • Membaca “Bismillah.”
  • Wudhu dengan sempurna.
  • Menciduk air untuk kepala, dan bila sudah merata maka barulah mengguyurkannya (3x).
  • Membasuh seluruh badan.

Thaharah (bersuci) bagi orang sakit

  • Orang sakit wajib bersuci dengan air, wudhu untuk hadats kecil dan mandi untuk hadats besar.
  • Apabila dia tidak dapat bersuci dengan air karena sakit, atau khawatir sakitnya akan bertambah parah dan lama sembuhnya bila terkena air, maka dia dapat bertayammun.
  • Cara bertayammum adalah: menepuk tanah dengan kedua tapak tangannya lalu diusapkan ke seluruh wajah, kemudian tangan yang satu mengusap yang lain sampai pergelangan tangan.
  • Apabila orang yang sedang sakit tidak bisa melakukan sendiri bersuci, maka dapat diwudhukan atau ditayammumkan orang lain.
  • Apabila di beberapa bagian anggota bersuci terdapat luka, maka cukup dibasuh dengan air. Tetapi apabila basuhan itu membahayakan, maka cukup diusap dengan tangan yang basah. Apabila usapan itu juga membahayakan, maka bertayammum.
  • Apabila pada bagian anggota badan ada yang patah, yang dibalut dengan kain pembalut atau digips, maka bagian tersebut cukup diusap dengan air (tidak usah dibasuh), dan tidak perlu tayammum karena usapan itu pengganti dari basuhan.
  • Boleh bertayammum pada tembok atau apa saja yang suci yang berdebu. Apabila tembok itu dilapisi dengan sesuatu yang tidak sejenis tanah (misalnya, cat), maka tidak boleh dijadikan sebagai media tayammum, kecuali jika tembok itu berdebu.
  • Jika tidak mungkin bertayammum di atas tanah, tembok atau apapun yang berdebu, maka boleh meletakkan tanah di sebuah tempat atau di sapu tangan untuk tayammum.
  • Apabila tayammum untuk suatu shalat dan masih suci sampai waktu shalat yang lain, maka tidak perlu bertayammum lagi untuk shalat yang keduanya, karena dia masih suci dan tidak ada yang mem-batalkan tayammumnya.
  • Orang sakit diwajibkan membersihkan badan dari najis. Apabila tidak mampu, maka shalat apa adanya. Shalatnya tersebut sah dan tidak perlu mengulang.
  • Orang sakit diwajibkan shalat dengan pakaian yang suci. Apabila pakaiannya terkena najis, maka pakaian tersebut wajib dicuci atau diganti dengan pakaian yang suci. Namun apabila tidak mampu, maka shalat apa adanya. Shalatnya tersebut dinyatakan sah dan tidak perlu mengulang.
  • Orang sakit diwajibkan shalat di atas tempat yang suci. Apabila tempatnya terkena najis, maka alas tempatnya shalat itu wajib dicuci atau diganti dengan tempat lain atau dihampari dengan sesuatu yang suci. Namun apabila situasi tidak memungkinkan, maka shalatlah apa adanya. Shalatnya sah dan tidak harus mengulang.
  • Orang sakit tidak boleh mengakhirkan shalat dari waktunya hanya karena tidak mampu bersuci. Ia harus bersuci sesuai dengan kemampuannya, kemudian shalat pada waktunya walaupun pada badannya, tempatnya atau pakaiannya terdapat najis yang tidak mampu dihilangkan.

Tayamum

Tayammum adalah thaharah (penyucian) wajib dengan menggunakan tanah sebagai pengganti wudhu dan mandi bagi orang yang memang tidak memperoleh air atau sedang dalam kondisi berbahaya bila mengguna-kan air.
Tata Cara Tayammum
Niat bertayammum sebagai pengganti wudhu atau mandi kemudian menepukkan kedua telapak tangan pada tanah atau yang berhubungan dengannya seperti tembok, lalu mengusap wajah dan kedua tangan.

WUDHU

Wudhu adalah thaharah yang wajib dari hadats kecil, seperti buang air kecil, buang air besar, keluar angin (kentut), tidur nyenyak dan makan daging onta.

Tata Cara Berwudhu
  • Niat wudhu di dalam hati, tanpa diucapkan, karena Nabi tidak pernah melisankan niat dalam ber-wudhu, shalat dan ibadah apapun.
    Allah mengetahui apa yang ada di dalam hati tanpa pemberitaan kita.
  • Membaca “Bismillah”.
  • Membasuh kedua telapak tangan (3x).
  • Berkumur serta menghirup air ke dalam hidung (3x).
  • Membasuh seluruh muka (sampai batasan muka dengan telinga) dari tempat pertumbuhan rambut kepala sampai jenggot bagian bawah. (3x).
  • Membasuh kedua tangan, dari ujung jari sampai sikut, diawali dengan tangan kanan, kemudian tangan kiri (3x).
  • Mengusap kepala, yaitu dengan membasahi tangan kemudian menjalankannya dari kepala bagian depan sampai bagian belakang, kemudian mengembalikan-nya (1x).
  • Mengusap kedua telinga dengan memasukkan jari telunjuk ke dalam lubang telinga dan mengusap bagian luar (belakang) dengan ibu jari (1x)
  • Membasuh kedua kaki, yaitu dari ujung jari sampai mata kaki, diawali dengan kaki kanan, kemudian kaki kiri.(3 x)
  • Menghadap Kiblat dan membaca dzikir / do’a :
    أشهد أن لا إله إلا الله وأشهد أن محمدا عبده ورسوله اللهم اجعلني من التوابين واجعلني من المتطهرين
    Aku bersaksi bahwa tiada tuhan yang hak kecuali Allah dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan rasul Allah,
    Ya Allah jadikanlah aku termasuk golongan orang-orang yang selalu bertaubat dan jadikanlah aku termasuk orang-orang yang selalu bersuci.

Shalat

Shalat
Shalat adalah ibadah yang terdiri dari kata-kata dan perbuatan yang diawali dengan takbir dan diakhiri dengan salam.
Apabila seseorang hendak mengerjakan shalat, maka wajib berwudhu terlebih dahulu jika ia berhadats besar, atau bertayammum jika ia tidak memperoleh air atau sedang dalam kondisi yang tidak diijinkan memakai air. Selain itu ia juga harus terlebih dahulu member-sihkan badan, pakaian dan tempat shalat dari najis.
Tata Cara Shalat
  • Menghadap kiblat dengan seluruh badan, tanpa ber-paling dan menoleh.
  • Niat shalat yang ingin dikerjakan (di dalam hati tanpa diucapkan).
  • Takbiratul ihram (takbir pembukaan) dengan meng-ucapkan “Allahu Akbar”, dan mengangkat tangan setinggi pundak ketika bertakbir.
  • Meletakkan tangan kanan di atas punggung telapak tangan kiri di atas dada.
  • Membaca istiftah, yaitu :
    (( اَللَّهُمَّ بَاعِدْ بَيْنِي وَبَيْنَ خَطَايَايَ كَمَا
    بَاعَدْتَ بَيْنَ اْلمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ، اَللَّهُمَّ نَقِّنِيْ مِنْ
    خَطَاياَيَ كَمَا يُنَقَّى الثَّوْبُ الأَبْيَضُ مِنَ الدَّنَسِ،
    اَللَّهُمَ اغْسِلْنِيْ مِنْ خَطَاياَيَ بِالْمَاءِ وَالثَّلْجِ
    وَالْبَرَدِ ))
    “Ya Allah, jauhkanlah aku dari segala dosa-dosaku, sebagaimana Engkau telah menjauhkan timur dengan barat. Ya Allah, bersihkanlah aku dari dosa-dosaku, sebagaimana dibersihkannya kain putih dari kotoran. Ya Allah, cucilah aku dari dosa-dosaku dengan air, es dan salju.”
  • Membaca : (( أَعُوْذُ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ )) “Aku berlindung kepada Allah dari godaan syaitan yang terkutuk”
    .
  • Membaca Basmalah, dan Al-Fatihah (lihat Mushaf Al-Qur’an) : Artinya :
    “Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Segala puji bagi Allah, Robb semesta alam, Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Yang menguasai hari Pembalasan. Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan kepada Engkaulah kami memohon pertolongan. Tunjukilah kami jalan yang lurus. (Yaitu) jalan orang-orang yang telah Eng-kau anugerahi nikmat kepada mereka; bukan jalan orang-orang yang dimurkai dan bukan (pula) jalan mereka yang sesat.” (Al-Fatihah: 1-7).
    Kemudian mengucapkan “Aamiin”, yang artinya : “ Ya Allah, kabulkanlah.”
  • Membaca salah satu surat dari Al-Qur’an (yang biasa dibaca dan dihapal), dan panjangkanlah bacaan shalat di dalam shalat Shubuh
  • Ruku’ yaitu menundukkan punggung karena menga-gungkan Allah; takbir ketika ruku’, dan mengangkat kedua tangan setinggi pundak. Disunnahkan menundukkan punggung serta men-jadikan kepala lurus/sejajar dengan punggung, serta meletakkan kedua tangan di atas lutut dengan merenggangkan jari-jari.
  • Ketika ruku’ mengucapkan : (( سُبْحَانَ رَبِّيَ اْلعَظِيْمِ ))
    “ Mahasuci Robbku Yang Maha Agung” (3x)
    Lebih baik kalau mau menambah dengan ucapan:
    ((سُبْحَانَكَ اَللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لِيْ))
    “Mahasuci Engkau, ya Allah dan dengan memuji Engkau, ya Allah ampunilah aku.”
  • Mengangkat kepala dari ruku’, seraya mengucapkan: ((سَمِعَ اللهُ لِمَنْ حَمِدَهُ))
    “ Allah mendengar orang yang memuji-Nya.”
    Lalu mengangkat kedua tangan setinggi pundak. Makmum tidak mengucapkan (سَمِعَ اللهُ لِمَنْ حَمِدَهُ), tetapi mengucapkan ( رَبَّنَا وَلَكَ الحَمْدُ )
  • Setelah mengangkat kepala, mengucapkan : (( رَبَّنَا وَلَكَ الحَمْدُ مِلْءُ السَّمَاوَاتِ وَمِلْءُ
    اْلأَرْضِ وَمِلْءُ مَا شِئْتَ مِنْ شَيْءٍ بَعْدُ ))

    “Ya Rabb kami, bagi-Mu pujian dengan sepenuh langit, sepenuh bumi dan sepenuh apa saja yang Engkau kehendaki.”
  • Sujud yang pertama dengan khusyu’, serta meng-ucapkan “Allahu Akbar”, dan bersujud di atas anggota sujud yang tujuh, yaitu: dahi bersama hidung, kedua telapak tangan, kedua lutut, dan jari-jari kedua kaki. Renggangkan kedua tangan dari lambung/perut dan jangan meletakkan kedua lengan tangan di atas tanah serta hadapkan jari-jari kaki ke arah kiblat.
  • Dalam bersujud mengucapkan:
    سُبْحَانَ رَبِّيَ اْلأَعْلَى Ada baiknya menambah dengan ucapan:
    (( سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ رَبَّنَا وَبِحَمْدِكَ اَللَّهُمَّ اغْفِرْ
    لِيْ ))

    “Mahasuci Engkau, ya Allah Rabb kami dan dengan memuji Engkau, ya Allah, ampunilah aku.”
  • Mengangkat kepala dari sujud, seraya mengucap-kan: “Allahu Akbar”.
  • Duduk di antara dua sujud, di atas telapak kaki yang kiri dan menegakkan telapak yang kanan; meletak-kan tangan kanan di atas ujung paha kanan men-dekati lutut; menggenggam jari kelingking dan jari manis, serta mengangkat jari telunjuk, lalu meng-gerak-gerakkannya ketika berdoa. Ujung jari jempol dilekatkan dengan jari tengah seperti membentuk lingkaran dan meletakkan tangan kiri yang dekat dengan lutut.
  • Dalam duduk antara dua sujud mengucapkan: ((رَبِّ اغْفِرْ لِيْ وَارْحَمْنِيْ وَاهْدِنِيْ وَارْزُقْنِيْ
    وَاجْبُرْنِيْ وَعَافِنِيْ))

    “Ya Rabbku, ampunilah aku, sayangilah aku, tun-jukilah aku, limpahkanlah rezeki-Mu kepadaku, cukupkanlah kekuranganku, dan sehatkanlah aku.”
  • Kemudian sujud kedua dengan khusyu’ yang ucapan dan perbuatannya seperti pada waktu sujud pertama, dan bertakbirlah ketika hendak sujud.
  • Berdiri dari sujud kedua, seraya mengucapkan takbir dan mengerjakan rakaat yang kedua yang ucapan serta perbuatannya seperti yang dilakukan pada rakaat pertama. Hanya saja pada rakaat ini tidak membaca istiftah.
  • Kemudian duduk setelah selesai rakaat kedua, seraya mengucapkan takbir dan duduk persis dengan duduk antara kedua sujud.
  • Dalam duduk ini membaca tasyahhud, yaitu:
    ((التَّحِيَّاتُ للهِ وَالصَّلَوَاتُ وَالطَّيِّبَاتُ. السَّلاَمُ
    عَلَيْكَ أَيُّهَا النَّبِيُّ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ. السَّلاَمُ
    عَلَيْنَا وَعَلَى عِبَادِ اللهِ الصَّالِحِيْنَ، أَشْهَدُ أَنْ لاَ
    إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ.
    اللّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ، كَمَا
    صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ إِنَّكَ
    حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ، وَباَرِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ
    كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ
    إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْد. أَعُوذُ بِاللهِ مِنْ عَذَابِ جَهَنَّمَ،
    وَمِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ، وَمِنْ فِتْنَةِ الْمَحْيَا
    وَالْمَمَاتِ، وَمِنْ فِتْنَةِ الْمَسِيْحِ الدَّجَّالِ))
    “Segala penghormatan, shalat dan kebaikan milik Allah. Selamat sejahtera kepadamu, wahai Nabi, rah-mat Allah dan berkah-Nya. Selamat sejahtera kepada kami dan hamba-hamba Allah yang shalih. Aku bersaksi tiada tuhan yang berhak disembah selain Allah dan bahwa Muhammad adalah hamba dan rasul-Nya. Ya Allah, berikanlah salam sejahtera kepa-da Muhammad dan keluarga Muhammad, Sebagai-mana engkau memberikan salam sejahtera kepada Ibrahim dan keluarga Ibrahim.Sesungguhnya Engkau maha Terpuji lagi Mahaagung. Dan berkahilah Muhammad dan keluarga Muhammad, sebagaimana Engkau memberkahi Ibrahim dan keluarga Ibrahim. Sesungguhnya Engkau maha terpuji dan Maha Agung. Aku berlindung kepada Allah dari siksa Ja-hannam, dari siksa kubur, dari fitnah kehidupan dan kematian, dan dari fitnah Al-Masih Ad-Dajjal.”
  • Salam ke kanan dan ke kiri dengan mengucapkan: ((السَلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ ))
  • Apabila shalat itu tiga rakaat atau empat rakaat, maka berhenti sampai batas tahiyat awal, yaitu: (( أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ وَ أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ ))
  • Kemudian bangkit dengan mengucapkan takbir, serta mengangkat kedua tangan setinggi pundak.
  • Meneruskan shalat seperti pada rakaat kedua, hanya saja dalam rakaat ketiga ini cukup membaca Al-Fatihah.
  • Duduk tawarruk, yakni menegakkan telapak kaki kanan serta mengeluarkan telapak kaki kiri dari bawah betis kanan; mendudukkan pantat di alas/ tanah dan meletakkan kedua tangan di atas paha, seperti cara meletakkan tangan pada tahiyat awal.
  • Dalam posisi duduk ini membaca tahiyat seluruhnya.
  • Kemudian salam ke kanan dan ke kiri, seraya meng-ucapkan: (( السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ ))
Yang dimakruhkan dalam shalat:
  • Menoleh dan melirik kesana-kemari, bahkan meng-angkat mata ke atas diharamkan.
  • Memain-mainkan anggota tubuh dan bergerak tanpa ada keperluan.
  • Membawa sesuatu yang dapat menyibukkan, seperti membawa suatu benda yang berat atau suatu benda yang berwarna-warni yang dapat menarik perhatian.
  • Bertolak pinggang.
Yang membatalkan shalat:
  • Bicara dengan sengaja, walau hanya sedikit
  • Memalingkan badan dari kiblat.
  • Keluar angin dari dubur dan apa saja yang menye-babkan wajib wudhu dan mandi.
  • Melakukan banyak gerakan terus-menerus tanpa ada keperluan.
  • Tertawa, walau hanya sedikit.

TUJUAN AKIDAH ISLAM

Akidah Islam mempunyai banyak tujuan yang baik yang harus dipegang, yaitu:

1. Untuk mengikhlaskan niat dan ibadah kepada Allah satu-satunya. Karena Dia adalah Pencipta yang tidak ada sekutu bagi-Nya, maka tujuan dari ibadah haruslah diperuntukkan kepada-Nya satu-satunya.

2. Membebaskan akal dan pikiran dari kekacauan yang timbul dari kosongnya hati dari akidah. Karena orang yang hatinya kosong dari akidah ini, adakalanya kosong hatinya dari setiap akidah serta menyembah materi yang dapat diindera saja dan adakalanya terjatuh pada berbagai kesesatan akidah dan khurafat.

3. Ketenangan jiwa dan pikiran, tidak cemas dalam jiwa dan tidak goncang dalam pikiran. Karena akidah ini akan menghubungkan orang mukmin dengan Penciptanya lalu rela bahwa Dia sebagai Tuhan yang mengatur. Hakim yang Membuat tasyri’. Oleh karena itu hatinya menerima takdir, dadanya lapang untuk menyerah lalu tidak mencari pengganti yang lain.

4. Meluruskan tujuan dan perbuatan dari penyelewengan dalam beribadah kepada Allah dan bermuamalah dengan orang lain. Karena di antara dasar akidah ini adalah mengimani para rasul yang mengandung mengikuti jalan mereka yang lurus dalam tujuan dan perbuatan.

5. Bersungguh-sungguh dalam segala sesuatu dengan tidak menghilangkan kesempatan beramal baik kecuali digunakannya dengan mengharap pahala serta tidak melihat tempat dosa kecuali menjauhinya dengan rasa takut dari siksa. Karena di antara dasar akidah ini adalah mengimani kebangkitan serta balasan terhadap seluruh perbuatan.

“Dan masing-masing orang yang memperoleh derajat-derajat (sesuai) dengan yang dikerjakannya. Dan Tuhanmu tidak lengah dari apa yang mereka kerjakan.” (Al An’am 132)

Nabi Muhammad n juga mengimbau untuk tujuan ini dalam sabdanya:

الْمُؤْمِنُ الْقَوِيُّ خَيْرٌ وَأَحَبُّ إِلَى اللهِ مِنَ الْمُؤْمِنِ الضَّعِيْفِ وَفِيْ كُلٍّ خَيْرٌ، اِحْرِصْ عَلَى مَا

يَنْفَعُكَ وَاسْتَعِنْ بِاللهِ، وَلاَ تَعْجَزْ وَإِنْ أَصَابَكَ شَيْءٌ فَلاَ تَقُلْ لَوْ أَنِّيْ فَعَلْتُ كَذَا وَكَذَا وَلَكِنْ

قُلْ: قَدَّرَ اللهُ، وَمَا شَاءَ فَعَلَ، فَإِنَّ لَوْ تَفْتَحُ عَمَلَ الشَّيْطَانِ.

“Orang Mukmin yang kuat itu lebih baik dan lebih dicintai oleh Allah daripada orang mukmin yang lemah. Dan pada masing-masing terdapat kebaikan. Bersemangatlah terhadap sesuatu yang berguna bagimu serta mohonlah pertolongan dari Allah dan jangan lemah. Jika engkau ditimpa sesuatu, maka janganlah engkau katakan: Seandainya aku kerjakan begini dan begitu. Akan tetapi katakanlah: Itu takdir Allah dan apa yang Dia kehendaki Dia lakukan. Sesungguhnya mengandai-andai itu membuka perbuatan setan.” (Muslim)

6. Mencintai umat yang kuat yang mengerahkan segala yang mahal maupun yang murah untuk menegakkan agamanya serta memperkuat tiang penyanggahnya tanpa perduli apa yang akan terjadi untuk menempuh jalan itu.

”Sesungguhnya orang-orang yang beriman hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan rasul-Nya kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjihad dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah. Mereka itulah orang-orang yang benar.” (Al Hujurat 15)

7. Meraih kebahagiaan dunia dan akhirat dengan memperbaiki individu-individu maupun kelompok-kelompok serta meraih pahala dan kemuliaan.

“Barangsiapa yang mengerjakan amal baik, baik lelaki maupun wanita dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (An Nahl 97)

Inilah sebagian dari tujuan akidah Islam. Kami mengharap agar Allah merealisasikannya kepada kami dan seluruh umat Islam.

IMAN KEPADA TAKDIR

Al-Qadar adalah takdir Allah untuk seluruh makhluk yang ada sesuai dengan ilmu-Nya dan hikmah-Nya.

Iman kepada takdir mengandung empat unsur:

1. Mengimani bahwa Allah mengetahui segala sesuatu secara global maupun terperinci, azali dan abadi, baik yang berkaitan dengan perbuatan-Nya maupun perbuatan para hamba-Nya.

2. Mengimani bahwa Allah telah menulis hal itu di “Lauh Mahfuzh”.

Tentang dua hal tersebut Allah berfirman, yang artinya:

“Apakah kamu tidak mengetahui bahwa sesungguhnya Allah mengetahui apa saja yang ada di langit dan di bumi; bahwasanya yang demikian itu terdapat dalam sebuah kitab (Lauh Mahfuzh)? Sesungguhnya yang demikian itu amat mudah bagi Allah.” (Al Hajj 70)

Abdullah bin Umar berkata: “Aku pernah mendengar Rasulullah bersabda:

كَتَبَ اللهُ مَقَادِيْرَ الْخَلاَئِقِ قَبْلَ أَنْ يَخْلُقَ السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضَ بِخَمْسِيْنَ أَلْفَ سَنَةٍ.

“Allah telah menulis (menentukan) takdir seluruh makhluk sebelum menciptakan langit dan bumi lima puluh ribu tahun.” (HR. Muslim)

3. Mengimani bahwa seluruh yang ada tidak akan ada, kecuali dengan kehendak Allah I, baik yang berkaitan dengan perbuatan-Nya maupun yang berkaitan dengan perbuatan makhluk-makhluk-Nya.

Allah berfirman, yang artinya:

“Dan Rabbmu menciptakan apa yang Dia kehendaki dan Dia pilih…” (Al Qashash 68)

“Dialah yang membentuk kamu dalam rahim sebagaimana dikehendaki-Nya. Tak ada Tuhan melainkan Dia, Yang Mahaperkasa lagi Mahabijaksana.” (Al Imran 6)

Allah juga berfirman tentang sesuatu yang berkaitan dengan perbuatan-perbuatan makhluk-makhluk-Nya, yang artinya:

“…Kalau Allah menghendaki, maka Dia memberi kekuasaan kepada mereka terhadap kamu, lalu pastilah mereka memerangimu…” (An Nisaa 90)

“Dan kalau Allah menghendaki, maka mereka tidak mengerjakannya. Maka tinggalkanlah mereka dan apa yang mereka ada-adakan.” (Al An’aam 137)

4. Mengimani bahwa seluruh yang ada, zatnya, sifatnya, dan geraknya diciptakan oleh Allah.

“Allah menciptakan segala sesuatu dan Dia memelihara segala sesuatu.” (Az Zumar 62)

“…dan Dia telah menciptakan segala sesuatu dan Dia menetapkan ukuran-ukurannya dengan serapi-rapinya.” (Al Furqan 2)

Allah berfirman tentang Nabi Ibrahim yang berkata kepada kaumnya, yang artinya:

“Padahal Allahlah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu.” (Ash Shaffaat 96)

Iman kepada takdir sebagaimana telah kami terangkan di atas tidak menafikan bahwa manusia mempunyai kehendak dan kemampuan dalam berbagai perbuatan yang sifatnya ikhtiari. Syara’ dan kenyataan (realita) menunjukkan ketetapan hal itu.

a. Secara syara’, maka Allah berfirman tentang kehendak manusia, yang artinya:

“…Maka barangsiapa yang menghendaki, niscaya ia menempuh jalan kembali kepada Rabbnya.” (An Naba’ 39)

“…maka datangilah tanah tempat kamu bercocok tanam (isterimu) itu bagaimana saja kamu kehendaki…” (Al Baqarah 223)

Allah juga berfirman tentang kemampuan manusia, yang artinya:

“Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu, dengarlah dan taatlah…” (At Taghaabun 16)

“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala dari (kebajikan) yang dikerjakannya serta mendapat siksa dari (kejahatan) yang dikerjakan…” (Al Baqarah 286)

b. Secara kenyataan, manusia mengetahui bahwa dirinya mempunyai kehendak dan kemampuan yang menyebabkannya mengerjakan atau meninggalkan sesuatu. Dia juga dapat membedakan antara kemauannya (seperti berjalan), dan yang bukan kehendaknya (seperti gemetar). Kehendak serta kemampuan seseorang itu akan terjadi dengan masyiah (kehendak) serta qudrah (kemampuan) Allah, seperti dalam sebuah firman-Nya, yang artinya:
“(Yaitu) bagi siapa di antara kamu yang mau menempuh jalan yang lurus. Dan kamu tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu), kecuali apabila dikehendaki Allah, Rabb semesta alam.” (At Takwir 28-29)

Karena alam semesta ini seluruhnya milik Allah, maka tidak ada pada milik-Nya barang sedikitpun yang tidak diketahui serta tidak dikehendaki-Nya.

Iman kepada takdir tidak berarti memberi alasan untuk meninggalkan kewajiban atau untuk mengerjakan maksiat. Kalau itu dibuat alasan, maka alasan itu jelas salah ditinjau dari beberapa segi:

1. Firman Allah, yang artinya:

“Orang-orang yang menyekutukan Tuhan mengatakan: “Jika Allah menghendaki, niscaya kami dan bapak-bapak kami tidak mempersekutukan-Nya dan tidak (pula) kami mengharamkan barang sesuatu apapun. Demikian juga orang-orang sebelum mereka yang telah mendustakan (para rasul) sampai mereka merasakan siksaan Kami. Katakanlah: “Adakah kamu mempunyai sesuatu pengetahuan sehingga kamu dapat mengemukakannya kepada Kami? Kamu tidak mengikuti kecuali prasangka belaka dan kamu tidak lain hanya berdusta.” (Al An’aam 148)

Kalau alasan mereka dengan takdir itu dibenarkan, Allah I tentu tidak akan menjatuhkan siksa-Nya.

2. Firman-Nya, yang artinya:

“(Mereka kami utus) sebagai rasul-rasul pembawa kabar gembira dan pemberi peringatan agar tidak ada alasan bagi manusia membantah Allah sesudah diutusnya rasul-rasul itu. Dan adalah Allah Mahaperkasa lagi Mahabijaksana.” (An Nisaa 165)

Kalau takdir dapat dibuat alasan bagi orang-orang yang salah, Allah tidak menafikannya dengan diutusnya para rasul, karena menyalahi sesuatu setelah terutusnya para rasul jatuh pada takdir Allah juga.

3. Hadits yang diriwayatkan Al Bukhari dan Muslim, dari Ali bin Abi Thalib bahwa Nabi bersabda:

مَا مِنْكُمْ مِنْ أَحَدٍ إِلاَّ قَدْ كُتِبَ مَقْعَدُهُ مِنَ النَّارِ أَوْ مِنَ الْجَنَّةِ، فَقَالَ رَجُلٌ مِنَ الْقَوْمِ؛ أَلاَ نَتَّكِلُ
يَا رَسُوْلَ اللهِ؟ قَالَ: لاَ اِعْمَلُوْا كُلٌّ مُيَسَّرٌ، ثُمَّ قَرَأَ:

“Setiap diri kalian telah ditulis (ditetapkan) tempatnya di Surga atau di Neraka. Ada seorang sahabat bertanya, “Mengapa kita tidak (tawaakul-pasrah) saja, wahai Rasul Allah?” Beliau menjawab, “Tidak. Berbuatlah karena masing-masing akan dimudahkan.” Lalu beliau membacakan surat Al Lail ayat 4-7:

“Sesungguhnya usaha kamu memang berbeda-beda. Adapun orang yang memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertakwa, dan membenarkan adanya pahala yang terbaik (Surga), maka Kami kelak akan menyiapkan baginya jalan yang mudah.” (Al Lail 4-7)

Jadi, Nabi memerintahkan untuk berbuat serta melarang menyerah pada takdir.

4. Allah memerintah serta melarang sesuatu pada hamba-Nya, namun tidak menuntutnya kecuali yang mampu dikerjakan.

Allah berfirman, yang artinya:

“Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu…” (At Taghabun 16)

“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya…” (Al Baqarah 286)

Kalau manusia dipaksakan untuk berbuat sesuatu, artinya disuruh mengerjakan sesuatu yang tidak mungkin dikerjakan, maka ini merupakan suatu kesalahan. Oleh karena itu, bila maksiat dilakukan karena kebodohan atau karena lupa, atau karena dipaksa, maka pelakunya tidak berdosa. Mereka dimaafkan Allah.

5. Takdir Allah adalah rahasia yang tersembunyi, tidak dapat diketahui sebelum terjadinya takdir serta kehendak seseorang untuk mengerjakannya terlebih dahulu dari-pada perbuatannya. Jadi, kehendak seseorang untuk mengerjakan sesuatu itu tidak berdasarkan pada pengetahuannya akan takdir Allah. Pada waktu itu habislah alasannya dengan takdir karena tidak ada alasan bagi seseorang terhadap apa yang tidak diketahuinya.

6. Kita melihat orang yang ingin mendapatkan urusan dunia secara layak, tidak ingin pindah kepada yang tidak layak. Apakah ia akan beralasan pindahnya dengan takdir? Mengapa ia berpindah dari kurang menguntungkan kepada yang menguntungkan dengan alasan takdir? Bukankah keadaan dua hal itu satu?

Cobalah perhatikan contoh di bawah ini:

Kalau di depan seseorang ada dua jalan. Pertama, menuju ke sebuah negeri yang semuanya serba kacau, pembunuhan, perampokan, pembantaian kehormatan, ketakutan, dan kelaparan. Yang kedua menuju sebuah negeri yang semuanya serba teratur, keamanan yang terkendali, kesejahteraan yang melimpah ruah, jiwa, kehormatan, dan harta benda dihormati. Jalan mana yang akan ia tempuh?

Ia pasti akan menempuh jalan yang kedua yang menuju suatu negeri yang teratur serta aman. Tidak mungkin orang berakal menempuh jalan yang menuju ke sebuah negeri yang kacau serta menakutkan dengan alasan takdir. Mengapa dalam urusan akhirat ia menempuh jalan yang menuju ke Neraka bukan jalan yang menuju Surga dengan beralasan takdir?

Contoh lain adalah seorang yang sakit disuruh meminum obat lalu meminumnya sedangkan hatinya tidak menyukainya. Dan dilarang memakan makanan yang berbahaya lalu meninggalkannya sementara hatinya menyukainya. Semua itu dimaksudkan mencari pengobatan serta kesehatan. Orang yang sakit itu tidak mungkin enggan minum obat atau melanggar memakan makanan yang berbahaya dengan alasan menyerah pada takdir. Bagaimana seseorang meninggalkan perintah Allah dan Rasul-Nya n atau melakukan larangan Allah dan Rasul-Nya dengan beralasan pada takdir?

7. Orang yang meninggalkan kewajiban serta melanggar kemaksiatan dengan alasan takdir itu seandainya dianiaya oleh seseorang, dirampas hartanya dan dirusak kehormatannya dengan beralasan pada takdir dan mengatakan: Anda jangan menyalahkan saya, karena kelaliman saya ini adalah takdir Allah, alasannya itu tidak akan diterima. Bagaimana seseorang tidak mau menerima alasan orang lain dengan takdir dalam penganiayaannya terhadap orang lain, lalu ia sendiri beralasan dengan takdir terhadap kelalimannya pada hak Allah? Diriwayatkan bahwa Amirul Mukminin Umar bin Khaththab z menerima seorang pencuri yang berhak dipotong tangannya. Beliau memerintahkan agar dipotong tangannya. Pencuri berkata: Tunggu dulu, Amirul Mukminin, aku mencuri ini hanya karena takdir Allah. Umar pun tidak kalah menjawab: Demikian kami memotong tanganmu hanya karena takdir Allah.

Buah Iman Kepada Takdir:

1. Bersandar kepada Allah ketika mengerjakan sebab-sebab, tidak bersandar kepada sebab itu sendiri, karena segala sesuatu ditentukan dengan takdir Allah.

2. Agar seseorang tidak lagi mengagumi dirinya ketika tercapai apa yang dicita-citakan. Karena tercapainya cita-cita merupakan nikmat dari Allah yang dikarenakan takdir-Nya yaitu sebab-sebab keberhasilan. Dan mengagumi dirinya akan dapat melupakan syukur nikmat ini.

3. Menimbulkan ketenangan serta kepuasan jiwa terhadap seluruh takdir yang berlaku, tidak gelisah karena hilangnya sesuatu yang disukai atau datangnya sesuatu yang tidak disukai. Karena dia tahu bahwa hal itu ditentukan dengan takdir Allah yang memiliki langit dan bumi dan bahwa hal itu akan terjadi dengan pasti.

“Tidak suatu bencana pun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah ditulis dalam kitab (Lauh Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah. (Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu tidak berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu dan supaya kamu tidak terlalu gembira terhadap apa yang diberikan oleh-Nya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri.” (Al Hadid 22-23)

Nabi Muhammad bersabda:

عَجَبًا لأَمْرِ الْمُؤْمِنِ، إِنَّ أَمْرَهُ كُلُّهُ خَيْرٌ، وَلَيْسَ ذَلِكَ لأَحَدٍ إِلاَّ لِلْمُؤْمِنِ، إِنْ أَصَابَتْهُ سَرَّاءُ
شَكَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ، وَإِنْ أَصَابَتْهُ ضَرَّاءُ صَبَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ.

“Sungguh menakjubkan perkara orang mukmin itu. Perkaranya semua baik, dan itu tidak ada pada seorang pun selain orang mukmin. Jika mendapatkan kegembiraan bersyukur, itu baik baginya. Dan jika ditimpa kesusahan bersabar, itu pun baik baginya.” (Muslim)

Dalam masalah takdir ini ada dua golongan yang tersesat:

Pertama: Golongan Jabariyyah. Yaitu mereka yang mengatakan bahwa manusia itu terpaksa atas perbuatannya, tidak punya iradah (kemauan) dan qudrah (kemampuan).

Kedua: Golongan Qadariyah. Yaitu mereka yang mengatakan bahwa manusia dalam perbuatannya ditentukan oleh kemauan serta kemampuannya, kehendak serta takdir Allah tidak ada pengaruhnya sama sekali.

Untuk menjawab pendapat golongan pertama, (Jabariyyah), dapat dengan menggunakan syara’ dan kenyataan.

a. Adapun dalil syara’ maka Allah telah menetapkan kehendak kepada hamba-Nya serta menggantungkan perbuatan kepadanya juga.

“…Di antara kamu ada yang menghendaki dunia dan ada pula yang menghendaki akhirat…” (Ali Imran 152)

“Dan katakanlah: Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu. Maka barangsiapa yang (ingin) beriman hendaklah beriman. Dan barangsiapa yang ingin (kafir) biarlah kafir. Sesungguhnya Kami telah sediakan bagi orang-orang zhalim itu Neraka yang gejolaknya mengepung mereka…” (Al Kahfi 29)

“Barangsiapa mengerjakan amal yang baik maka (pahalanya) untuk dirinya sendiri dan barangsiapa yang berbuat jahat maka (dosanya) atas dirinya sendiri (pula). Dan sekali-kali Tuhanmu tidak akan menganiaya hamba-hamba-Nya.” (Fushshilat 46)

b. Secara kenyataan bahwa manusia mengetahui perbedaan antara perbuatan-perbuatan yang ikhtiari (dapat diupayakan) yang dikerjakan dengan kehendaknya, seperti makan, minum, dan jual beli, dan yang diluar kehendaknya seperti gemetar karena demam, dan jatuh dari atas. Pada yang pertama ini ia akan dapat mengerjakan dan memilih dengan kemauannya tanpa ada paksaan. Sedangkan yang kedua dia tidak dapat memilih juga tidak dikehendaki terjadinya.

Pendapat golongan kedua (Qadariyah) dapat dijawab pula dengan syara’ dan kenyataan:

a. Adapun dalil syara’ maka Allah adalah Pencipta segala sesuatu, dan segala sesuatu terjadi dengan kehendak-Nya. Allah telah menjelaskan dalam Al Qur’an bahwa perbuatan makhluk-Nya terjadi dengan kehendak-Nya, sebagaimana firman-Nya, yang artinya:

“Dan kalau Allah menghendaki, niscaya tidaklah berbunuh-bunuhan orang-orang (yang datang) sesudah rasul-rasul itu, sesudah datang kepada mereka beberapa macam keterangan, akan tetapi mereka berselisih, maka ada di antara mereka yang beriman dan ada (pula) di antara mereka yang kafir. Seandainya Allah menghendaki, tidaklah mereka berbunuh-bunuhan. Akan tetapi Allah berbuat apa yang dikehendaki-Nya.” (Al Baqarah 153)

“Dan kalau Kami menghendaki niscaya Kami akan berikan kepada tiap-tiap jiwa petunjuk (bagi)nya, akan tetapi telah tetaplah perkataan (ketetapan) dariku; sesungguhnya akan Aku penuhi neraka Jahannam itu dengan jin dan manusia bersama-sama.” (As Sajdah 13)

b. Adapun menurut akal, bahwa alam semesta ini adalah milik dan berada dalam kekuasaan Allah. Dan manusia, sebagai bagian dari alam tidak mungkin dapat berbuat dalam kekuasaan Si Penguasa kecuali dengan seizin-Nya dan kehendak-Nya.

IMAN KEPADA HARI AKHIR

Hari Akhir adalah hari Kiamat, di mana seluruh manusia dibangkitkan pada hari itu untuk dihisab dan dibalas. Hari itu disebut hari Akhir, karena tidak ada hari lagi setelahnya. Pada hari itulah penghuni Surga dan penghuni Neraka masing-masing menetap di tempatnya.

Iman kepada hari Akhir mengandung tiga unsur:

1. Mengimani ba’ts (kebangkitan), yaitu menghidupkan kembali orang-orang yang sudah mati ketika tiupan sangkakala yang kedua kali. Pada waktu itu semua manusia bangkit untuk menghadap Rabb alam semesta dengan tidak beralas kaki, bertelanjang, dan tidak disunat.

Allah berfirman:

“(Yaitu) pada hari Kami gulung langit seperti menggulung lembaran-lembaran kertas. Sebagaimana Kami telah memulai penciptaan pertama, begitulah Kami akan mengulanginya. Itulah suatu janji yang pasti Kami tepati. Sesungguhnya Kamilah yang akan melaksanakannya.” (Al Anbiyaa 104)

Kebangkitan adalah kebenaran yang pasti, ditunjukkan oleh Al Kitab, Sunnah dan ijma’ umat Islam. Allah I berfirman, yang artinya:

“Kemudian, sesungguhnya kamu sekalian akan dibangkitkan (dari kuburmu) di hari Kiamat.” (Al Mu’minun 16)

Nabi Muhammad juga bersabda:

“Di hari Kiamat seluruh manusia akan dihimpun dengan keadaan tidak beralas kaki dan tidak disunat." (HR. Bukhari-Muslim)

Umat Islam sepakat akan adanya hari Kebangkitan karena hal itu sesuai dengan hikmah Allah yang mengembalikan ciptaan-Nya untuk diberi balasan terhadap segala yang telah diperintahkan-Nya melalui lisan para rasul-Nya. Allah berfirman, yang artinya:

“Maka apakah kamu mengira bahwa sesungguhnya Kami menciptakan kamu secara main-main (saja), dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada Kami?” (Al Mu’minun 115)

Allah berfirman kepada Rasulullah, yang artinya:

“Sesungguhnya yang mewajibkan atasmu (melaksanakan hukum-hukum) Al Qur’an benar-benar akan mengembalikan kamu ke tempat kembali…” (Al Qashash 85)

2. Mengimani hisab (perhitungan) dan jaza’ (pembalasan) dengan meyakini bahwa seluruh perbuatan manusia akan dihisab dan dibalas. Hal ini dipaparkan dengan jelas di dalam Al Qur’an, Sunnah dan ijma’ (kesepakatan) umat Islam.

Allah berfirman, yang artinya:

“Sesungguhnya kepada Kamilah kembali mereka, kemudian sesungguhnya kewajiban Kamilah menghisab mereka.” (Al Ghasyiyah 25-26)

“Barangsiapa membawa amal yang baik maka baginya (pahala) sepuluh kali lipat amalnya; dan barangsiapa yang membawa perbuatan yang jahat maka dia tidak diberi balasan melainkan seimbang dengan kejahatannya, sedang mereka sedikit pun tidak dianiaya (dirugikan).” (Al An’am 160)

“Kami akan memasang timbangan yang tepat pada hari Kiamat, maka tiadalah dirugikan seseorang barang sedikit pun. Dan jika (amalan itu) hanya seberat biji sawi pun pasti Kami mendatangkan (pahala)nya. Dan cukuplah Kami sebagai Pembuat perhitungan.” (Al Anbiyaa 47)

Dari Ibnu Umar diriwayatkan bahwa Nabi n bersabda, yang artinya:

“Allah nanti akan mendekatkan orang mukmin, lalu meletakkan tutup dan menutupnya. Allah bertanya, “Apakah kamu tahu dosamu itu?” Ia menjawab, “Ya Rabbku.” Ketika ia sudah mengakui dosa-dosanya dan melihat dirinya telah binasa, Allah berfirman: “Aku telah menutupi dosa-dosamu di dunia dan sekarang Aku mengampuninya.” Kemudian diberikan kepada orang mukmin itu buku amal baiknya. Adapun orang-orang kafir dan orang-orang munafik, Allah memanggilnya di hadapan orang banyak. Mereka orang-orang yang mendustakan Rabbnya. Ketahuilah, laknat Allah itu untuk orang-orang yang zhalim.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Nabi bersabda:

أَنَّ مَنْ هَمَّ بِحَسَنَةٍ فَعَمِلَهَا كَتَبَهَا اللهُ عِنْدَهُ عَشْرَ حَسَنَاتٍ إِلَى سَبْعِمِائَةِ ضِعْفٍ إِلَى أَضْعَافٍ
كَثِيْرَةٍ، إِنْ هَمَّ بِسَيِّئَةٍ فَعَمِلَهَا كَتَبَهَا اللهُ سَيِّئَةً وَاحِدَةً.

“Orang yang berniat melakukan satu kebaikan, lalu mengamalkannya, maka ditulis baginya sepuluh kebaikan, sampai tujuh ratus kali lipat, bahkan sampai beberapa lipat lagi. Barangsiapa berniat melakukan satu kejahatan, lalu mengamalkannya, maka Allah menulisnya satu kejahatan saja.”

Umat Islam telah sepakat tentang adanya hisab dan pembalasan amal karena itu sesuai dengan kebijaksanaan Allah. Sebagaimana kita ketahui, Allah telah menurunkan kitab-kitab, mengutus para rasul serta mewajibkan kepada manusia untuk menerima ajaran yang dibawa oleh rasul-rasul Allah itu dan mengerjakan segala yang diwajibkannya. Dan Allah telah mewajibkan agar berperang melawan orang-orang yang menentang-Nya serta menghalalkan darah, keturunan, isteri dan harta benda mereka. Kalau tidak ada hisab dan balasan tentu hal ini hanya sia-sia belaka, dan Rabb Yang Mahabijaksana, Mahasuci darinya. Allah telah mengisyaratkan hal itu dalam firman-Nya, yang artinya:

“Maka sesungguhnya Kami akan menanyai umat-umat yang telah diutus rasul-rasul kepada mereka dan sesungguhnya Kami akan menanyai (pula) rasul-rasul (Kami), maka sesungguhnya akan Kami kabarkan kepada mereka (apa-apa yang telah mereka perbuat), sedang (Kami) mengetahui (keadaan mereka), dan Kami sekali-kali tidak jauh (dari mereka).” (Al A’raaf 6-7)

3. Mengimani Surga dan Neraka sebagai tempat manusia yang abadi. Surga tempat kenikmatan yang disediakan Allah untuk orang-orang mukmin yang bertaqwa, yang mengimani apa-apa yang harus diimani, yang taat kepada Allah dan rasul-Nya, dan kepada orang-orang yang ikhlas.

Di dalam Surga terdapat berbagai kenikmatan yang tidak pernah dilihat mata, tidak pernah didengar telinga, serta tidak terlintas dalam benak manusia.

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shalih, mereka itu adalah sebaik-baik makhluk. Balasan mereka di sisi Rabb mereka ialah surga ‘Adn yang mengalir di bawahnya sungai-sungai. Mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Allah ridha terhadap mereka, dan mereka pun ridha kepada-Nya. Yang demikian itu adalah (balasan) bagi orang yang takut kepada Rabbnya.” (Al Bayyinah 7-8)

“Tidak seorang pun mengetahui apa yang disembunyikan untuk mereka, yaitu (bermacam-macam nikmat) yang menyenangkan pandangan mata sebagai balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan.” (As Sajdah 17)

Neraka adalah tempat azab yang disediakan oleh Allah untuk orang-orang kafir, yang berbuat zhalim, serta bagi yang mengingkari Allah dan Rasul-Nya. Di dalam Neraka terdapat berbagai azab dan sesuatu yang menakutkan, yang tidak pernah terlintas dalam hati.

“Dan peliharalah dirimu dari api Neraka, yang disediakan untuk orang-orang yang kafir.” (Al Imran 131)

“…Sesungguhnya Kami telah sediakan bagi orang-orang yang zhalim itu Neraka yang gejolaknya mengepung mereka. Jika mereka meminta minum, maka mereka akan diberi minuman dengan air seperti besi yang mendidih yang dapat menghanguskan muka. Itulah minuman yang paling buruk dan tempat istirahat yang paling jelek.” (Al Kahfi 29)

“Sesungguhnya Allah melaknati orang-orang kafir dan menyediakan bagi mereka api yang menyala-nyala (Neraka). Mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Mereka tidak memperoleh seorang pelindung pun dan tidak (pula) seorang penolong. Pada hari ketika muka mereka dibolak-balikkan dalam Neraka, mereka berkata: “Alangkah baiknya, andaikata kami taat kepada Allah dan taat (pula) kepada Rasul.” (Al Ahzab 64-66)

Iman kepada hari Akhir adalah termasuk mengimani peristiwa-peristiwa yang akan terjadi sesudah kematian, misalnya:

a. Fitnah kubur, yaitu pertanyaan yang diajukan kepada mayat ketika sudah dikubur tentang Rabbnya, agamanya, dan nabinya. Allah akan meneguhkan orang-orang yang beriman dengan kata-kata yang mantap. Ia akan menjawab pertanyaan itu dengan tegas dan penuh keyakinan, “Allah Rabbku, Islam agamaku, dan Muhammad n nabiku. Allah menyesatkan orang-orang yang zhalim dan kafir. Mereka akan menjawab pertanyaan dengan terbengong-bengong karena pertanyaan itu terasa asing baginya. Mereka akan menjawab, ”Aku…aku tidak tahu.” Sedangkan orang-orang munafik akan menjawab dengan kebingungan, “Aku tidak tahu. Dulu aku pernah mendengar orang-orang mengatakan sesuatu, lalu aku mengatakannya.”

b. Siksa dan nikmat kubur. Siksa kubur diperuntukkan bagi orang-orang zhalim, yakni orang-orang munafik dan orang-orang kafir, seperti dalam firman-Nya, yang artinya:

“.. Alangkah dahsyatnya sekiranya kamu melihat di waktu orang-orang yang zhalim (berada) dalam tekanan-tekanan sakratul maut, sedang para malaikat memukul dengan tangannya, (sambil berkata), “Keluarkanlah nyawamu.” Di hari ini kamu dibalas dengan siksaan yang sangat menghinakan, karena kamu selalu mengatakan terhadap Allah (perkataan) yang tidak benar dan (karena) kamu selalu menyombongkan diri terhadap ayat-ayat-Nya.” (Al An’aam 93)

Allah berfirman tentang kelurga Fir’aun:

“Kepada mereka dinampakkan Neraka pada pagi hari dan petang, dan pada hari terjadinya Kiamat. (Dikatakan kepada malaikat): “Masukkanlah Fir’aun dan kaumnya ke dalam azab yang sangat keras.” (Al Mu’min 46)

Dari Zaid bin Tsabit diriwayatkan bahwa Nabi n bersabda: “Kalau tidak karena kalian saling mengubur (orang yang mati), pasti aku memohon kepada Allah agar memperdengarkan siksa kubur kepada kalian yang saya mendengarnya.” Kemudian Nabi menghadapkan wajahnya seraya berkata: “Mohonlah perlindungan kepada Allah dari siksa Neraka.” Para sahabat berkata, “Kami memohon perlindungan kepada Allah dari siksa Neraka.” Nabi n kemudian berkata lagi, “Mohonlah perlindungan kepada Allah dari siksa kubur.” Para sahabat berkata, “Kami memohon perlindungan Allah dari siksa kubur. Lalu beliau berkata lagi, “Mohonlah perlindungan kepada Allah dari berbagai fitnah baik yang tampak maupun yang tidak tampak.” Para sahabat lalu berkata, “Kami memohon perlindungan kepada Allah dari berbagai fitnah baik yang tampak maupun yang tidak tampak.” Nabi n berkata lagi, “Mohonlah perlindungan kepada Allah dari fitnah dajjal.” Para sahabat berkata, “Kami mohon perlindungan kepada Allah dari fitnah dajjal.” (HR. Muslim)

Adapun nikmat kubur diperuntukkan bagi orang-orang mukmin yang jujur. Hal ini dijelaskan Allah dalam firman-Nya yang artinya:

“Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: “Rabb kami ialah Allah”, kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, maka malaikat akan turun kepada mereka (dengan mengatakan): “Janganlah kamu merasa takut dan janganlah kamu merasa sedih; dan gembirakanlah mereka dengan (memperoleh) Surga yang telah dijanjikan Allah kepadamu.” (Fushshilat 30)

“Maka mengapa ketika nyawa sampai di kerongkongan, padahal kamu ketika itu melihat, dan Kami lebih dekat kepadanya daripada kamu. Tetapi kamu tidak melihat, maka mengapa jika kamu tidak dikuasai (oleh Allah)? Kamu tidak mengembalikan nyawa itu (kepada tempatnya) jika kamu adalah orang-orang yang benar?, adapun jika dia (orang yang mati) termasuk orang yang didekatkan (kepada Allah), maka dia memperoleh ketentraman dan rezeki serta Surga kenikmatan.” (Al Waaqi’ah 83-89)

Dari Al Barra’ bin Azib dikatakan bahwa Nabi n bersabda tentang orang mukmin jika dapat menjawab pertanyaan dua malaikat di dalam kuburnya. Sabdanya, “Ada suara dari langit: “Hamba-Ku memang benar. Oleh karenanya, berilah dia alas dari Surga.” Lalu datanglah kenikmatan dan keharuman dari Surga, dan kuburnya dilapangkan sejauh pandangan mata…” (HR. Ahmad, Abu Daud, dalam hadits yang panjang).

Buah Iman kepada hari Akhir:

1. Mencintai ketaatan dengan mengharap pahala hari itu.

2. Membenci perbuatan maksiat dengan rasa takut akan siksa pada hari itu.

3. Menghibur orang mukmin tentang apa yang didapatkan di dunia dengan mengharap kenikmatan serta pahala di akhirat.

Orang-orang kafir mengingkari adanya kebangkitan setelah mati dengan menyangka bahwa hari Akhir dengan segala peristiwa-peristiwanya adalah suatu hal yang mustahil. Persangkaan mereka jelas sangat keliru dan kesalahannya itu dapat dibuktikan dengan syara’, indera, dan akal.

1.Bukti syara’

Allah berfirman, yang artinya:

“Orang-orang yang kafir mengatakan bahwa mereka sekali-kali tidak akan dibangkitkan. Katakanlah: “Tidak demikian, demi Rabbku, benar-benar kamu akan dibangkitkan, kemudian akan diberitakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.” Yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.” (At Taghaabun 7)

2.Bukti inderawi

Allah telah memperlihatkan bagaimana Dia menghidupkan orang-orang yang sudah mati di dunia ini. Dalam surat Al Baqarah terdapat lima contoh mengenai hal ini.

a. Ketika kaum Musa berkata kepada nabinya Musa p bahwa mereka tidak akan percaya dengan risalah yang dibawa Musa p, sampai mereka melihat Allah dengan mata kepala mereka sendiri. Oleh karena itulah Allah berfirman (yang ditujukan kepada bani Israil), yang artinya:

“Dan (ingatlah), ketika kamu berkata: Hai Musa, kami tidak akan beriman kepadamu sebelum kami melihat Allah dengan terang”, karena itu kamu disambar halilintar, sedang kamu menyaksikannya. Setelah itu Kami bangkitkan kamu sesudah kamu mati, supaya kamu bersyukur.” (Al Baqarah 55-56)

b. Cerita orang yang terbunuh yang pembunuhnya dipersengketakan bani Israil. Allah lalu memerintahkan mereka untuk menyembelih sapi, kemudian daging sapi itu dipukulkan ke tubuh orang yang terbunuh itu agar dapat menceritakan siapa sebenarnya yang telah membunuhnya. Hal ini diungkapkan dalam firman-Nya, yang artinya:

“Dan (ingatlah), ketika kamu membunuh seorang manusia, lalu kamu saling tuduh-menuduh tentang itu. Dan Allah hendak menyingkapkan apa yang selama ini kamu sembunyikan. Lalu Kami berfirman: “Pukullah mayat itu dengan sebahagian anggota sapi betina itu!” Demikianlah Allah menghidupkan kembali orang-orang yang telah mati, dan memperlihatkan kepadamu tanda-tanda kekuasaan-Nya agar kamu mengerti.” (Al Baqarah 72-73)

c. Kisah kaum yang keluar dari negerinya karena menghindari kematian. Mereka berjumlah ribuan orang. Allah mematikan mereka, lalu menghidupkan kembali. Ini digambarkan dalam firman-Nya, yang artinya:

“Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang keluar dari kampung halaman mereka, sedang mereka beribu-ribu (jumlahnya) karena takut mati, maka Allah berfirman kepada mereka: “Matilah kamu, kemudian Allah menghidupkan mereka. Sesungguhnya Allah mempunyai karunia terhadap manusia, tetapi kebanyakan manusia tidak bersyukur.” (Al Baqarah 243)

d. Kisah orang yang melewati sebuah desa yang hancur. Dia sangsi, bagaimana Allah bisa menghidupkan desa itu kembali. Maka Allah mematikannya selama seratus tahun, dan kemudian Allah menghidupkannya kembali. Ini dikisahkan dalam firman-Nya, yang artinya:

“Atau apakah (kamu memperhatikan) orang yang melewati suatu negeri yang (temboknya) telah roboh menutupi atapnya. Dia berkata, “Bagaimana Allah menghidupkan kembali negeri ini setelah hancur?” Maka Allah mematikan orang itu seratus tahun, kemudian menghidupkannya kembali. Allah bertanya, “Berapa lama kamu tinggal di sini?” Ia menjawab, “Saya tinggal di sini sehari atau setengah hari.” Allah berfirman: “Sebenarnya kamu telah tinggal di sini seratus tahun lamanya. Lihatlah makanan dan minumanmu yang belum lagi berubah, dan lihatlah keledaimu (yang telah menjadi tulang-belulang). Kami akan menjadikan kamu tanda kekuasaan Kami bagi manusia. Lihatlah tulang-belulang keledai itu, kemudian Kami menyusunnya kembali, kemudian Kami membalutnya dengan daging. Maka tatkala telah nyata kepadanya (bagaimana Allah menghidupkan yang telah mati) dia pun berkata, “Saya yakin Allah Mahakuasa atas segala sesuatu.” (Al Baqarah 259)

e. Kisah Nabiyullah Ibrahim Al Khalil ketika bertanya kepada Allah bagaimana Dia menghidupkan kembali orang-orang yang telah mati. Allah memerintahkannya untuk menyembelih empat ekor burung dan memisah-misahkan bagian-bagian tubuh burung itu di atas gunung-gunung yang ada di sekelilingnya. Ibrahim memanggil burung itu, lalu tak lama tampaklah olehnya bagian-bagian tubuh burung itu menyatu dan segera mendatangi Nabi Ibrahim kembali. Ini dikisahkan Allah dalam Al Qur’anul Karim, yang artinya:

“Dan (ingatlah) ketika Ibrahim berkata: “Ya Tuhanku, perlihatkanlah kepadaku bagaimana Engkau menghidupkan orang-orang mati.” Allah berfirman: “Apakah kamu belum percaya?” Ibrahim menjawab: “Saya telah percaya, akan tetapi agar bertambah tetap hati saya.” Allah berfirman: “(Kalau demikian), ambillah empat ekor burung, lalu cincanglah semuanya olehmu, lalu letakkan di atas tiap-tiap satu bukit satu bagian dari bagian-bagian itu. Sesudah itu panggillah mereka, niscaya mereka akan datang kepada kamu dengan segera.” Dan ketahuilah bahwa Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (Al Baqarah 260)

Inilah contoh-contoh bukti inderawi yang menunjukkan mungkinnya Allah menghidupkan orang-orang yang sudah mati. Telah diisyaratkan di atas, Allah menjadikan tanda-tanda Isa bin Maryam yang menghidupkan orang-orang yang sudah mati serta mengeluarkannya dari kubur dengan ijin Allah.

3.Bukti akal (logika)

Bukti akal dapat dibagi menjadi dua bagian:

a. Allah sebagai pencipta langit dan bumi seisinya telah menciptakannya pertama kali. Allah mampu menciptakan pertama kali, tentu pasti mampu pula untuk mengembalikannya.
Firman-Nya:

“Dan Dialah yang menciptakan (manusia) dari permulaan, kemudian mengembalikan (menghidupkan)nya kembali, dan menghidupkannya kembali itu adalah lebih mudah bagi-Nya…” (Ar Ruum 27)

“.. Sebagaimana Kami telah memulai penciptaan pertama, begitulah Kami akan mengulanginya. Itulah suatu janji yang pasti Kami tepati. Sesungguhnya Kamilah yang akan melaksanakannya.” (Al Anbiyaa 104)

“Katakanlah: “Ia akan dihidupkan oleh Rabb yang menciptakannya kali pertama. Dan Dia Maha Mengetahui tentang segala makhluk.” (Yaasin 79)

b. Bumi yang mati dan tandus akan hidup kembali dan tumbuhan yang mati akan bergerak subur setelah turun hujan. Yang mampu untuk menghidupkannya setelah mati, dan yang mampu menghidupkan orang-orang yang sudah mati itu sudah pasti Allah Ta’ala Mahaperkasa lagi Maha Berkehendak.

Allah berfirman, yang artinya:

”Dan sebagian dari tanda-tanda (kekuasaan)-Nya bahwa kamu melihat bumi itu kering tandus, maka apabila Kami turunkan air di atasnya, niscaya ia bergerak dan subur. Sesungguhnya Tuhan yang menghidupkannya tentu dapat menghidupkan yang mati. Sesungguhnya Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (Fushshilat 39)

”Dan Kami turunkan dari langit air yang banyak manfaatnya, lalu Kami tumbuhkan dengan air itu pohon-pohon dan biji-bijian tanaman yang diketam, dan pohon kurma yang tinggi-tinggi yang mempunyai mayang yang bersusun-susun untuk menjadi rezeki bagi hamba-hamba (Kami), dan Kami hidupkan dengan air itu tanah yang mati (kering). Seperti itulah terjadinya kebangkitan.” (Qaaf 9-11)

Orang yang ingkar kepada siksa kubur dan kenikmatannya mengira hal itu suatu perkara yang mustahil serta bertolak belakang dengan kenyataan karena apabila kubur itu dibongkar, akan didapati seperti semula, tidak bertambah luas dan tidak pula bertambah sempit. Persangkaan mereka ini jelas tidak benar menurut syara’, indera, dan akal.

1.Dalil Syara’

Ibnu Abbas berkata, “Rasulullah n pernah keluar dari salah satu kebun kota Madinah. Lalu beliau mendengar ada dua orang yang disiksa di dalam kuburnya.” Dalam hadits itu disebutkan bahwa yang satu karena tidak memelihara buang air kecil (kencing sembarangan), dan yang satunya lagi karena mengadu domba.” (Al Bukhari)

2.Dalil inderawi

Orang yang tidur terkadang mimpi bahwa ia berada di tempat yang luas, menggembirakan, dan dia bersenang-senang di situ. Atau terkadang dia juga mimpi berada di tempat yang sempit, menyedihkan, dan menyakitkan. Terkadang seseorang bisa terbangun karena mimpinya itu, padahal ia berada di atas tempat tidurnya. Ya, tidur adalah rekan mati. Oleh karena itu Allah menyebut tidur dengan “wafat”, seperti dalam firman-Nya, yang artinya:

“Allah memegang jiwa (orang) ketika matinya dan (memegang) jiwa (orang) yang belum mati di waktu tidurnya; maka Dia tahanlah jiwa (orang yang telah Dia tetapkan kematiannya dan Dia melepaskan jiwa yang lain sampai waktu yang ditentukan…” (Az Zumar 42)

3.Dalil akal

Orang yang tidur terkadang bermimpi yang benar sesuai dengan kenyataan. Bisa jadi melihat Nabi sesuai dengan sifat beliau. Barangsiapa pernah bermimpi melihat beliau sesuai dengan sifatnya, maka dia bagaikan melihatnya benar-benar. Padahal pada waktu itu ia ada di dalam kamarnya, di atas tempat tidurnya, jauh dari yang diimpikan. Apabila keadaan tersebut suatu hal yang mungkin dijumpai di dunia, maka bagaimana tidak mungkin dijumpai di akhirat?!

Adapun dalih mereka bahwa apabila kubur itu digali, akan didapati seperti semula, tidak bertambah luas dan tidak pula bertambah sempit maka jawabannya:

1. Apa yang dibawa syara’ tidak boleh dipertentangkan dengan hal-hal yang bathil. Kalau orang yang mempertentangkan itu mau berpikir tentang apa yang dibawa oleh syara’, ia pasti mengetahui kebatilan kesalah-pahamannya itu.

Seorang penyair bertutur:

Berapa banyak orang yang mencela pendapat yang benar padahal bencana itu dari pemahaman yang salah.

2. Keadaan dalam barzakh (alam kubur) termasuk hal-hal ghaib yang tidak dapat dijangkau oleh indera, karena jika hal itu dapat diindera, maka tidak ada artinya iman kepada yang ghaib, dan sama antara orang yang beriman kepada yang ghaib dan orang yang mengingkari, dalam mempercayainya.

3. Siksa kubur, nikmat kubur, luasnya kubur, dan sempitnya kubur hanya dapat dijumpai oleh mayat itu sendiri, bukan yang lain. Ini seperti yang dilihat orang tidur dalam mimpinya, dia bisa berada di tempat yang sempit yang menakutkan, atau di tempat yang luas dan menyenangkan, padahal menurut orang lain yang melihatnya tidur, tidurnya tidak berubah, masih di dalam kamar dan di atas tempat tidurnya.

Ketika menerima wahyu, Nabi Muhammad berada di tengah-tengah para sahabatnya. Beliau mendengarkan wahyu, tetapi para sahabatnya tidak mendengarnya. Bisa jadi wahyu itu diturunkan dengan cara malaikat menjelma menjadi seorang lelaki, lalu berbi-cara dengan beliau, dan para sahabat tidak melihatnya serta mendengarnya.

4. Pengetahuan manusia terbatas pada sesuatu yang hanya diijinkan Allah untuk diketahuinya. Tidak mungkin manusia dapat mengetahui apa saja yang ada. Langit yang tujuh serta bumi seisinya semua bertasbih dengan memuji Allah dengan tasbih yang sebenarnya, yang terkadang Allah perdengarkan kepada orang yang dikehendaki-Nya. Meskipun demikian hal itu terhalang dari kita.

Dalam masalah ini Allah berfirman, yang artinya:

“Langit yang tujuh, bumi dan semua yang ada di dalamnya bertasbih kepada Allah. Dan tak ada suatu pun melainkan bertasbih dengan memuji-Nya, tetapi kamu sekalian tidak mengerti tasbih mereka. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penyantun lagi Maha Pengampun.” (Al Israa 44)

Demikian halnya dengan setan dan jin yang mondar-mandir pulang-pergi di atas bumi. Pernah ada jin datang kepada Nabi n dan mendengarkan bacaan beliau, kemudian dia kembali ke kaumnya sebagai juru da’i. Hal itu terhalang bagi kita.

Dalam masalah ini Allah berfirman, yang artinya:

“Hai anak Adam, janganlah sekali-kali kamu dapat ditipu oleh setan sebagaimana ia telah mengeluarkan kedua ibu-bapak kamu dari Surga. Ia meninggalkan dari keduanya pakaiannya untuk memperlihatkan kepada keduanya auratnya. Sungguh, ia dan pengikutnya melihat kamu dari suatu tempat yang kamu tidak bisa melihat mereka.Sesungguhnya Kami telah menjadikan setan-setan itu pemimpin-pemimpin bagi orang-orang yang tidak beriman.” (Al A’raaf 27).

Apabila manusia tidak dapat mengetahui segala yang ada, maka mereka tidak boleh mengingkari perkara-perkara gaib yang ditetapkan oleh syara’ sekalipun mereka tidak dapat mengetahuinya dengan indera mereka.